Oleh : Robert Bala
JAKARTA : WARTA-NUSANTARA.COM–Dimulainya sekolah pkl 05.00 untuk beberapa SMA di Kupang menuai tanggapan bermacam-macam. Wajar. Sebuah gebrakan tentu saja tidak mudah diterima. Banyak pro kontra.
Yang menarik, tanggapan itu melenceng jauh. Yang dikritik bukan lagi sekolah ‘pagi-pagi buta yang membutakan’. Semuanya sudah melebar. Ada yang mengategorikan sebagai ‘kepleset berpikir?’. Litani program ‘viral’ dari Victor B. Laiskodat pun mulai ‘diingatkan: English Day, Sophia, Kelor, dan beberapa julukan lain lagi.
Hal ini memunculkan pertanyaan, apakah program sekolah mulai pkl 05.00 itu wajar? Apakah imajinasi seperti ini bijaksana dan dapat dipertanggungjawabkan?
𝑻𝒊𝒎𝒐𝒕𝒉𝒚 𝑫. 𝑾𝒂𝒍𝒌𝒆𝒓, meski berasal dari negara Paman Sam, tetapi bersyukur bisa melewatkan masa-masa emas mengajar di Finlandia. Ia beruntung, meski negaranya adalah ‘Super Power’ tapi dalam hal pendidikan, Finlandia adalah ‘penguasanya’. Ia pun masih diuntungkan karena istrinya yang berasal dari Finlandia bisa memfasilitasi hingga bisa melewati masa emas itu di negara terbaikdi dunia dalam pendidikan.
Kisah melewati masa emas di Finlandia yang ditulis dalam buku: 𝑇𝑒𝑎𝑐ℎ𝑖𝑛𝑔 𝑙𝑖𝑘𝑒 𝐹𝑖𝑛𝑙𝑎𝑛𝑑, 33 𝑆𝑖𝑚𝑝𝑙𝑒 𝑆𝑡𝑟𝑎𝑡𝑒𝑔𝑖𝑠 𝑓𝑜𝑟 𝐽𝑜𝑦𝑓𝑢𝑙 𝐶𝑙𝑎𝑠𝑠𝑟𝑜𝑜𝑚𝑠, 2017, mengungkapkan hal menarik tentang jam belajar mengajar yang dimulai pkl. 08.00 di beberapa sekolah. Yang lainnya mulai pkl 09.00.
Tentu saja negara nordik yang terletak di Eropa Utara itu berbeda kondisi sekitar pada pagi dan malam hari yang selalu berubah rentang lamanya waktu. Tetapi yang menarik, aktivitas terbanyak dari sekolah adalah bergerak (berolahraga). Bahkan jam istirahat begitu banyak. Dikisahkan istirahat bisa 3-4 kali.
Mengapa bisa demikian? Bagi mereka bukan soal lamanya waktu belajar yang menentukan kesuksesan, tetapi sejauh mana ada kesiapan mental dan fisik untuk mengikuti pelajaran. Dalam logika orang Finlandia, bergerak menyiapkan otak untuk ikut pembelajaran. Mengapa? Karena dengan bergerak, maka ada sirkulasi oksigen yang memfasilitasi proses pemahaman saat belajar. Artinya, yang mestinya jadi kecemasan adalah sejauh mana implementasi gerak dalam pembelajaran dan bukan yang lain. Gerak seperti ini lebih mendukung sistem kerja otak.
Hal ini pula sejalan dengan apa yang dikatakan oleh 𝑷𝒂𝒖𝒍 𝑬. 𝑫𝒆𝒏𝒏𝒊𝒔𝒐𝒏: 𝑴𝒐𝒗𝒆𝒎𝒆𝒏𝒕 𝒊𝒔 𝒕𝒉𝒆 𝒅𝒐𝒐𝒓 𝒕𝒐 𝒍𝒆𝒂𝒓𝒏𝒊𝒏𝒈: Gerakan adalah pintu menuju ilmu pengetahuan. Kalau tidak ada gerakan maka jendela dan pintu ilmu pengetahuan tertutup. Kita hanya berasumsi, tetapi tidak bisa masuk menerobos untuk memengaruhi orang dari dalam.
Pikiran ini pula yang penulis uraikan dalam buku 𝑪𝒓𝒆𝒂𝒕𝒊𝒗𝒆 𝑻𝒆𝒂𝒄𝒉𝒊𝒏𝒈, 𝑴𝒆𝒏𝒈𝒂𝒋𝒂𝒓 𝑴𝒆𝒏𝒈𝒊𝒌𝒖𝒕𝒊 𝑲𝒆𝒎𝒂𝒖𝒂𝒏 𝑶𝒕𝒂𝒌 (𝑮𝒓𝒂𝒎𝒆𝒅𝒊𝒂 2017). Banyak orang yang mengajar melawan otak. Akibatnya, banyak program yang kandas. Itu berarti kunci keberhasilan bukan padi sekolah pagi-pagi buta (seperti diimajinasikan oleh Laiskodat) tetapi pada implementasi gerak sebagai pintu kepada ilmu pengetahuan.
𝙈𝙖𝙩𝙖 𝙅𝙞𝙬𝙖
Dari pemikiran ini, kita bertanya: apakah upaya ‘menyekolahkan’ anak pagi-pagi buta adalah upaya bijak atau tidak? Apakah itu sebuah imajinasi yang punya pijakan atau sekadar sebuah ilusi?
