Oleh : Germanus S. Atawuwur, Alumnus STFK Ledalero
Yeh. 18:25-28; Flp: 2:1-11; Mat. 21:28-32.
WARTA-NUSANTARA.COM–Bapa, ibu, saudara, saudari yang terkasih, sejatinya, perikop mengenai “Perumpamaan tentang dua orang anak” yang baru saja kita dengar disampaikan langsung oleh Tuhan Yesus kepada para murid-Nya pada zamannya. Secara implisit, inti dari perumpamaan ini adalah mendidik, mengajar, menasihati dan mengingat, mengeritik, menegur dan mengoreksi para murid-Nya, para ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang sedang mendengarkan ajaran Yesus saat itu. Bahkan boleh juga dikatakan bahwa perumpamaan tentang dua anak ini adalah model sindiran Yesus terhadap mereka semua di kala itu.

Sang anak sulung mempunyai hati yang jahat dan tidak mau tunduk kepada apa yang diperintahkan oleh bapanya. Tetapi pemberontakannya dan hatinya yang keras tidak ditunjukkannya di luar. Dari luar dia terlihat begitu taat dan tidak ada perlawanan sama sekali. Dia mengatakan “ya” untuk setiap perintah yang diberikan oleh bapanya. Tetapi dia hanya mengatakan “ya” di mulut, karena ternyata semua perintah bapanya diabaikan olehnya. Anak sulung ini melambangkan para pemimpin agama pada waktu itu. Ada para imam, yang terlihat begitu saleh dan tekun dengan pekerjaan mereka di Bait Suci. Ada golongan Farisi yang begitu ketat di dalam menjalankan perintah Tuhan. Mereka begitu fasih dalam berbicara tentang Taurat dan tafsiran-tafsiran yang ada. Mereka begitu giat di dalam menjalankan apa yang diperintahkan oleh Taurat dan tradisi Yahudi. Ada juga golongan tua-tua yang terlihat begitu berotoritas. Mereka terlihat penuh dengan wibawa dan semua perintah dan keputusan mereka akan dijalankan oleh seluruh orang Yahudi sebagai ajaran dari orang-orang yang memiliki otoritas dari Tuhan.

Orang-orang ini adalah seperti anak sulung yang mengatakan “ya” tetapi tidak bertindak apa-apa. Semua hanya sekadar rutinitas bagi orang-orang ini. Maka, karena merasa telah secara rutin melakukan kegiatan-kegiatan rohani, orang-orang ini merasa diri mereka saleh dan baik. Mereka merasa diri mereka adalah orang-orang yang menduduki kursi penting di dalam Kerajaan Allah. Tetapi mereka lupa berjuang demi Firman Tuhan dan berkorban demi sesama.

Perumpamaan Yesus tentang dua anak dengan karakter yang berbeda, sesungguhnya adalah representasi manusia dewasa ini. Bahwa sekalipun anak-anak itu terlahir dari orang tua yang sama, tetapi mereka memiliki tabiat dan karakter masing-masing. Bahwa sekalipun manusia itu adalah kembar identik, tokh dalam hal tertentu, dia itu unik. Manusia itu akan mengekspresikan jati diri sesungguhnya untuk menyatakan bahwa aku adalah aku. Aku manusia yang berbeda dari yang lainnya. Karena itu dalam hal apapun, ia akan betanggungjawab dalam pengejewantahan dirinya sendiri, termasuk di dalamnya adalah perjuangannya secara individual untuk menggapai kebahagiaan atau keselamatan. Maka sering kita dengar, manusia itu mau bahagia atau tidak, manusia itu mau sukses atau tidak, manusia itu mau selamat atau tidak, tergantung pada pribadi orang itu sendiri. Atau dalam bahasa nabi Nehemia dia katakan:” Setiap manusia bertanggung jawab atas dirinya.”

