Oleh Germanus S. Atawuwur, Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero
Yes.52:13-53:12; Ibr. 4:14-16.5:7-9; Yoh.18:1-19:42
WARTA -NUSANTARA.COM-Bapa, ibu, saudara, saudari yang terkasih, tatkala kaum ekstrimis selalu mengobok-obok kekristenan di persada ini, di kala ekstensi kekristtenan terus-menerus digerogoti eksistensinya, ; ketika kalangan-kalangan tertentu yang suka sekali mencemooh Yesus sebagai Guru dan Tuhannya orang-orang Kristen, pada saat Hari Berkabung nan Agung ini, saya mengutip kembali Chairil Anwar, Putra Medan, Sumatra Utara, kelahiran 22 Juli 1922, dalam puisinya: ISA. Puisi yang ditulis oleh dia, seorang non nasarani, tegasnya, seorang muslim sejati dan ditujukan kepada Nasarani Sejati.
Puisi “ISA” dalam Kumpulan Deru Campur Debu, ia menulis:
Itu tubuh
mengucur darah
mengucur darah
rubuh
patah
mendampar tanya: aku salah?
kulihat tubuh mengucur darah
aku berkaca dalam darah
terbayang terang di mata masa
bertukar rupa ini segara
mengatup luka
aku bersuka
Itu tubuh
mengucur darah
mengucur darah
Kita tidak sedang membahas puisi ini dari disiplin ilmu lain. Saya mengangkat kembali puisi ini untuk direnungkan di Hari Agung ini, karena dia punya nilai religious yang tinggi. Karena puisi ini juga membawa pesan-pesan spiritual dan juga pesan-pesan antropologis teologis yang daripadanya kita berkaca sambil “mendampar tanya: aku salah?”
Puisi ini menggambarkan perasaan penyair terhadap sosok Isa yang menjadi Tuhan bagi umat nasrani. Dalam kesuluruhan isi puisi ini penyair menggambarkan bagaimana sosok Isa yang disalib. Diksi yang digunakan oleh penyair sangat lugas dan tegas.
Saudara-saudaraku, saya sengaja mengutip puisi dan memberikan sedikit penafsiran terhadap puisi itu, karena sekali lagi, puisi ini sangat antropologis-teologis. Padahal puisi ini ditulis oleh seorang muslimin sejati. Ia seorang muslimin, tetapi betapa ia menulis puisi itu dari hati. Ia tidak saja melakukan refleksi atas eksistensi orang Kristen di kala itu. Bagaimana orang Kristen mengimani Isa, Yesus Kristus sebagai Tuhannya. Dia tidak berhenti pada refleksi social. Tetapi dia juga masuk dalam introspeksi dirinya sehingga lahirlah puisi “religious” ini.
Dalam puisi ini, Chairil Anwar sedang mengajar dan mengajak orang-orang Kristen, agar masuk ke dalam dirinya sendiri, untuk mengetahui dirinya sesungguhnya. Siapakah aku orang Kristen, pengikut Kristus di mata Yesus Kristus Tuhanku?
Puisi Isa menggambarkan ketegasan penyair dalam menggambarkan betapa besar pengorbanan Tuhan kita. Dan bagi sang penyair, kematian Yesus Tuhan yang tidak wajar ini dinilai sebagai kematian yang tidak semestinya. Ia menilai kematian Yesus dengan model seperti itu sebagai kematian yang tidak patut.
Namun, lain persepsi Chairil Anwar. Lain pula keyakinan kita. Bahwa hanya dengan kematian model seperti itu, kematian melalui proses penderitaan yang dahsyat dan mengerihkan, yang dimulai dari penyangkalan dan pengkhianatan, lalu berlanjut pada jalan salib, sambil Ia dipukul, ditendang oleh algoju, disiksa dan dirajam dengan mahkota duri, diludahi, diolok-olok dan dilucuti pakaian-Nya, diberi cuka dan ditikam lambungnya, keselamatan manusia dapat terwujud.
