Oleh : Germanus S. Atawuwur, Alumnus STFK Ledalero
Yes. 50:4-7; Flp. 2:5-11; Mrk. 14:1-15:47
WARTA-NUSANTARA.COM–Bapa, ibu, saudara, saudari terkasih, masih ingatkah peristiwa di Tabor yang kita pernah bacakan injilnya pada Minggu Prapaskah III? Peristiwa Yesus berubah rupa di hadapan ketiga murid-Nya sekaligus menjadi moment pemakluman Allah kepada dunia bahwa Yesus adalah Putra yang DikasihiNya. “Inilah Anak yang Kukasihi, dengarkanlah Dia!” Peristiwa transigurasi adalah moment Tuhan memuliakan Putra-Nya, maka hari ini saatnya orang Yahudi memuliakan Yesus, Putra Bapa.


Begitu memasuki Kota Yerusalem dengan menunggang seekor keledai pinjaman, orang-orang Yahudi secara spontan berseru:” Hosan-hosana Putra Daud.” Diberkatilah dia yang datang dengan nama Yehuwa! Diberkatilah Kerajaan yang akan datang, Kerajaan Daud bapak kita.” Jadi, orang Yahudi memuliakan Yesus sebagai Raja Orang Yahudi, yang diharapkan dapat membebaskan mereka dari imperium Romawi. Karena itu pawai kebesaran ini bukanlah suatu kebetulan. Yesus hendak memperlihatkan kepada semua orang, siapa Dia sebenarnya, sebelum Ia masuk dalam penderitaan dan kematian-Nya di salib.


Yesus menggunakan keledai pinjaman untuk memasuki Kota Yerusalem. Hal ini semakin menegaskan bahwa Yesus benar-benar orang miskin. Ia selalu menunjukkan betapa Allah menjadi manusia itu adalah yang tidak punya apa-apa dan termiskin. Dari ketika Ia lahir Ia pinjam palungan tempat makan binatang untuk tempat Ia dibaringkan. Ketika Ia mengajar, Yesus juga meminjam perahu orang. Ia juga pinjam roti dan ikan dari bekal seorang anak kecil untuk memberi makan orang banyak, bahkan ketika Ia mati, Ia pinjam kubur orang. Kini Ia memasuki Yerusalem, dengan menggunakan keledai pinjaman.
Dengan symbol menunggang keledai, Yesus tidak mencari kemegahan, Ia tidak mencari nama dan pujian, Ia juga tidak mencari muka dan popularitas diri, apalagi harus mengorbankan orang lain. Karena Yesus tahu bahwa semuanya itu percuma, sia-sia, tidak ada arti, semu, tidak penting. Bagi Yesus satu-satunya adalah melaksanakan kehendak Bapa-Nya, taat dan setia.
Karena itu Dia menyerupai diri sebagai hamba sebagaimana kata-kata Yesaya dalam bacaan pertama: “Hamba yang menderita.” Kepasrahan kepada Allah dan cinta kepada manusia memberanikan Yesus untuk menghadapi jalan yang terpahit sekalipun; sebab Dia meyakini kepastian bahwa tugas perutusan-Nya tidak akan sia-sia. Yesus sang hamba yang setia dan menderita justru memilih jalan pelayanan yang tidak dipilih dan diminati banyak orang ialah menjadi hamba yang menderita. Yesus mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.” Istilah “hamba” servant. artinya seorang hamba/budak yang hak hidupnya sepenuhnya berada di tangan tuannya. Dia harus taat dan setia melayani tuannya tanpa pamrih. Yesus mengambil rupa seorang hamba, menunjuk kepada sifat-Nya yang rendah hati yang taat secara total pada kehendak Bapa-Nya.
Sementara itu, Rasul Paulus kepada jemaat di Filipi mengutip sebuah madah yang biasa digunakan dalam ibadah untuk memuji keagungan Yesus Kristus dan pelayanan-Nya. Terungkap betapa besar pelayanan Yesus Kristus bagi manusia, dengan menyerahkan hidup-Nya sendiri.
Saudara-saudaraku, penyerahan diri Yesus secara utuh total ini secara lengkap kita dengar dalam bacaan injil. Yesus menjalani adegan demi adegan untuk sampai pada puncak pemenuhan kehendak Bapa-Nya, yakni sampai wafat di kayu salib. Kematian di atas kayu salib merupakan hukuman yang paling hina dan memalukan. Bagi orang Yahudi, mati tersalib itu kutukan Allah. Itu seperti hukuman mati di kursi listrik zaman sekarang untuk pelaku kriminal kelas kakap. Yesus mati bukan karena kejahatan yang Dia lakukan, tetapi karena menggantikan kita, Ia memikul seluruh dosa kita dalam tubuh-Nya di kayu salib.
Dosa-dosa kita secara terbuka tanpa disadari sedang dilakonkan oleh orang-orang yang terlibat dalam seluruh tragedy perjalanan salib Yesus, mulai dari Getsemani hingga Golgota. Ketiga murid Yesus yang harus temani Gurunya untuk berdoa malah mereka tak kuat menahan keinginan dagingnya. Mereka terlelap dalam tidurnya yang nyenyak. Dalam situasi demikian, Yudas Iskariot, yang turut dalam rombongan orang Yahudi memberikan ciuman pengkhianatan kepada Gurunya sebagai tanda bahwa:”Orang yang aku cium, itulah Dia. Tangkaplah Dia dan bawalah!! Tiga setengah tahun Yesus bersama dia, ternyata bukanlah kesetiaan yang dia tunjukkan melainkan pengkhiatan keji, yang menjadi awal petaka, Yesus menjalani hukuman mati. Dalam perjalanan hukuman mati itu, Petrus, yang katanya Batu Karang itu, imannya menjadi rapuh lemah tatkala dia ditanyai seorang perempuan:” Bukankah engkau ini adalah salah satu murid dari orang itu?” Namun ketegaran imannya keok di hadapan perempuan yang bertanya itu. Dia malah dengan tegas, sebanyak tiga kali mengatakan:” Aku tidak kenal orang itu.”
Tentang kelakuan Petrus itu sudah lebih daulu diingatkan Sang Guru:” Kamu semua akan tergoncang imanmu.” Namun kata Petrus kepada-Nya: “Biarpun mereka semua tergoncang imannya, aku tidak.” Lalu kata Yesus kepadanya: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya pada hari ini, malam ini juga, sebelum ayam berkokok dua kali, engkau telah menyangkal Aku tiga kali.” Tetapi dengan lebih bersungguh-sungguh Petrus berkata: “Sekalipun aku harus mati bersama-sama Engkau, aku takkan menyangkal Engkau.”
Selain Petrus, kita mungkin seperti Pilatus, yang melarikan diri dari tangungjawab akan sesuatu hal dengan “mencuci tangan” untuk membebaskan diri dari kesalahan yang dilakukannya. Ataukah lebih parah lagi, kita seperti orang-orang Yahudi yang gelap mata, dan hatinya berselimut iri dan dengki, hingga pada akhirnya berteriak dengan sangat emosional:” Salibkan! Salibkan Dia” Dia bukan Raja orang Yahudi.
Orang-orang yang saya sebutkan itu sebenarnya sedang merepresentasikan diri kita masing-masing untuk menyingkap dosa-dosa kita. Dosa-dosa kita itulah, – yang ditebus oleh Kristus yang dengan rela memikul salib dalam derita yang keji hingga disalibkan, sebagaimana kata-kata Paulus:” “Ia Telah Merendahkan Diri-Nya Dan Taat Sampai Mati”