Oleh ; Germanus S. Atawuwur, Alumnus STFK Ledalero
Kej. 9:6-15; 1 Ptr.3:18-22; Mrk. 1:12-15
Bapa, ibu, saudara, saudari yang terkasih
WARTA-NUSANTARA.COM–Kita berada kembali dalam masa penuh rahmat yang disiapkan Gereja untuk menjalani ret-ret agung selama 40 hari, berjalan bersama Yesus yang menderita karena kelemahan, salah dan dosa kita umat manusia yang dipikul-Nya agar kitapun pada akhirnya boleh menikmati kebangkitan bersama-Nya di hari raya Paskah Tuhan.
Kita mengawalinya dengan menerima/menandai diri kita dengan abu. Abu tanda kerapuhan kemanusiaan kita, olehnya kita, anda dan saya hanyalah sebutir debu di bawah telapak kaki Tuhan. Abu juga sebagai pernyataan perendahan diri, penyadaran akan kelemahan diri, fana, mudah terseret nafsu duniawi, untuk berbalik kepada Allah melalui pertobatan, untuk hidup sesuai dengan kodrat anak Allah, melalui amal kasih, puasa dan doa, agar semakin nyata dan berbuah kasih Allah dalam diri dan hidup kita, dalam ketulusan dan kejujuran menghayati nilai-nilai Kerajaan Allah.
Memasuki minggu Prapaskah/Minggu Puasa I, kita mendengar bacaan injil yang mengisahkan tentang Yesus yang dibawa Roh-Nya ke Padang Gurun. Bila kita cermati teks-teks injil parallel, Matius dan Lukas sama-sama setuju dengan Markus bahwa Yesus berada di padang gurun selama 40 hari, sedangkan injil Yohanes diam tentang keseluruhan kejadian itu. Bila diteliti lebih jauh, Matius dan Lukas sepakat bahwa saat di padang gurun, Yesus tidak saja dicobai iblis tetapi juga berpuasa. Bagian cerita inilah yang mempengaruhi pengertian tradisional masa prapaskah sebagai masa puasa.
Dalam kisah Markus ini, kita hanya mendengar bahwa Yesus dibawa oleh Roh-Nya untuk pergi ke Padang Gurun. Markus mencatat:” Di padang gurun itu Ia tinggal empat puluh hari lamanya, dicobai oleh Iblis.Ia berada di sana di antara binatang-binatang liar dan malaikat-malaikat melayani Dia.”
Markus tidak secara rinci menyampaikan pencobaan-demi pencobaan yang dialami Yesus seperti yang dikisahkan penginjil Mateus.
Pencobaan yang dialami oleh Yesus yang dikisahkan oleh penginjil Mateus memiliki benang merah dengan pencobaan yang dialami oleh Adam dan Hawa. Pencobaan itu terkait dengan makanan kepentingan diri sendiri, serta menyembah allah lain demi mendapatkan dunia dan isinya. Perbedaan dari pencobaan ini, Adam kalah dan Yesus menang. Persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan itu menunjukkan bahwa Yesus memainkan ulang peran Adam dalam melawan pencobaan. Yesus juga mengingatkan kita akan Musa dan bangsa Israel, yang keluar dari Mesir dan mengembara di padang gurun selama empat puluh Tahun. Tidak sama dengan mereka, Yesus menang melawan pencobaan yang dialami-Nya. Yesus memenangkan pencobaan di padang gurun.
Sampai di sini kita kemudian bertanya, mengapa Yesus justru dibawa oleh RohNya ke Padang gurun? Bukankah padang gurun itu sebagai suatu tempat yang dipenuhi dengan pasir, berbatu-batu, tidak ada pohon, tidak ada air, pada siang hari cuacanya sangat panas dan sebaliknya pada malam hari cuacanya sangat dingin dan tidak ada apa-apa? Lalu, mengapa Yesus justru dibawa RohhNya ke padang gurun?
Karena padang gurun adalah tempat Sabda. Karena padang gurun adalah tempat yang paling pas untuk berjumpa dengan Tuhan. Dalam Kitab Suci Tuhan suka berbicara kepada manusia perjanjian lama di padang gurun.
