Oleh Marianus Gaharpung, dosen FH Ubaya Surabaya
WARTA-NUSANTARA.COM–Tanah negara di Patiahu terus saja menjadi pergunjungan publik Nian Tana Sikka. Pasalnya, tanah negara yang begitu luas serta subur menjadi incaran masyarakat di sekitar lokasi tersebut. Asal muasal tanah ini pada zaman Hindia Belanda dengan konsep domein verklaring adalah konsep yang pernah hidup pada zaman Belanda. Konsep itu menjelaskan, bahwa tanah yang tidak bisa dibuktikkan kepemilkannya dengan surat, maka otomatis akan menjadi tanah negara. Jadi untuk tanah-tanah yang tidak ada bukti pemilikkannya, itu dianggap sebagai tanah negara.
Penjelasan Pasal 5 UUPA dan bagian Penjelasan Umum III angka 1 UUPA menerangkan bahwa hukum agraria mempunyai sifat dualisme dan membuat perbedaan antara hak tanah menurut hukum adat dan hukum barat yang diatur dalam KUH Perdata.
Kehadiran UUPA dimaksudkan untuk menghilangkan dualisme dan mengadakan kesatuan hukum, sesuai dengan kepentingan rakyat dan perekonomian. Sehubungan dengan itu, hukum agraria dibuat atau didasarkan pada kesadaran hukum rakyat.
Oleh karena rakyat Indonesia sebagian terbesar tunduk pada hukum adat, hukum agraria akan didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum adat itu, sebagai hukum yang asli, yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat saat ini.
Hal ini diakomodir dalam Pasal 18B ayat 2 UUD 1945 yakni “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Pertanyaannya, apakah sudah ada undang- undang tentang Masyarakat adat? Pertanyaan selanjutnya, apakah di Pemerintah Kabupaten Sikka telah ada Peraturan Daerah tentang masyarakat adat? Jika belum ada lalu apa dasar legalitas suku Goban dan suku Watu memasuki lahan tanah negara dan HGU milik PT. Krisrana? Tolong diklirkan.
Penasehat hukum Johanes Bala diduga telah “mencuci” otak warga kedua suku tersebut pakai dasar legalitas apa? Ada dugaan Johanes Bala menyuruh warga masuk ke lahan tanah negara/ HGU itu artinya anda sendiri yang mengajarkan warga untuk melawan hukum. Ini bukan sebuah prestasi dalam kaitan dengan pendampingan hukum buat warga sebagai pemberi kuasa(prinsipal).
Dan, perlu diingat selama belum ada peraturan organik berupa undang- undang, pp atau perda maka yakinlah perjuangan warga Suku Goban dan Watu sampai kucing bertanduk artinya tidak akan pernah berhasil. Ambil contoh Provinsi Kalimantan Barat Peraturan Bupati Kabupaten Ketapang No. 22 Tahun 2022 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah No. 8 Tahun 2020 Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Dalam Pasal 5 ayat (2) masyarakat hukum adat yang dapat diakui sebagai kesatuan masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) paling sedikit memenuhi persyaratan:
a. Telah berlangsung lama dan masih hidup di tengah- tengah masyarakat sampai saat permohonan;
b. Nilai- nilai hukum adat sesuai perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI;
c. Memiliki sejarah asal usul sebagai kesatuan masyarakat hukum adat;
d. Memiliki wilayah adat;
e. Memiliki hukum adat yang diakui oleh anggota masyarakat hukum adat secara turun temurun;
f. Memiliki harta kekayaan dan/atau benda- benda adat, dan
g. Memiliki kelembagaan adat dan sistem pemerintahan adat.
Pertanyaannya apakah persyaratan demikian ini dapat dipenuhi suku Goban dan Watu? Jangan menutupi kelemahan kedua suku tersebut dengan menyalahi negara( pemerintah) dan gereja (PT Krisrama). Dari aspek hukum PT Krisrama menguasai tanah negara di Patiahu sah dan mengikat semua (erga omnes). Pasal 31 UU No. 5 Tahun 1960 dijelaskan hak guna usaha terjadi karena penetapan pemerintah.
Artinya dengan penetapan SHGU atas tanah negara di Patiahu oleh Kementrian Agraria dan Tata Ruang untuk PT. Krisrama, maka sah dan mengikat semua (erga omnes). Jadi selama ini “mencaci maki” alim ulama yang mengurus tanah HGU, menghina gereja adalah sikap keji dan melawan hukum.
Aparat Polres Sikka harus proaktif memanggil para pelaku dan otak pelakunya segera diperiksa dan ambil tindakan “pro yustisia” agar ada efek jera. Jangan memotivasi warga dengan logika nekad bukan logika hukum.
Ingat, Yohanes Bala, menjadi kuasa hukum/penasehat hukum harus pelajari fakta hukum secara jujur dan logik, lalu buat argumentasi hukum (peraturan/literatur) setelah itu prediktabilitas (masalah yang dipercayakan), apakah sedang, berat atau dapat diselesaikan dengan jangka waktu yang pasti serta adanya kepastian hak atas tanah negara yang dikuasai.
