Oleh : Germanus S. Atawuwur, Alumnus STFK Ledalero
Ul. 8:2-3.14b-16a; Kor.10:16-17; Yoh.
WARTA-NUSANTARA.COM–Bapa, ibu, saudara, saudari yang terkasih, hari ini Gereja Katolik sejagat merayakan hari raya Tubuh dan Darah Kristus. Bertepatan dengan pesta tersebut, saya teringat cerita tentang perjalanan iman Scott dan Kimberly Hahn yang mengusulkan agar dalam Gereja Episkopal mengadakan perjamuan Ekaristi atau komuni setiap minggu.
Usulan Scott terlihat sangat aneh bagi jemaat gereja itu, karena menurut mereka menerima komuni setiap minggu akan menjadi sebuah rutinitas yang berlebihan yang akhirnya menumbuhkan sikap yang tidak hormat. Scott kemudian menjawabnya dengan jawaban yang menggugah: “Setiap kali menerima komuni, kita bersatu dengan Kristus dan perjanjian kita denganNya dibaharui. Sama halnya ketika membaharui perjanjian nikah dengan istri, apakah hanya ingin membaruinya dua kali dalam setahun atau membaruinya sekali seminggu”. Akhirnya usulan Scott diterima, Ekaristi dilaksanakan setiap minggu dan dijadikan sebagai puncak ibadat.
Apa yang diperjuangkan Scott untuk diterapkan di Gereja Kristen Episcopal ini mirip dengan praktek kita orang katolik selama ini. Kita tidak hanya menerima Tubuh dan Darah Kristus pada setiap hari Minggu saja, tetapi boleh setiap hari. Karena menurut ajaran Katolik, Perayaan Ekaristi menjadi sumber, pusat dan puncak iman kita. Meminjam istilah Scott, Ekaristi itu layak diterima sesering mungkin, karena dengannya kita bersatu dengan Kristus dan jemaat serta perjanjian kita dengan Allah dibarui. Suatu kebahagiaan yang tiada tara jika setiap hari kita mengalami persatuan dengan Kristus dan tubuh rohani kita dikuatkan lewat santapan surgawi.
Pernyataan Scott ini tentu berangkat dari refleksi injil yang kita dengar hari ini:” Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia.” Hal yang sama ditegaskan oleh Paulus dalam bacaan II. Dengan nada retoris, Paulus bertanya:” Bicara tentang Ekaristi, selalu ada hubungannya dengan Imamat, karena hanya seorang Imam yang bisa memimpin perayaan Ekaristi, yang berdasar dari perintah Yesus sendiri pada malam perjamuan terakhir, di mana pada saat itulah Yesus menetapkan sakramen Ekaristi dan Imamat. Sakramen Ekaristi adalah sakramen perjumpaan antara Allah dan manusia, dalam terang misteri Paskah Kristus yakni sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya.
Dalam perayaan ekaristi, kita berhimpun bersama dalam persatuan dengan Kristus sebagai kepala Gereja, dan kitapun meyakini bahwa kita tidak hanya sekedar berkumpul bersama, namun kita mengimani bahwa dalam ekaristi, Kristus sungguh hadir dan menjumpai kita umat-Nya. Ia hadir dalam rupa Roti dan Anggur yang telah dikonsekrir oleh Imam. Dengan demikian, maka perayaan ekaristi tidak bisa dipermainkan, tidak bisa dirayakan asal-asalan. Perayaan ekaristi harus dilakukan dengan penuh penghayatan. Supaya perayaan ekaristi dapat dihayati secara utuh maka butuh keterlibatan semua yang hadir, karena perayaan ekaristi adalah perayaan kebersamaan. Tidak hanya kebersamaan dengan sesama manusia tapi kebersamaan dengan Allah, sehingga ekaristi adalah sumber dan puncak (fons et culmen) dari keseluruhan kehidupan kita.
