LEMBATA : WARTA-NUSANTARA.COM–Press Reléase tentang keputusan menuju ke proses hukum sangat disaluti oleh Yayasan Koker Niko Beeker: “Kami berterima kasih bukan saja kepada keluarga Rayabelen tetapi lebih terutama kepada Penasihat Hukum, Vinsensius Nuel Nilan S.H dari Rumah Perjuangan Hukum Rafael Ama Raya S.H.M.H” . Demikian Dr Damianus Dai Koban, M.Pd menanggapi gugatan tersebut.
Lebih jauh, Damianus Dai Koban, Doktor Jebolan Universitas Negeri Jakarta itu mengungkapkan bahwa kehadiran penasihat hukum sebuah berkat karena sudah mengarahkan Ibrahim Begu dan keluarganya untuk melihat mana masalah utama dan mana masalah sampingan. “Selama ini kita berusaha meyakinkan bahwa tidak ada masalah antara keluarga Rayabelen dan Yayasan Koker. Masallah itu justru ada antara keluarga Rayabelen dengan Bibiana Kidi, karena itu gugatlah Bibiana Kidi dengan bukti hukum yang kuat”, demikan tandasnya.
Untuk itu sekali lagi Putera Lembata Diaspora ini mengucapkan terima kasih kepada penasihat hukum. Tetapi Dai juga mengingatkan penasihat hukum agar berbicara tentang ‘fakta hukum’ dan bukan ikut menduga-duga bakal ada permainan antar oknum-oknum tertentu Yayasan dalam penjualan tanah ini.
Dengan menggelengkan kepala, Dami mengungkapkan bahwa sampai berdirinya sekolah ini, Yayasan selalu transparan secara internal dan tidak pernah ada tindakan apapun untuk bermain demi keuntungan sendiri: “Supaya penasihat hukum paham, semua pengurus Yayasan mengumpulkan dana dari kantong sendiri untuk membeli tanah demi mencerdaskan generasi muda Lembata dan tidak pernah mengambil uang apapun”, demikain ungkapnya. Karena itu Yayasan bisa menuntut balik pencemaran nama baik bila tidak ada pembuktikan dan ia yakin tidak ada permainan sama sekali.
Bukti Pemilik
Terkait klaim bahwa keluarga Rayabelen telah mengantongi ‘bukti-bukti, Damianus malah berterima kasih karena bukti-bukti itulah yang diminta salama ini. “Kalau saja dari awal keluarga Rayabelen meneyrahkan bukti sebagai dasar untuk pengalihan pembayaran, tidak akan ada masalah seperti sekarang. Yayasan sejak awal berkomitmen mau bayar ke yang punya bukti kepemilikan secara hukum. Jadi mau Bibiana atau keluarga Rayabelen itu sama saja bagi Yayasan, yang penting ada bukti hukum”, demikian tandasnya.
Dami selanjutnya mengungkapkan bahwa ia sangat antusias untuk mendapatkan bukti itu. Bukti itu akan menjadi acuan bagi pengadilan untuk menentukan apakah perjanjian antara Yayasan Koker – Bibiana Kidi itu bisa dibatalkan atau tidak. Ini yang harus dibuktikan di pengadilan, demikian tutur Dami.
Hal yang sama diungkapkan oleh Dr Wilem Ola Rongan, M.Sc. Wilem yang juga Ketua STKIP Widya Yuwana Madiun merasa tertarik dengan teminologi yang disampaikan oleh Penasihat hukum bahwa mereka adalah penasihat hukum dari ‘ahli waris’ keluarga Rayabelen.
Terhadap julukan ini, Wilem bertanya retoris: “Ini ahli waris dari mana dan sejak kapan?
Wilem sebagi warga asli Lamahora dan jebolan Doktor University of the Philippines at Los Banos meminta penasihat hukum untuk meminta penjelasan lebih lanjut tentang klaim Begu sekeluarga sebagai ahli waris”.
Wilem mengakui sejak kecil hingga SMP mereka selalu berteman. “Orang tua kami sangat dekat, demikian juga saya dengan Begu. Hanya saja kalau dalam soal hukum terutama klaim ahli waris, kami bisa beda pendapat”, demikian tuturnya.
Menurut Wilem, saat kecil ia saksikan pemeliharaan sapi di lokasi itu yang katanya Rayabelen dapat izin dari Gubernur: “Bisa saja ada izin dari Gubernur. Tetapi izin itu logikanya untuk penggembalaan sapi dan bukan untuk memiliki tanah apalagi mengklaim sebagai warisan. Kalau soal warisan, ya Rayabelen jadi pemilik hak ulayat di Ile Ape sana dan bukan di Wangatoa sekarang. Kalau soal hak ulayat itu Hadung Boleng, jadi dari mana bisa diklaim ahli waris”, demikian Ola bertanya retoris.
Ola juga mengatakan, apakah dengan klaim sebagai ahli waris berarti ada penyerahan dari Hadung Boleng ke Rayabelen? Itu yang menarik untuk ditinjau. Kalau ada penyerahan, apakah ada bukti yang cukup? Kalau pun ada penyerahan, demikian suami dari Marselina Nango itu bukan alih waris tetapi jual beli. Dan kalau ada jual beli, maka itu harus dibuktikan di depan hukum.
Selain itu, Ola Rongan meminta penasihat hukum untuk menambah literasi untuk mencari tahu, jangan sampai tanah seperti lokasi Anugerah Kasih, Pasar Lamahora juga beberapa tanah lain, juga pernah dipermasalahkan? Kalau pernah dipersoalkan juga maka menurut Wilem, SMARD bukan menjadi kassu pertama tetapi malah kesekian dari beberapa kasus sebelumnya dengan klaim yang sama: “Kalau seperti itu maka persoalan tentu menjadi terbuka dan banyak orang yang selama ini diperlakukan sebagai penggarap, bisa juga mulai membuka mulut”, demikian Ola menutup pembicaraannya. (Koker/WN-01)