P. Dr. Bernardus Boli Ujan, SVD. Pastor dan Dosen pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK), kini berubah nama Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif (IFTK) Ledalero, Flores, NTT
WARTA-NUSANTARA.COM–Hingga Konsili Vatikan II, khotbah dalam perayaan Misa bisa berlangsung lama. Biasanya sekitar 20 menit atau 30 menit bahkan bisa satu jam. Sejak Konsili Vatikan II homili dalam Ekaristi bisa berlangsung 8 sampai 10 menit. Mengapa? Apakah lamanya tergantung dari cara membawakannya?
Dalam praktek liturgi sebelum Konsili Vatikan II, khotbah dalam Misa bukanlah bagian utuh dari liturgi. Karena khotbah dipandang waktu itu sebagai bagian khusus di tengah perayaan liturgi (Ekaristi) untuk memberikan pengajaran atau katekese tentang pokok-pokok iman dan moral tertentu kepada umat yang hadir. Bisa berdasarkan rumusan pengakuan iman, ajaran resmi Gereja tentang hidup moral, dan bisa berdasarkan teks Kitab Suci atau liturgi. Umumnya dibutuhkan waktu lebih lama untuk menjelaskan pokok-pokok ajaran iman tersebut agar tuntas dan dipahami umat dengan banyak contoh konkrit.
Lamanya khotbah tergantung dari kebutuhan umat serta keputusan imam pembawa khotbah. Bisa setengah jam bisa satu jam lamanya, apalagi kalau Misa dirayakan di tempat tersebut sekali sebulan, sekali enam bulan atau sekali setahun. Pembawa khotbah bisa seorang imam lain yang hanya mengenakan alba, superpli dan stola. Ia masuk ke dalam gereja bila waktu homili sudah tiba, lalu sesudah membawakan khotbah ia dapat keluar dari gedung gereja.
Selain lamanya khotbah dari 30 sampai 60 menit, ada beberapa ciri tambahan yang menunjukkan bahwa khotbah di tengah Ekaristi “bukanlah bagian utuh” dari liturgi tetapi satu unsur yang dimasukkan atau “diselipkan” di tengah liturgi (Sabda). Maka imam yang memimpin Misa (dengan membelakangi umat) waktu mau menyampaikan khotbah, membuka kasula dan hanya menggunakan stola di atas superpli (roset) dan alba, lalu turun dari altar menghadap umat dan mengenakan manipel, semacam stola kecil pendek, yang dimasukkan di tangan kiri imam. Mengapa? Sebab manipel itu secara praktis berfungsi sebagai kain penyeka keringat imam. Biasanya selama homili pengkhotbah banyak bergerak dengan kaki, jalan dari kiri ke kanan, dari depan altar ke belakang umat dekat pintu masuk agar mendekati umat dan menarik perhatian mereka kepada pokok pengajaran. Gerakan tangan juga tak kalah serunya sebagaimana dimanfaatkan oleh para orator ulung untuk menggarisbawahi pikiran-pandangan tertentu. Pasti hal ini membuat pengkhotbah cepat berkeringat apalagi di tanah tropis, dan tentu membutuhkan kain penyeka (manipel) yang telah diselipkan di tangan kirinya.
Dalam rangka menghilangkan kejenuhan mendengar pengajaran yang cukup lama itu, sering khotbah dibumbui dengan kisah-kisah lucu yang menggelitik rasa umat. Apakah anekdot selipan itu punya kaitan dengan pesan khotbah atau tidak, bukanlah soal penting karena yang penting umat tetap menaruh perhatian pada pengkhotbah serta ceriteranya. Umat bahkan diberi kemungkinan oleh imam misionaris yang adaptif (terutama di tanah misi tertentu) untuk mempersilahkan umat mendengar sambil makan sirih pinang dan mengisap rokok. Dengan sendirinya suasana khotbah jadi profan. Umat bisa tertawa terbahak-bahak sambil pukul yang lain di dekatnya bila tergelitik mendengar lelucon pengkhotbah. Mereka boleh buang ludah bercampur kunyaan sirih pinang berwarna merah tua di dalam gereja (umumnya gereja atau kapela di daerah misi berlantai tanah, apalagi kalau misa dirayakan di bawah pohon yang rindang). Bisa ada kepulan asap rokok sambil dengar khotbah agar tidak bosan dan mengantuk. Semuanya diterima sebagai hal biasa dan tidak dipermasalahkan.
Untuk membuka dan menutup seluruh kegiatan khotbah dengan suasana rada dramatis profan ini, pengkhotbah biasanya mengajak umat untuk membuat tanda salib pada dirinya masing-masing pada awal dan akhir khotbah. Ada juga kemungkinan membawakan khotbah langsung sesudah perayaan Misa, biasanya sesudah pembacaan prolog Injil Yohanes di akhir Misa. Umumnya khotbah sesudah Misa dibawakan di halaman depan gereja. Imam pengkhotbah berdiri di dekat pintu masuk gereja dan umat mendengarkan dari halaman gereja dengan suasana yang kurang lebih sama seperti saat khotbah di dalam gereja.
