Oleh : Germanus S. Atawuwur, Alumnua STFK Ledalero
Yes. 56:1.6-7; Rm. 11:13-15.29-32; Mat.15:21-28
WARTA-NUSANTARA.COM–Bapa, ibu, saudara, saudari yang terkasih dalam Kristus, kita baru saja mendengar bacaan injil tentang kisah heroik seorang ibu yang berjuang demi kesembuhan anaknya. Saya yakin, ada di antara kita memiliki kesan biasa-biasa saja ketika mendengarkan bacaan injil ini. Tetapi bila kita merefleksikan lebih jauh, kita akan terkagum-kagum akan perjuangan ibu ini. Dia merasa gelisah.
Hatinya gundah. Bathinnya tentu sangat tersayat karena putri semata wayang, tak juga kunjung sembuh. Ia sudah berdaya upaya, mencari berbagai alternative agar putrinya harus sembuh. Namun tak kunjung ditemukannya obat yang cocok. Dalam kondisi ini, dia tidak patah arang. Di pelupuk matanya selalu terbayang putrinya yang sungguh menderita itu. Maka dia terus berusaha dengan prinsip dum spiro spero, – selama saya masih bernapas, saya terus berjuang-.
Di tengah perjalanannya, ia melihat Yesus dan murid-murid-Nya lewat. Tanpa sungkan, tiada malu, ia berteriak:”Kasihanilah aku, ya Tuhan, Anak Daud, karena anakku perempuan kerasukan setan dan sangat menderita.” Namun sayang, teriakan perempuan itu seolah-olah tak didengarkan Yesus. Yesus sepertinya masa bodoh saja. Sebagai manusia, Yesus tahu bahwa dia itu seorang perempuan Kanaan. Seorang perempuan menurut adat istiadat orang Yahudi adalah makhluk kelas dua. Mereka tidak diperhitungkan dalam pergaulan sosial. Mereka bedah strata social dengan orang Israel.
Menurut orang Yahudi, bangsa Kanaan mereka adalah kaum kafir. Keturunan orang-orang najis. Bila bergaul dengan mereka atau jika meladeni perempuan ini saja, mereka tentu menjadi najis. Lebih celaka lagi, bila dilihat oleh kelompok orang farisi, mereka bisa dirajam. Dua hal: perempuan itu dan orang Kanaan memicu reaksi para murid Yesus. Mereka pun meminta kepada Yesus:” Suruhlah ia pergi, ia mengikuti kita dengan berteriak-teriak.” Yesus seolah terprovokasi oleh reaksi murid-murid-Nya. Maka kepada perempuan itu Yesus menjawab: “Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel.”
Perempuan itu tidak peduli akan kata-kata Yesus. Yang ada di benakknya hanyalah kesembuhan putri kekasihnya. Karena itu, ia memberanikan dirinya untuk mendekat dan menyembah Yesus sambil berkata: “ Tuhan, tolonglah aku.”
Yesus rupanya benar-benar terganggu dengan teriakan perempuan itu. Maka kepada perempuan itu Yesus menjawab: ” Tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing.”
Kata-kata Yesus ini sungguh pedas, mengiris rasa. Perempuan ini, malah direndahkan seperti seekor anjing. Ia bahkan disejajarkan dengan anjing. Ia ternyata bukan siapa-siapa. Mustinya setelah mendengar kata-kata itu, perempuan ini harus malu dan berlari pulang sambil menangis. Tetapi lagi-lagi, terbayang penderitaan putrinya. Kesembuhan putrinya adalah prioritas perjuangannya. Selain itu, hati kecilnya membatin:” Yang kupanggil Tuhan, bukanlah orang biasa. Dia adalah Tabib di atas segala Tabib. Dia adalah Tabib Agung. Barsabda saja, putriku pasti sembuh” Karena itu perempuan itu berkata kepada Yesus: “Benar Tuhan, namun anjing itu makan remah-remah yang jatuh dari meja tuannya.”
Yesus melihat betapa gigihnya perjuangan ibu ini. Jauh lebih dalam, Yesus tahu betapa tangguhnya imannya. Maka Yesus menjawab dan berkata kepadanya: “Hai ibu, besar imanmu, maka jadilah kepadamu seperti yang kaukehendaki.” Dan seketika itu juga anaknya sembuh.
