Siaran Pers Tim Penasehat Hukum Lukas Enembe yang diterima Warta-Nusantara.Com, Rabu, 30/8/2023.
JAKARTA : WARTA-NUSANTARA.COM–Sidang dugaan suap dan gratifikasi yang menjadikan Gubernur Papua non aktif, Bapak Lukas Enembe sebagai terdakwa digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (28/08/2023). Dalam sidang, Majelis Hakim mendengarkan keterangan dua saksi ahli, diantaranya, Dr. Muhammad Rullyandi, SH, MH (Pakar hukum tata negara dan dosen tetap FH Universitas Jayabaya) dan Dr. Eko Sambodo, SE, MM, Mak, CFrA (Ahli keuangan negara dan perhitungan kerugian negara).
Dalam keterangannya, Rullyandi mengatakan, dalam pengelolaan keuangan negara, maka hukum administrasi itu ditindaklanjuti dalam ruang lingkup pengelolaan keuangan negara, yang diawasi oleh lembaga negara yang bernama Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). “BPK itu menjadi ujung dalam pemeriksaan akhir terhadap rangkaian pengelolaan negara, dimulai dari perencanaannya, pelaksanaan dan sebelum pertanggungjawabannya, ada di pengawasan,” kata Rullyandi.
Obyek yang menjadi pengawasan BPK termasuk, pengadaan barang dan jasa. Dan ketika dalam pengawasannya, BPK menemukan unsur pidananya, baru BPK melaporkan hal itu instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Hal tersebut menurut Rullyandi, diatur dalam Pasal 14 Undang-Undang No.15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Isi Pasal 14 UU No.15 Tahun 2004 :
“(1) Apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK segera melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Jadi sebelum temuan itu berkembang dan dikenakan pasal pidana suap atau gratifikasi, maka harus diuji dulu oleh BPK. “Harus diuji dulu oleh BPK, baru kemudian BPK melaporkannya ke instansi penegak hukum. Itu jalan pikiran yang benar. Jadi selama masih dalam proses administrasi, di wilayah-wilayah itu, sebenarnya penegak hukum tidak boleh masuk ke wilayah administrasi itu. Ada pesan (di UU itu) bahwa ketika berlangsung penegakan hukum administrasi, maka penegak hukum tidak boleh masuk, sebelum BPK memberikan rekomendasi,” ujar Rullyandi.
Dalam legal opinionnya yang diserahkan ke Majelis Hakim, Rullyandi mengatakan, berdasarkan kebenaran faktul laporan audit BPK semasa periode Gubernur Lukas Enembe tidak terdapat indikasi pidana dalam pengelolaan keuangan daerah termasuk tidak terdapat dugaan indikasi penyimpangan dalam proses pengadaan barang dan jasa yang merupakan refleksi pemenuhan asas kepastian hukum rechtszakerheid van beginselen. Ahli berpendapat terkait dengan dimulainya proses penyidikan terhadap tindak pidana korupsi kepada Terdakwa Lukas Enembe dengan dugaan tindak pidana suap dan gratifikasi tidak berdasarkan rekomendasi BPK. Sehingga sejak awal penyidikan tersebut hingga dilimpahkan ke pengadilan telah mengabaikan UU No. 15 Tahun 2004 khususnya ketentuan pasal 14.
“Bahwa dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi terkait dengan keberadaan norma pidana yang mengatur mengenai larangan perbuatan suap dan gratifikasi diperlukan pendekatan norma hukum administrasi dengan merujuk UU No. 1 Tahun 2004 tentang perbendaharaan negara, yang pada bagian menimbang huruf c menyatakan dalam rangka pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara diperlukan kaidah hukum administrasi keuangan negara yang mengatur perbendaharaan negara,” ujar Rullyandi. Yang pengaturan lebih lanjut diatur dalam UU No. 15 Tahun 2004 tentang Tanggung Jawab Pemeriksaan dan Pengelolaan Keuangan Negara, bahwa terkait pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara dalam penegakan tindak pidana korupsi, haruslah dipahami secara terpadu tidak hanya dari aspek hukum pidana sebagai ultimum remedium namun juga ditinjau dari hukum administrasi negara sebagai primum remedium.
Terkait dengan tuduhan penyalahgunaan jabatan, Rullyandi berpendapat bahwa Terdakwa selaku Gubernur Papua tidak memenuhi kualifikasi menyalahgunakan jabatannya dengan tindak pidana suap dan gratifikasi sebagaimana dalam Pasal 11, 12A dan 12B UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 (karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya pada proses pengadaan barang dan jasa, diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya) yang karena jabatannya selaku Gubernur dan sebagai Pengguna Anggaran sudah didelegasikan diserahkan kepada kuasa pengguna anggaran dan pejabat yang diberi wewenang melaksanakan panitia pengadaan barang jasa sesuai ketentuan Pasal 18 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yaitu : Pejabat yang menandatangani dan/atau mengesahkan dokumen yang berkaitan dengan surat bukti yang menjadi dasar pengeluaran atas beban APBN/APBD bertanggung jawab atas kebenaran material dan akibat yang timbul dari penggunaan surat bukti dimaksud.
Sementara itu menurut Dr. Eko Sambodo, SE, MM, Mak, CFrA selaku saksi ahli keuangan negara dan perhitungan kerugian negara, bila suatu provinsi telah diberikan sembilan kali opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) oleh BPK, maka secara administrasi, semua sudah diadministrasikan sesuai dengan peraturan yang berlaku dan pertanggungjawabannya, sudah sesuai dengan standar akuntan. “Kalau tadi dalam mengelola keuangan, sudah diaudit dan WTP, maka tidak ada hal-hal yang dilanggar sesuai dengan peraturan.
Ditanya Prof. OC Kaligis, apakah dengan opini WTP ini dapat membuktikan bahwa provinsi tersebut tidak ada korupsi, saksi menjawab, bahwa dalam istilah auditor, korupsi dikenal dengan istilah penyimpangan. “Korupsi dikenal dengan istilah penyimpangan. Penyimpangan ini yang akan menyebabkan kerugian negara. Kalau sudah dapat opini WTP, berarti segala sesuatunya, telah tersusun sesuai peraturan, tata kelola sudah tersusun sesuai peraturan, penyusun dan laporan sudah sesuai peraturan, pengeluaran sudah didukung bukti, sudah ada klarifikasinya, yang semua dijadikan satu. Itu semua yang kemudian diberikan WTP,” ujar Eko. Seperti diketahui, selama 10 tahun dibawah kepemimpinan Bapak Lukas Enembe sebagai Gubernur Papua, Provinsi Papua meraih opini sembilan kali WTP berturut-turut. (*/WN-01)