Sebagai manusia, Yesus sebenarnya takut dan cemas membayangkan penderitaan yang mengerihkan itu. Karena itu, tatkala di Getzemani Dia berdoa kepada Bapa-Nya:” Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki.”
Sebagai Manusia, Yesus hendak mengelak dari “jalan derita” yang bakal dilalui-Nya itu. Ia merasa, sebagai manusia, Dia tidak mampu menjalaninya. Namun Yesus segera sadar bahwa jalan itu bukan atas mau-Nya. Jalan derita itu bukan atas kehendak-Nya. Karena itu, di penghujung doa itu, Yesus pasrah pada kehendak Bapa-Nya:” tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki.”
Jalan yang ditempuh Yesus untuk menyelamatkan manusia, dilakoni oleh “Hamba Allah” yang jauh-jauh hari telah dinubuatkan oleh nabi Yesaya:
“Ia dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan; ia sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap dia dan bagi kitapun dia tidak masuk hitungan. Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya, padahal kita mengira dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah. Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh. Kita sekalian sesat seperti domba, masing-masing kita mengambil jalannya sendiri, tetapi TUHAN telah menimpakan kepadanya kejahatan kita sekalian. Dia dianiaya, tetapi dia membiarkan diri ditindas dan tidak membuka mulutnya seperti anak domba yang dibawa ke pembantaian; seperti induk domba yang kelu di depan orang-orang yang menggunting bulunya, ia tidak membuka mulutnya.”
Tuhan tidak ingin Citra-Nya sendiri itu terlempar jauh dari rencana keselamatan-Nya. Maka Dia harus merancang keselamatan manusia dengan mengutus Putra Tunggal-Nya. Namun sayang, Putra Tunggal-Nya harus melewati Jalan Derita itu, agar manusia diselamatkan. Dan jalan itu, dilalui Yesus Putra-Nya hingga titik darah-Nya yang penghabisan. Misi keselamatan tuntas-paripurna Ia laksanakan. Karena itu, sebelum wafat, Dia berseru:” Sudah Selesai.”
Saudara-saudariku yang tekasih, hari ini, dibayangi Kisah Sengsara Yesus, kita berpawai dalam duka mendalam. Kita arak berbaris satu demi satu. Datang bersujud-simpuh di bawah kaki salib Yesus. Lalu memberikan penghormatan khusuk-kudus, seraya berkata dalam hati:” Semoga Dengan Salib Suci-Mu Engkau Telah Menebus Dunia.”
Dosa dunia, dosa manusia ditebus Kristus melalui jalan derita itu. Ia memberikan diri-Nya sehabis-habisnya demi keselamatan kita manusia. Itulah makna terdalam dari peristiwa Yesus Memecahkan Roti lalu membagi-bagikan kepada murid-murid-Nya, yang baru saja kita rayakan malam tadi.
Maka sesudah kita menyambut Tubuh dan Darah Kristus, sesudah kita memberikan pernghormatan khusus pada Salib Kristus, tugas kita selanjutnya adalah menjadi “Kristus yang lain,” – menjadi Alter Christus– untuk keselamatan manusia. Maka misi penyelamatan itu tiada pernah berhenti, ia terus berkelanjutan, sepanjang manusia itu ada.
Mengakhiri kotbah ini, saudara-saudaraku, sesudah kita semua memberi penghormatan agung di hari Kudus Mulia ini, kita kembali penuh haru dalam nestapa yang mendalam. Kita larut dalam larah yang nyaris tiada bertepi. Di keheningan Jumat Agung nan Kudus itu, saya mengajak kita semua, sekali lagi, mari kita memaknai puisi Chairil Anwar dalam Silentium Magnum, dalam Keheningan Agung sepanjang hari ini:
Itu tubuh
mengucur darah
mengucur darah
rubuh
patah
mendampar tanya: aku salah?
kulihat tubuh mengucur darah
aku berkaca dalam darah
terbayang terang di mata masa
bertukar rupa ini segara
mengatup luka
aku bersuka
Itu tubuh
mengucur darah
mengucur darah