Jadi, ketika seorang katolik makan tubuh dan minum darah Kristus artinya kita bersatu dengan-Nya. Bila kita sudah bersatu dengan Kristus maka kita akan mengalami hidup yang kekal. Karena itu, secara negative, penginjil Yohanes mengatakan bahwa:” Aku berkata kepadamu, sesungguhnya, jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu. Barang-siapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal, dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman. Sebab daging-Ku adalah benar-benar makanan, dan darah-Ku adalah benar-benar minuman.”
Kata-kata Yohanes, kemudian ditegaskan oleh Paulus dalam bacaan II. Dengan nada retoris Paulus bertanya:” Bukankah piala syukur yang kita syukuri merupakan persekutuan dengan darah Kristus? Bukankah roti yang kita bagi-bagi merupakan persekutuan dengan tubuh Kristus? Karena roti itu hanya satu, maka kita ini, sekalipun banyak merupakan satu tubuh, karena kita semua mendapat bagian dalam roti yang satu.”
Bahwa roti itu hanya satu sebagaimana dikatakan Paulus maka konsekwensinya adalah bila kita semua makan dari roti yang satu itu, maka kita semua tidak saja menjadi satu tetapi kita semua adalah satu. Kita adalah satu karena kita memiliki kesempatan untuk datang kepada-Nya dalam perayaan Ekaristi harian ataupun mingguan. Kita akhirnya dipersatukan oleh Kristus sendiri.
Sama seperti sebuah roti harus dibagi-bagi dengan cara dipecah-pecahkan agar bisa diterima oleh semua orang yang makan di meja itu, demikian juga tubuh Kristus harus dipecah-pecahkan agar bisa diterima semua orang yang akan makan bersama Allah di dalam zaman akhir nanti. Yesus menyerahkan tubuh-Nya untuk dipecah-pecahkan. Dia menyerahkan diri-Nya untuk dimiliki oleh semua orang yang datang kepada Dia. Dia menyerahkan diri-Nya demi orang-orang yang dipilih oleh Bapa di surga.
Orang-orang yang dipilih oleh-Nya adalah orang-orang yang dengan rajin dan setia datang kepada Kristus dan percaya kepada-Nya, menjadi milik-Nya. Dan siapa pun yang menjadi milik-Nya hanya mungkin digerakkan untuk datang kepada-Nya karena ditarik oleh Bapa di surga. Tidak ada yang dapat menjadi milik Kristus dengan mengandalkan diri sendiri.
Saudara-saudara, bertepatan dengan hari raya Tubuh dan Darah Kristus hari ini, sebenarnya kita sedang berbicara tentang Ekaristi. Ekaristi selalu ada hubungannya dengan Imamat, karena hanya seorang Imam yang bisa memimpin perayaan Ekaristi, yang berdasar dari perintah Yesus sendiri pada malam perjamuan terakhir, di mana pada saat itulah Yesus menetapkan sakramen Ekaristi dan Imamat. Sakramen Ekaristi adalah sakramen perjumpaan antara Allah dan manusia, dalam terang misteri Paskah Kristus yakni sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya.
Dalam perayaan ekaristi, kita berhimpun bersama dalam persatuan dengan Kristus sebagai kepala Gereja, dan kitapun meyakini bahwa kita tidak hanya sekedar berkumpul bersama, namun kita mengimani bahwa dalam ekaristi, Kristus sungguh hadir dan menjumpai kita umat-Nya. Ia hadir dalam rupa Roti dan Anggur yang telah dikonsekrir oleh Imam. Dengan demikian, maka perayaan ekaristi tidak bisa dipermainkan, tidak bisa dirayakan asal-asalan. Perayaan ekaristi harus dilakukan dengan penuh penghayatan. Supaya perayaan ekaristi dapat dihayati secara utuh maka butuh keterlibatan semua yang hadir, karena perayaan ekaristi adalah perayaan kebersamaan. Tidak hanya kebersamaan dengan sesama manusia tapi kebersamaan dengan Allah, sehingga ekaristi adalah sumber dan puncak (fons et culmen) dari keseluruhan kehidupan kita.
Di akhir kotbah ini, saya mengajak kita semua hening sejenak untuk mendoakan para imam di dalam hati kita masing-masing. Semoga mereka terus diberkati Tuhan agar menjadi berkat bagi banyak orang. ***