Kata-kata nabi Yehezekiel ini muncul sebagai respons atas pandangan orang Israel di kala yang percaya bahwa mereka dihukum karena dosa-dosa para leluhur dan karena itu Allah tidak adil; mereka tidak sadar bahwa dosa-dosa mereka sendiri lebih parah daripada dosa para leluhur itu. Pasal ini mengajarkan kebenaran dasar bahwa setiap orang bertanggung jawab kepada Allah atas hidupnya sendiri, dan bahwa setiap orang yang terus-menerus berbuat dosa akan mati secara rohani dan menderita hukuman kekal.
Yehezkiel menjelaskan bahwa semua orang bertanggung jawab atas dosanya sendiri. Karena itu maka dalam teks tadi kita dengar lebih lanjut kata-kata sang nabi:” Kalau orang benar berbalik dari kebenarannya dan melakukan kecurangan sehingga ia mati, ia harus mati karena kecurangan yang dilakukannya. Sebaliknya, kalau orang fasik bertobat dari kefasikan yang dilakukannya dan ia melakukan keadilan dan kebenaran, ia akan menyelamatkan nyawanya. Ia insaf dan bertobat dari segala durhaka yang dibuatnya, ia pasti hidup, ia tidak akan mati.”
Agar seseorang insaf dan bertobat dari segala durhaka yang dibuatnya, maka syaratnya ialah bahwa orang itu harus rendah hati sebagaimana nasehat Paulus dalam bacaan II:” Hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga.”
Bersifat rendah hati berarti bahwa kita menyadari kelemahan-kelemahan kita dan dengan lekas akan menghormati Allah dan orang lain melalui hal-hal yang kita ucapkan dan kerjakan. Sebaliknya, lawannya kerendahan hati adalah kesombongan, suatu perasaan yang berlebih-lebihan tentang kepentingan diri dan harga diri di dalam seseorang yang percaya akan kebaikan, keunggulan, dan prestasinya sendiri.
Saudara-saudara, kerendahan hati yang menjadi inti pewartaan Paulus pada hari ini sejatinya mau menekankan bahwa kerendahan hati adalah pintu menuju keselamatan.
Tentang hal ini, telah diterangkan dalam perumpamaan tentang dua orang anak dalam bacaan injil hari ini. Dengan menonjolkan sifat anak bungsu yang mulanya pembangkang dan pemberontak tetapi kemudian ia insaf lalu bertobat, ia kemudian melaksanakan apa yang diperintahkan ayahnya.
Bahwa anak bungsu ini dengan jujur mengatakan “tidak” kepada bapanya. Dia tidak mau mengerjakan perintah bapanya. Dia tidak suka, dia benci, dia tidak peduli bapanya mau apa, dan dia hanya mau melakukan tindakannya sendiri. Maka anak bungsu ini menjadi seperti orang-orang jahat yang memberontak kepada Tuhan. Orang-orang yang pemberontakannya begitu menonjol dan terlihat dengan jelas: para pelacur, para perempuan sundal, dan para pemungut cukai. Inilah sampah masyarakat, sampah orang-orang Yahudi, dan juga sampah gereja. Mana mungkin mereka boleh disejajarkan dengan pelayan, ahli Taurat, orang Farisi, imam, dan tua-tua? Bukankah mereka terlalu hina dan harus diletakkan di tempat yang sangat rendah? Tetapi Tuhan Yesus mengatakan bahwa anak bungsu itu akhirnya sadar betapa jahatnya dia. Dia pun bertobat dan mengerjakan apa yang dikehendaki oleh bapanya. Dia bertindak dengan taat setelah sadar akan dosa-dosanya.
Bapa, ibu, saudara, saudariku terkasih, setelah mendengar ulasan kotbah hari ini, kita akhirnya sampai pertanyaan ini:” Sampai detik ini, apakah saya adalah si anak sulung atau saya hari ini telah menjadi anak bungsu?”
Apapun jawaban kita, sadarlah akan nasehat nabi Yehezekiel hari ini:” Setiap manusia bertanggung jawab atas dirinya! ***