Ketika bangsa Israel menjauhkan diri daripada-Nya, menjadi mempelai yang tidak setia, Allah bersabda: “Lihatlah, Aku akan memikatnya, dan membawanya ke padang belantara, dan berbicara dengan lembut kepadanya. Dan di sana ia akan menjawab seperti pada masa mudanya (bdk. Hos 2:16-17). Di padang gurun orang mendengarkan Sabda Allah, yang seperti suara cahaya. Keintiman dengan Allah, kasih Tuhan ditemukan kembali di padang belantara.
Sementara itu dalam Perjanjian Baru, setiap hari Yesus suka menarik diri ke tempat-tempat gurun untuk berdoa (bdk. Luk 5:16). Ia mengajarkan kita bagaimana mencari Bapa, yang berbicara kepada kita dalam keheningan.
Saudara-saudaraku, pasca pemilu yang penuh dinamika ini, di mana setiap orang sibuk mencari pembenaran-pembenaran melalui berbagai narasi yang membuat gaduh negeri ini, kita diajak untuk berdiam diri, untuk mengheningkan diri dari beraneka kesibukan dunia. Maka masa pra paskah adalah saat yang tepat, moment berrahmat untuk kita bersua dengan Tuhan dalam keheningan padang gurun. Masa Prapaskah adalah masa yang tepat untuk menyediakan ruang bagi Sabda Allah. Inilah saatnya meninggalkan segala rutinitas dan aktifitas untuk “pergi ke padang gurun. Masa Prapaskah adalah padang gurun, Masa Prapaskah adalah masa untuk meninggalkan, melepaskan diri dari rutinitas kita dan menghubungkan diri kita dengan Injil. Inilah saatnya untuk meninggalkan perkataan yang sia-sia, fitnah, desas-desus dan pergunjingan, serta berbicara dan memberikan diri bagi Tuhan. Inilah saatnya untuk mengabdikan diri pada ekologi hati yang sehat, membersihkannya dari polusi-polusi dosa keangkuhan, fitnah dan suka mempersalahkan orang lain.
Pada Masa Prapaskah ini, Tuhan hendak mengangkat kita yang sering tenggelam dalam kata-kata kosong, dan lebih mementingkan publisitas diri, yang pada giliannya kita beresiko tergelincir ke dalam keduniawian yang menghentikan pertumbuhan hati yang berbelarasa.
Karena itu, pada hari ini, Yesus memanggil kita di padang gurun, Yesus mengundang kita untuk pergi ke padang gurun. Ia mengundang kita untuk datang ke sana. Di sana, di padang gurun itu dengan mata iman kita, kita melihat bahwa Ia berada di sana di antara binatang-binatang liar dan malaikat-malaikat melayani Dia.
Hari ini juga, bila kita sudah berhasil berjumpa dengan Tuhan dalam keheningan padang gurun, kita pun akhirnya dituntun oleh suara padang gurun, untuk memiliki hati yang peduli sesama dan peduli ekologis. Dalam keheningan padang gurun itu kita menjumpai orang-orang yang sendirian dan ditinggalkan. Berapa banyak orang miskin dan lanjut usia di samping kita dan hidup dalam keheningan, tanpa berteriak, terpinggirkan, dan tercampakkan! Perjumpaan dengan Tuhan di padang gurun menuntun kita kepada mereka, kepada semua orang yang, terbungkam, meminta pertolongan kita dalam keheningan.
Karena itu maka haruslah dimaknai bahwa Perjalanan Prapaskah di padang gurun adalah sebuah perjalanan amal kasih bagi orang-orang yang paling lemah. Juga, perjalanan padang gurun prapaskah adalah perjalanan untuk menyembuhkan bumi sebagai rumah bersama yang sedang terluka. Hari ini dengarkanlah, kita semua, anda dan saya, tanpa kecuali dipanggil untuk ke padang gurun. Karena itu, marilah kita pergi ke padang gurun. ***