Bapa, ibu, saudara, saudari yang terkasih,
Panggilan hai ibu adalah pengakuan akan eksistensi kemanusiaan perempuan itu sebagai citra Allah, – Imago Dei -. Kata-kata itu adalah junjungan terhadap martabat perempuan itu. Kata-kata itu adalah juga bentuk kritik Yesus terhadap sikap murid-murid-Nya. Murid-murid itu menganggap perempuan itu adalah seekor anjing, – no body, – bukan siapa-siapa -. Karena itu sapaan Yesus:”Hai ibu” adalah pengakuan kemuliaan martabat manusia, dari no body, menjadi some body – seseorang. Dari bukan siapa-siapa menjadi seseorang.
Hai Ibu, adalah juga pengakuan kesetaraan, affirmasi kesederajatan, bahwa di mata Tuhan, semua manusia sama saja.
Yesus tidak saja menyapanya sebagai seorang ibu, tetapi dia juga memuji iman perempuan ini. Perempuan ini adalah orang Kanaan, wakil bangsa non Yahudi, yang tidak diprioritaskan dalam misi keselamatan kepada mereka, tetapi oleh karena besar imannya, terjadilah kesembuhan seketika di dalam diri putri tunggalnya.
Sapaan Yesus terhadap perempuan itu dan penyembuhan putrinya yang terjadi seketika itu, hendak mengajarkan kepada murid-murid-Nya bahwa semua manusia itu sama martabatnya. Karena itu tidak boleh merendahkan manusia lainnya. Apalagi menyamakan dengan binatang. Maka kata-kata Yesus, hai ibu adalah penyembuhan secara psiko social terhadap martabat perempuan itu sekaligus juga adalah pengakuan iman yang besar yang dimiliki perempuan itu yang berdampak pada kesembuhan purinya. Tindakan memanggil perempuan itu dengan sebutan ibu dan penyembuhan terhadap putrinya sebenarnya memiliki makna yang paling dalam, yakni pemuliaan manusia oleh Sang Ilahi. Allah memuliakan manusia dalam diri perempuan dan putrinya.
Maka, bila minggu kedelapan belas lalu kita peringati sebagai bentuk Pemuliaan Yesus oleh Bapa-Nya, lalu dilanjutkan dengan minggu biasa kemarin sebagai bentuk Pemuliaan Bunda Maria oleh Tuhan dengan mengangkat Maria dengan jiwa raganya ke surga, maka minggu ini adalah minggu pe-mulia-an terhadap martabat manusia sebagai citra Allah.
Bapa, ibu, saudara, saudari yang terkasih dalam Kristus, kisah perempuan Kanaan dan kesembuhan putrinya adalah pintu masuk untuk memahami bahwa rancangan keselamatan Tuhan tidak hanya ditujukan kepada orang Israel, – bangsa Yahudi – saja, melainkan berlaku untuk segala bangsa di muka bumi ini. Jadi keselamatan Tuhan itu bersifat universal, terbuka kepada semua orang; tidak tertutup hanya kepada bangsa Yahudi, sebagaimana kata-kata Tuhan yang kita dengar dalam bacaan I tadi:” Dan orang-orang asing yang menggabungkan diri kepada TUHAN untuk melayani Dia, untuk mengasihi namaTUHAN dan untuk menjadi hamba-hamba-Nya, semuanya yang memelihara hari Sabatdan tidak menajiskannya, dan yang berpegang kepada perjanjian-Ku, mereka akan Kubawa ke gunung-Ku yang kudus dan akan Kuberi kesukaan di rumah doa-Ku. Aku akan berkenan kepada korban-korban bakaran dan korban-korban sembelihanmereka yang dipersembahkan di atas mezbah-Ku, sebab rumah-Ku akan disebut rumah doa bagi segala bangsa.”
Injil hari ini, pada akhirnya menunjukkan kepada kita bahwa keselamatan yang dirancang Tuhan itu untuk semua orang pada setiap suku bangsa, asalkan iman kita kepada-Nya harus kokoh-kuat seperti perempuan Kanaan tadi. Bila demikian maka kepada kita Yesus akan katakan:” (sebut namamu dalam hati), besar Imanmu!”