𝑷𝒆𝒓𝒕𝒂𝒎𝒂, agar kita bisa menjawab tepat pertanyaan di atas, kita mestinya tidak perlu mengaitkan dengan program ‘bombastis’ lainnya seperti 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒊𝒓𝒊𝒎𝒌𝒂𝒏 10.000 𝒎𝒂𝒉𝒂𝒔𝒊𝒔𝒘𝒂 𝒃𝒆𝒍𝒂𝒋𝒂𝒓 𝒌𝒆 𝒍𝒖𝒂𝒓 𝒏𝒆𝒈𝒆𝒓𝒊; 𝑷𝒓𝒐𝒈𝒓𝒂𝒎 𝑲𝒆𝒍𝒐𝒓, 𝑺𝒐𝒑𝒉𝒊𝒂, 𝑬𝒏𝒈𝒍𝒊𝒔𝒉 𝑫𝒂𝒚, dan lain-lain. Kalau kita kaitkan semuanya maka kita tidak fokus dan evaluasi kita akan melenceng.
Kita diharapkan fokus pada ‘invensi’ ini. Dari sisi psikologis, remaja seharusnya memiliki waktu tidur yang cukup 8 – 9 jam (bukan seperti 6 jam yang dikemukakan Laiskodat). Tidur yang berkualitas dan sehat juga dibutuhkan karena dapat membantu menjaga kesehatan fisik dan mental, serta meningkatkan kualitas hidup secara menyeluruh. Kurang tidur dapat memengaruhi kemampuan berpikir, bereaksi, produktivitas, kreativitas, belajar maupun bekerja, dan memberikan dampak yang buruk terhadap tubuh. Artinya, bagaimana kita mendidik mental dan fisik kalau kita mencedertai waktu yang seharusnya digunakan anak dan remaja untuk tidur?
Argumentasi inilah yang seharusnya digunakan oleh Laiskodat dan Kadis Pendidikan dalam mendasari keputusan memulai sekolah dan bukannya membandingkan dengan sekolah berasarama yang memang bangun pkl 05.00 dan ibu-ibu di pasar yang sudah bekerja dini hari. Sebuah perbandingan yang ‘tidak benar’ atau dalam logat Jakarta ‘ga bener’.
𝑲𝒆𝒅𝒖𝒂, kalau tidur berkaitan dengan menjaga Kesehatan mental maka kekurangan tidur bisa membuat orang ‘mengigau’ atau mimpi di siang bolong.
Di sinilah akan hadir begitu banyak imajinasi yang tak karuan. Dan kalau imajinasi seperti didefinisikan oleh pemikir 𝙅𝙤𝙨𝙚𝙥𝙝 𝙅𝙤𝙪𝙗𝙚𝙧𝙩: 𝑰𝒎𝒂𝒈𝒊𝒏𝒂𝒕𝒊𝒐𝒏 𝒊𝒔 𝒕𝒉𝒆 𝒆𝒚𝒆 𝒐𝒇 𝒕𝒉𝒆 𝒔𝒐𝒖𝒍 maka apa kata dunia? Imajinasi Bagi Joubert adalah gambaran dari jiwa kita sendiri. Lantas, seperti apa mata jiwa kita kalau imajinasi kita ‘g̷a̷b̷e̷n̷e̷r̷’̷ ̷seperti itu?
Kalau kita sepakat imajinasi sebagai mata jiwa, maka pertanyaan kusir: apa imajinasi kita di saat kita berada di waktu ‘pagi-pagi buta?’ Kekusiran dan ketakbenaran inilah yang semestinya membangun kita dari imajinasi gelap agar tidak terlanjur dicap ‘gabener’.
Atas dasar pemikiran ini maka invensi terhadap dimulainya sekolah ‘pagi-pagi buta’ tentu tidak bisa dipertanggungjawabkan baik secara psikologis maupun secara edukatif. Secara psikologis kita tengah mengangkangi kebutuhan tidur demi mencapai kesehatan mental sementara secara edukatif kita bahkan memulai pembelajaran pada saat peserta didik masing ‘ngantuk’ hal mana tidak ada faedahnya.
Lalu kalau kita ingkar pada dasar psikologis dan edukatif mengapa harus dipertahankan? Atau apakah ini disebut bijaksana? Ya, kebijaksanaan itu dari bahasa Yunani ‘sophia’ yang bernuansa mulia kecuali kita menurunkannya sekadar ‘sophia’ yang menjadi minuman dengan mudah memabukan.
Sebaliknya kita perlu sadar, memeluk kembali ‘sophia’ sebagai kebijakan yang bijaksana agar kita tidak disebut sebagai pemilik imajinasi ‘𝘨𝘢𝘣𝘦𝘯𝘦𝘳’. Kalau demikian, mengapa dipaksakan?
Robert Bala. Penulis Buku 𝑪𝒓𝒆𝒂𝒕𝒊𝒗𝒆 𝑻𝒆𝒂𝒄𝒉𝒊𝒏𝒈, 𝑴𝒆𝒏𝒈𝒂𝒋𝒂𝒓 𝑴𝒆𝒏𝒈𝒊𝒌𝒖𝒕𝒊 𝑲𝒆𝒎𝒂𝒖𝒂𝒏 𝑶𝒕𝒂𝒌 dan 𝑴𝒆𝒏𝒋𝒂𝒅𝒊 𝑮𝒖𝒓𝒖 𝑯𝒆𝒃𝒂𝒕 𝒁𝒂𝒎𝒂𝒏 𝑵𝒐𝒘 (Gramedia).