Oleh : Robert Bala
WARTA-NUSANTARA.COM–Berita pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 sangat menyayat hati. Cita-cita anak negeri mau mencerdaskan (secara kinestetik) kehidupan bangsa dikorbankan hanya demi membela Palestina hanya karena penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan peri keadilan.
Tapi ini bukanlah persoalan yang mau dibahas. Masalah ini akan terasa seksi kalau tidak dikaitkan dengan politik. Lebih-lebih kalau dikatiakn dengan PKS dan PDIP yang cukup ‘menonjol’. Tapi dalam tulisan ini saya lebih fokus kepada PDIP, sebagai partai pemerintah. Untuk PKS, ya sudahlah. Sebagai oposisi, ya harus pandai, cerdas, dan sedikit licik memanfaatkan momen. Siapa tahu ada berkah elektroalnya.
Tetapi apa kata dunia terhadap PDIP? Apa yang terjadi ketika Wayan Koster (Gubernur Bali) dan Ganjar Pranowo dalam barisan yang menolak Israel? Hanya dengan segala hormat, saya juga hanya mau fokus pada Ganjar. Kalau soal Koster, meski mengejutkan karena sejauh yang saya dan pembaca tahu, warga Bali itu sangat ‘welcome’ dan terbuka.
Mengapa saya fokus pada Ganjar Pranowo (GP)? Karena GP menjadi salah satu, malah kandidat terpopuler untuk menjadi capres. Aneka survei menyanjung dan menempatkannya di level teratas sudah sejak lama.
Tetapi apakah Ganjar yang selama ini disebut ‘𝓶𝓮𝓭𝓲𝓪 𝓭𝓪𝓻𝓵𝓲𝓷𝓰’ alias pembuat berita (news maker) bisa terus bertahan setelah pembatalan Pildun U-20 ini? Ini pertanyaan menarik karena diterima atau tidak, Ganjar sangat diuntungkan dan dibesarkan oleh Medsos. Kehadirannya di medsos telah mengundang perhatian sehingga dianggap sebagai ‘kekasih media’.
Karena itu, nama Ganjar bisa membuat berita (𝒏𝒂𝒎𝒆 𝒎𝒂𝒌𝒆𝒔 𝒏𝒆𝒘𝒔). Apapun yang dilakukan akan menarik perhatian dan mengundang perhatian orang. Hal itulah yang bisa menjadi salah satu alasan, mengapa GP masih menjadi capres potensial malah dengan popularitas teratas.
Tetapi apakah itu masih akan tetap ada dukungan medsos setelah banyak generasi muda dikecewakan oleh pernyataan GP?
Ini pertanyaan yang tidak mudah dijawab. Harus diakui bahwa sandaran GP cukup kuat pada medsos mengingat secara internal PDIP, Ganjar masih belum ikhlas diterima sebagai capres. 𝐷𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑏𝑎𝑛𝑦𝑎𝑘 𝑘𝑒𝑠𝑒𝑚𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑏𝑎ℎ𝑘𝑎𝑛 𝑝𝑜𝑙𝑖𝑡𝑖𝑠𝑖 𝑃𝐷𝐼𝑃 𝑠𝑒𝑛𝑑𝑖𝑟𝑖 𝑚𝑒𝑛𝑔𝑘𝑟𝑖𝑡𝑖𝑘 𝑏𝑎ℎ𝑤𝑎 𝐺𝑃 𝑙𝑒𝑏𝑖ℎ exist di 𝑚𝑒𝑑𝑠𝑜𝑠 𝑘𝑒𝑡𝑖𝑚𝑏𝑎𝑛𝑔 𝑘𝑒𝑟𝑗𝑎 𝑛𝑦𝑎𝑡𝑎.
Melihat pernyataan seperti ini maka kembali lagi bahwa yang menopang GP adalah medsos. Ia menjadi kekasih media. Karenanya bila media dan publik merasa kecewa maka sandaran GP akan melemah dan popularitas itu pun bisa melorot secara perlahan.
𝐀𝐠𝐚𝐤 𝐀𝐧𝐞𝐡…
Penolakan Israel oleh Koster (14/3) dan Ganjar (23/3) merupakan hal yang tidak terbayangkan sebelumnya. Bila PKS ‘protes’ ya sudah diterima karena itulah ‘pekerjaan’ oposisi. Lebih lagi mendekati pileg 2024, apapun yang mendukung untuk diproses akan dilakukan.