Jangan sekali- kali memberikan harapan tanpa ada kejelasannya. Dalam buku “Hukum Acara Perdata” karya M. Yahya Harahap, dijelaskan pemberian kuasa atau surat kuasa dapat diakhiri sewaktu- waktu dengan alasan pemberi kuasa memiliki hak untuk mencabut surat kuasa yang diberikan kepada penerima kuasa setiap saat.
Pencabutan ini dapat disebabkan oleh perubahan keinginan atau kebutuhan pemberi kuasa, ketidakpuasan terhadap kinerja penerima kuasa, kecuali jika ada ketentuan khusus dalam surat kuasa yang menyatakan sebaliknya. Atas dasar ini, wajar dan tepat warga Goban dan Watu harus membuat “PERNYATAAN SIKAP, MASYARAKAT SUKU GOBAN DAN SUKU WATU BERKAITAN DENGAN KETERLIBATAN BPK JOHANES BALA DAN PENGURUS AMANDA NTT
PADA TANAH HGU PT.KRISRAMA.
Dalam pertemuan Rabu tanggal 27 Maret penjelasan Justina Yusmiami salah satu pegiat tanah HGU Patiahu jumlah yang hadir dalam pertemuan itu berjumlah 98 orang dari 480 jiwa/ orang yang terdiri dari 96 Kepala Keluarga/KK yang mendiami daerah Hikohalok.
Berdasarkan Fakta Lapangan Bahwa Anggota Masyarakat Suku Goban Dan Suku Watu Yang Menetap Di Lokasi Hitohalok Mulai Dari Thn 2014-2024. Dan, kehadiran Johanes Bala di HGU Patiahu Nangahale jika bersama Moat Lewor itu ada dugaan tahun 1999 – tahun 2024 maka jumlah 25 tahun. Tapi kalau dihitung sejak tahun 2014 saat Justina Jusmiami masuk bergabung maka usianya 9 tahun. Menyampaikan Kepada Bpk Johanes Bala Dan Kepada Semua Pengurus Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Dearah Nusa Tenggara Timur ( AMANDA – NTT ).
Dalam pertemuan itu, yang hadir 98 orang dari 480 jiwa/orang yang terdiri dari 96 kepala keluarga/KK yang mendiami daerah Hitohalok.
1.Kami Dari Masyarakat Suku Goban Dan Suku Watu Yang Saat Ini Menetap Di Lokasi, Di Atas Tanah Negara Yang Bertempat Di Hitohalok, Menyampaikan Tidak Mau Bergabung Lagi Bersama Bpk Johanes Bala Dan Pengurus Siapapun, Selain Kepada Suku.
2.Kami Dari Masyarakat Suku Goban Dan Watu Menyampaikan Dengan Rasa Hormat Kepada Bpk Johanes Bala Agar Tidak Boleh Lagi Menangani Masalah Tanah Perjuangan Ini,Tanah Di Wilayah suku Goban Yang Berada Di Hitohalok.
3.Kami Tidak Mau Ikut Lagi Atas Giringan/Jebakan Bpk Johanes Bala Untuk Melakukan Perlawanan Dengan Pihak Gereja Dan Pemerintah.
4.Kami Dari Masyarakat Suku Goban Dan Watu Mulai Sekarang,Kami Berpihak Kepada Pemerintah Dan Gereja
5.Kami Dari Masyarakat Suku Goban Dan Suku Watu Akan Sendiri Menentukan Nasib Kami, Karena Kami Anak Tanah Dan Kami Tidak Mau Ikut Pengaruh Buruk Dari Bpk Johanes Bala Yang Datang Mengatur Dan Memerintah Kami Seenaknya Saja. Sudah Cukup Penderitaan Kami,Kurang Lebih 25 Tahun.
6.Kami Sangat Menyesal Dan Kecewa Karena Perjuangan Yang Dijanjikan Tidak Ada Hasil Dan Tidak Ada Titik Akhir.
7.Di Akhir Penyampaian Ini, Kami Dari Suku Goban Dan Suku Watu Menyatakan Permohonan Maaf Sebesar-besarnya Kepada Bapak Uskup Maumere ( Pihak Gereja ) Dan Bapak Bupati Sikka ( Pihak Pemerintah) Atas Segala Sikap,Tutur Kata, Dan Perbuatan Kami Selama Ini. Kami Telah Merasakan Betapa Kami Dibodohi Oleh Pihak-pihak Yg Tidak Bertanggungjawab.Kiranya Kami Di Maafkan Dan Kami Berharap Mendapatkan Perhatian Dan Belas Kasian, Cinta Dari Pemerintah Dan Gereja.
Atas sikap suku Goban dan Watu tersebut, quo vadis Johanes Bala SH dan Aman Perwakilan NTT atas perjuangan selama ini? Introspeksi dirilah!