Oleh: Ruben Nabu
WARTA-NUSANTARA.COM–Sejumlah mahasiswa asal Nusa Tenggara Timur (NTT) di Jakarta menggelar diskusi pasca pemilu 2024 (09/03/24). Diskusi ini hendak merespons dinamika politik selama perhelatan akbar Pemilu 2024. Inisiatif penyelenggaraan diskusi berasal dari PolisLab, sebuah forum diskusi berbasis riset yang diinisiasi oleh para mahasiswa NTT di Jakarta. Mereka mengangkat judul “Pemilu, Strategi Media dan Rasionalitas Publik” sebagai payung refleksi.


Diskusi yang berlangsung di Warung Babeh Oji, Srengseng, Jakarta Barat ini menghadirkan beragam pemikiran dan analisis dari para peserta. Hadir sebagai pembicara, Belduinus Ventura (Ketua Lembaga Advokasi Hukum dan HAM Pengurus Pusat PMKRI 2022-2024) dan Defri Ngo (alumni Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif (IFTK) Ledalero 2022 dan Ketua Forum PolisLab).

Bonaventura selaku pembicara pertama memulai pembicaraannya dengan membuat pembacaan historis mengenai perkembangan media di Indonesia dari masa Orde Baru hingga Pasca Reformasi. Ven, demikian ia disapa mengkritisi perkembangan media yang alih-alih independen, tetapi berbalik menjadi alat di tangan penguasa.
“Media pasca reformasi adalah media-media mainstream. Media yang sebenarnya produk dari kelompok elit tertentu,” ungkap Ven. Ia lantas membuat perbandingan antara media yang bekerja pada zaman Orde Baru dan Pasca Reformasi.
“Kalau pada zaman orde baru, elit secara terang benderang membatasi kebebasan media, maka sekarang elite justru memanipulasi kebebasan media. Jadi, kebebasan itu hanya propaganda. Di mana-mana, pemerintah masih punya kontrol kuat atas media,” sambung Ven.
Ia mengambil contoh mengenai kerja media pada Pemilu 2014. Menurut Ven, media kala itu terpecah ke dalam dua kubuh. TV ONE yang dikepalai oleh Aburizal Backrie cendrung membangun narasi untuk mendukung Prabowo. Sebaliknya, Metro TV yang merupakan milik Surya Paloh justru membangun kampanye untuk memenangkan Jokowi. Narasi yang dikeluarkan oleh kedua media ini membingungkan masyarakat untuk memilih pemimpin. Hal ini dikarenakan media sendiri tidak lagi netral, tetapi bersekutu pada calon tertentu. Persoalan yang sama berlaku saat Pemilu 2024. Keberpihakan media pada calon tertentu membingungkan masyarakat dalam memilih calon pemimpin terbaik. Bagi Ven, strategi pemberitaan di media selama Pemilu 2024 cenderung mengelitisasi sebuah isu dari sisi profit sehingga persoalan-persoalan dalam kehidupan masyarakat, semisal kemiskinan dan kesehatan selalu luput dari pemberitaan.
“Media seolah-olah menganggap isu tentang petani yang gagal panen, anak yang putus sekolah dan masalah stunting tidak lagi penting. Padahal, itulah isu yang harus disorot sehingga mendapat perhatian dari para elit,” umpat Bona di akhir pemaparan materi.
Selanjutnya, Defri Ngo selaku pembicara kedua membuat pembacaan filosofis terkait peran generasi milenial dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Defri, demikian ia disapa memulai pembahasannya dengan menyinggung dilema peran generasi milenial di tengah kehidupan berdemokrasi. Mereka yang seharusnya menjadi garda terdepan untuk membangun kehidupan berbangsa berbalik arah sebagai penyebab dari timbulnya sejumlah persoalan.
“Data dari Pusat Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebutkan adanya peningkatan prevelensi angka penggunaan narkoba dari 1,80% pada tahun 2019 menjadi 1,95% pada tahun 2021. Dari data tersebut, remaja dengan kelompok umur 15-24 tahun menjadi pemakai narkoba dengan jumlah terbanyak,” ungkap Defri.
Di sisi lain, Defri juga mengulas posisi generasi milenial di tengah perkembangan teknologi yang melahirkan sifat egois dan penekanan yang berlebihan pada subjektivitas. Teknologi juga turut menstimulus lahirnya sikap irasionalitas. Informasi dari media tidak lagi dicek kebenarannya, tetapi cenderung dinilai berdasarkan perasaan suka atau tidak suka.
“Milenial yang gandrung menggunakan teknologi tidak lagi menilai suatu berita berdasarkan benar atau tidaknya, tetapi lebih kepada baik atau tidaknya informasi itu untuk dia,” tandas Defri. Relasi sirukular antara media dan generasi milenial tidak akan menghantar sebuah percakapan untuk mencapai konsensus. Meminjam pendapat Foucault, ia kemudian menyimpulkan bahwa kebenaran sebagai ikhtiar demokrasi tidak akan dicapai jika media masih terkoopotasi oleh kepentingan elit.
Setelah pemaparan materi dari para narasumber, Grace Gawen selaku moderator kemudian membuka kesempatan diskusi. Banyak pertanyaan yang disampaikan oleh para peserta. Sultan, salah satu peserta diskusi memberikan tanggapan objektif terkait peran media dalam proses pemilu 2024. Ia pun menegaskan bahwa media akhir-akhir ini menjadi senjata ampuh bagi tim sukses masing-masing paslon untuk mengumpulkan pundi-pundi suara maupun untuk menyerang paslon lain dengan narasi negatif.
“Sesungguhnya kemenangan paslon 02 dalam kontestasi pilpres 2024 adalah bagian dari kemenangan media. Media mengaburkan sejumlah kebenaran sehingga masyarakat kehilangan prefrensi terkait calon mana yang layak menggantikan tongkat estafet pemerintahan Jokowi,” tutur Sultan.
Keseluruhan diskusi berjalan dengan lancar. Selaku moderator, Grace Gawen menyatakan pentingnya peran mahasiswa dalam mendorong demokrasi yang berkualitas dan transparan. Ia mengharapkan agar generasi milenial, khususnya para mahasiswa memiliki sikap bijak dan kritis terhadap strategi pemberitaan di media.
“Kita harus memberikan kontribusi nyata dalam membangun bangsa dengan melakukan penguatan diskursus di kaum akar rumput, mengontrol kebijakan publik, pemanfaatan media yang independen dan berintegritas, serta membangun budaya membaca, menulis dan berdiskusi dalam kehidupan mahasiswa,” tutup Grace di akhir acara.
Diskusi tersebut diharapkan dapat menjadi langkah awal bagi mahasiswa NTT di Jakarta untuk secara aktif berpartisipasi dalam berbagai peristiwa politik serta memperkuat pemahaman mereka akan dinamika politik di Indonesia.***
Gambar 2: pose bersama di akhir sesi diskusi