Yang jadi pertanyaan, mengapa tiba-tiba Koster dan Ganjar yang merupakan kepala daerah PDIP i𝑘𝑢𝑡 𝑛𝑖𝑚𝑏𝑟𝑢𝑛𝑔 hingga akhirnya berbuntut pembatalan PILDUN U-20?
Ya sebagai kepala daerah (apalagi di era otonomi daerah seperti ini, mereka juga berhak menjaga daerahnya. Atau kala pun Pildun tetap terjadi, mereka pun tidak kehilangan muka karena protes sebelumnya.
Tetapi karena melihat protes kehadiran Israel itu terjadi berurutan antara Koster dan Ganjar, maka bisa memberi kesan bahwa hal itu juga bukan sebuah kebetulan. Tentu tentang kebenaran akan hal ini hanya Tuhan dan PDIP yang tahu.
Dugaan hal ini tentu tidak sekadarnya mengingat dalam PDIP selalu berlaku aturan: “𝓢𝓮𝓶𝓾𝓪𝓷𝔂𝓪 𝓫𝓮𝓻𝓰𝓪𝓷𝓽𝓾𝓷𝓰 𝓹𝓪𝓭𝓪 𝓘𝓫𝓾 𝓚𝓮𝓽𝓾𝓪 𝓤𝓶𝓾𝓶” . Artinya tidak hanya tentang capres tetapi dalam semua kebijakan, komandonya sangat terpusat pada Ketua Umum yang memiliki hak prerogatif.
Kalau bila demikian (misalnya), lalu kita juga bisa bertanya usil: Apakah dampak yang sekarang sudah diterima GP dengan peluang melorotnya popularitas memang sudah terpikirkan sebelumnya?
Ah, jangan berpikir melenceng seperti itu. Kalau terjadi seperti itu maka sebenarnya merupakan tindakan bunuh diri PDIP karena melorotnya GP akan berakibat pada peluang kemenangan PDIP di Pilpres nanti. Malah melorotnya GP justru akan disambut dengan gegap-gempita oleh Koalisi Perubahan (sebuah koalisi yang sampai sekarang belum terlihat apa yang mau diubah).
Lalu, apakah dengan merosotnya pamor GP (kita andaikan saja), PDIP lantar beralih memasang Puan Maharani? Wah ini memang peluang yang sangat besar. Tempat ini akan beralih ke Puan Maharani, yang kalau mendampingi Prabowo, maka periode berikutnya diharapkan kepemimpinan harus diambil alih oleh Puan setelah Prabowo yang bisa saja hanya satu periode. Tapi itu namanya analisis dari pengamat asal-asalan juga sehingga tidak usah banyak dipercaya.
Bila terjadi seperti ini maka bagi orang yang netral, apa yang terjadi sekarang adalah keanehan demi keanehan. Disebut aneh karena PDIP yang tentu dari awalnya hanya mau menendang bola liar dan bisa meraup sedikit keuntungan elektoral (tidak hanya PKS) melalui penolakan Israel (oleh dua kepala daerahnya), akhirnya kembali menjadi sasaran empuk alias kini ditendang.
Nasib PDIP pun bisa saja ikut terpengaruh. Tetapi untuk balas dendam kepada PDIP tentu saja merupakan analisis yang terlalu jauh. Orang Indonesia sangat pemaaf karena itu mereka akan dengan mudah melupakan kesalahan politisi PDIP dan kembali mendukungnya. Apalagi dari segi minus malum, dibanding dengan parpol lain, PDIP masih lebih dipercaya oleh rakyat ketimbang partai lain yang masih tergopoh-gopoh dengan persentasi di bawah 10 sementara PDIP sudah 20-an %.
PDIP karena itu dianggap pasti akan terus berjaya. Yang tentu mengalami pergeseran kuat adalah GP yang kena ‘tendangan balik’ cukup telak. Tapi apakah masih ada peluang? Ya, bisa saja masih ada tetapi trauma media sosial itu tidak mudah diubah karena hal itu menyangkut rasa.
Robert Bala. Diploma Resolusi Konflik Asia Pasifik Universidad Complutense de Madrid Spanyol.