Konsili Vatikan II
Menyangkut khotbah dalam liturgi, para Bapa Konsili Vatikan II menegaskan satu paham yang sungguh berbeda dengan paham serta praktik sebelumnya. Perubahan pandangan itu termuat dalam Konstitusi Liturgi Sacrosanctum Concilium, 52 yang menyatakan: “Homili sebagai bagian dari liturgi sendiri sangatlah dianjurkan”. Paham ini ditegaskan lagi dalam Instruksi Pelaksana I, no. 15 dan Instruksi Pelaksana 3, no 2a serta Pedoman Umum Misale Romawi, no 65. Sebagai “bagian dari liturgi”, homili bukan lagi menjadi satu unsur yang non liturgis, bukan selipan, bukan unsur profan di tengah perayaan liturgi. Maka suasana homili adalah suasana sakral, suasana doa. Dengan demikian isi dan cara membawakan homili harus mengungkapkan posisi homili sebagai “bagian utuh dari liturgi”, sebagai bagian utuh dari doa. Dan cara mendengarkan homili mesti turut mendukung atmosfer doa. Bila homilinya berlangsung lama (30-60 menit) dengan gaya membawakan homili yang menciptakan suasana profan, sehingga suasana homili menjadi tidak liturgis dan tidak sakral lagi, maka pembawa homili dan peraya tidak menghayati ide pembaruan Konsili Vatikan II dan kembali ke suasana homili prakonsili Vatikan II.
Dokumen Sacrosanctum Concilium, 52 menggunakan kata homili yang sebenarnya lebih cocok sebagai penjelasan tentang Sabda Allah dan liturgi yang disampaikan dalam Ekaristi. Kalau kata khotbah bisa lebih luas artinya, sedangkan homili (homilia = pembicaraan dari hati ke hati) merupakan “penjelasan tentang bacaan dari Alkitab, ataupun penjelasan tentang teks lain yang diambil dari ordinarium atau proprium Misa hari itu yang bertalian dengan misteri yang dirayakan, atau yang bersangkutan dengan keperluan khusus umat yang hadir” (PUMR, 65; IP 3, no 2a dan IP 1, no 15; SC, 52). Bila isi homili singkat padat tentang salah satu pokok pikiran dari Kitab Suci yang dikaitkan dengan teks liturgi dan disesuaikan dengan situasi umat beriman yang sedang hangat dialami dan diperbincangkan, seraya mengajak umat untuk menghayati pesan dari homili dalam kehidupan nyata sehari-hari, maka homili seperti ini tidak membutuhkan waktu yang lama. Namun perlu menyiapkan homili ini secara serius agar tidak bertele-tele.
Praktek yang pernah dijalankan oleh Paus Leo Agung (440-461), berdasarkan warisan homili yang ditulisnya sebenarnya sesuai dengan ide pembaruan Konsili Vatikan II tentang posisi homili sebagai “bagian utuh dari liturgi” dengan durasi waktu sekitar 8-10 menit. Kini Paus Fransiskus juga menghimbau dengan kata-kata dan contoh agar homili dalam Ekaristi dibawakan tidak lebih dari sepuluh menit.
Dalam Evangelii gaudium, Paus Fransiskus mengatakan bahwa bisa terjadi seorang pembawa homili sangat mampu dan hidup-hidup serta sedemikian menarik perhatian para peraya selama satu jam sehingga dengan cara ini ia menunjukkan bahwa kata-katanya jauh lebih penting dari pada perayaan iman. Maka Paus meminta agar pembawa homili tidak menyita banyak waktu dari Tuhan yang seharusnya lebih menonjol dari pada pelayan liturgi sendiri. Hal ini harus tampak dari segi waktu, cara membawakannya dan suasana yang tercipta olehnya. Kalau pembacaan Injil sebagai puncak Liturgi Sabda, dimaklumkan dalam dua atau tiga menit dengan cara yang anggun sehingga tercipta keheningan untuk menjadi lebih peka mengalami hadirnya Tuhan yang bersabda dan mencipta, maka homili tidak perlu panjang lebar menjelaskan semua pokok pikiran dari semua bacaan Kitab Suci, sehingga menyedot banyak waktu seperti praktik sebelum Konsili Vatikan II. Jadi alasan mendasar untuk memberikan homili sekitar 8-10 menit, tidak lebih, adalah bukan terutama karena mau menghindarkan kebosanan atau kejenuhan dari para peraya, tetapi sesungguhnya karena mau segera memberi kesempatan kepada para peraya untuk bertemu dengan Tuhan dalam liturgi Ekaristi.
Lamanya homili 8-10 menit adalah satu undangan bagi para pembawa homili untuk lebih memperhatikan dan melayani Sabda serta menarik perhatian umat beriman kepada misteri penyelamatan yang sedang dirayakan dan bukan menarik perhatian kepada dirinya sendiri. Jadi lamanya homili tidak tergantung pada cara membawakannya.
Apabila pembawa homili hendak mewartakan lebih banyak pokok pikiran yang perlu diketahui dan dihidupi oleh para peraya maka hendaknya disediakan waktu khusus di luar perayaan Ekaristi untuk hal itu. Suasana rileks dan profan dengan durasi waktu yang lebih lama, merupakan peluang besar untuk menggunakan berbagai cara dalam berkatekese kepada umat beriman. ***