Oleh : Marianus Gaharpung, Lawyer dan Dosen FH Ubaya Surabaya

WARTA-NUSANTARA.COM–Romo Yan Faroka, “teruslah menjadi gembala yang baik bagi warga yang haus akan kebenaran” Di Lokasi HGU PT Krisrama (misi) Patiahu. Bahwa oknum oknum yang mengaku PH atau pejuang Ham yg sdh bertahun tahun tanpa kejelasan harusnya malu tapi aneh ya bangun logika berpikir yang tidak logik. Miris!


- Tanah a quo, secara de facto dan de jure adalah tanah negara.
- Lalu warga diduga otaknya dicuci untuk menyerang pemerintah dan gereja. Apakah Ini pola kerja kelompok Ham, wajar publik sikka menduga. Karena pola serangan bukan di pengadilan tetapi di jalanan dgn membiarkan warga masuk tanah tersebut dengan konsep hak ulayat yang standarnya dibuat sendiri. Hancur!
- PH adl SH harusnya sudah bisa mempertimbangkan fakta hukum ini peluang berhasil atau tidak?
- Bukan soal jumlah pihak yang memberikan “petisi” tidak percaya dengan kerja Yohanes Bala selama bertahun tahun tidak jelas. Tetapi sebagai PH harus sadar diri bhw usahanya
tdk berkenan di hati prinsipal terlepas berapa biaya yg warga sediakan unk PH itu urusan dapur anda. Keep! - Yang duduk saat pembacaan petisi penolakan terhadap Yohanas Bala adalah ibu Yustina (pembaca petisi) bp Yusuf. Orang orang ini yang awalnya satu visi misi perjuangan yg sama dgn anda. Mengapa mereka sadar dan kembali ke jalan yang bener? Krn sebagai warga negara yang dinilai model perjuangan johanes bala dkk diduga ngak jelas “timeline”. Dan orang-orang yang bernurani waras jelas tidak akan mau lagi kerjasama dlm ketidakpastian.
- Jika kita sama- sama orang hukum harusnya gunakan pisau analisisnya norma hukum(das sein). Kalau anda hanya bermain main dgn logika “das sollen” rasanya tanpa sadar anda sdh memberikan suatu ketidakpastian dalam perjuangan di tanah negara, maka wajar warga berani berbuat pernyataan tidak mau menerima saudara sebagai PH atau pendamping. Harusnya malu dan introspeksi dirilah.
- Warga suku Goban dan Watu sadar bahwa diduga udah diplokoto oleh pendamping selama ini. Bahwa tidak mungkin melawan negara dan apalagi pihak gereja sebagai pembeli beritikat baik (Perma).
- PT Krisrama sebagai pemegang SHGU atas tanah negara sifatnya mengikat semua (erga omnes). Artinya pendamping hukum mau pakai logika dewa mabuk sekalipun tidak akan pernah berhasil jika tidak gugat di PTUN
- Negara dalam hal ini tidak pernah akan bisa salah karena ada asas presumption iustae causa maka wajib gugat di PTUN. Pertanyaannya PH gugat pakai “das sollen”?
- Kalau demikian fakta hukumnya “sisa janji” apa lagi yg bisa meyakinkan para murid akan terus setia dalam perjuangan yang tanpa kepastian soal waktu dan hukum dan barangkali saja biaya (dugaan).
- wajar dong warga nian tana menduga bhw lahan negara dan hgu ini sebagai tempat uji coba dan terutama “mata pencaharian” oknum oknum pejuang atas nama HAM. Keji, memperjuangkan ham atau melanggar ham individu
- PH jika bener SH harusnya paham bhw tanah HGU hanya dapat dijadikan sebagai obyek jaminan utang dengan Hak Tanggungan dibuat oleh Notaris/PPAT di bank misalnya diatur dalam Pasal 33 UU Agraria. Artinya dilarang PT Krisrama memberikan lahan kepada warga nanti peruntukan izin ke PT Krisrama bertentangan bisa saja SHGU dicabut negara.13. Dalam Pasal 30 UU Agraria subyek HGU bisa orang pribadi warga negara Indonesia dan Bada hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Artinya warga yg mengokupasi tanah negara bisa saja mengajukan kepada pemerintah (kementrian agraria dan tata ruang) melalui kantor pertananan Kabupaten Sikka unk mengelola tanah negara dan gereja (pt krisrama) akan diminta memberikan second opinion. Pasti bisa, krn ini jalurnya dan harus dengan berpikir logik dan argumentatif. Dan, perlu diingat pengajuan perolehan tanah negara bukan saja hak sepenuhnya pada suku- suku di sekitar lokasi tetapi warga lain juga bisa. Sudah bener sikap suku Goban dan Watu sadar memposisikan negara dan gereja sebagai “mitra” bukan lawan abadi. Karena sampai kucing bertanduk perjuangan pendamping hukum dan Aman NTT diduga tidak ada kepastian. Dan otomatis lambat laun akan pupus kesadaran dan keberpikan warga dalam perjuangan ini. Dan, pintu kesadaran udah mulai dibuka Suku Goban dan Watu. Yakinlah, akan terjadi eksodus besar besaran warga meninggalkan Pendamping dan Aman NTT.
- Warga sadar bhw tinggal di negara hukum dasarnya das Sein bukan das sollen karena yang terakhir diduga rana perjuangan HAM. Kapan tercapai wallaualam!. Arti dari semua ini, salah kaprah jika sampai hari ini pendamping atau apapun bentuk perjuangannya selalu memberi stigma bhw SHGU PT Krisrama cacat wewenang, substansi dan prosedur. Itu logika org yang sejatinya tidak paham hukum yang suka dgn “peradilan jalanan”. ***

