Oleh : Germanus S. Atawuwur, Alumnus STFK Ledalero
Ul. 4:32-34.39-40; Rm.8:14-17; Mat.26:16-20
WARTA-NUSANTARA-COM–Bapa, ibu, saudara, saudariku, pada Hari Raya Pentakosta yang lalu, saya “berkotbah” bahwa Pentakosta adalah batas antara Masa Paska dan masa biasa. Jadi Minggu ini adalah Minggu Biasa. Pada Minggu Biasa I sesudah Pentakosta, kita langsung Merayakan Pesta Tritunggal Mahakudus. Merayakan pesta Tritunggal Mahakudus seminggu sesudah kita merayakan Perayaan Pentakosta, tentu bukanlah tanpa alasan. Sekurang-kurangnya, merayakan Pesta Tritunggal Mahakudus pada minggu masa biasa ini memiliki pesan bahwa, dalam lingkaran waktu dan zaman, Tuhan Yang Maha Esa adalah Allah Emanuel. Allah yang selalu hadir bersama kita dalam ruang dan waktu. Bahkan karena Dia melebihi ruang dan waktu itu maka Dia Tritunggal itu menyatakan dengan tegas dalam injil hari ini kepada kita semua, bahwa:” Ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman (Mat.28:20).”
Ketika kita merayakan Pesta Tritunggal Mahakudus hari ini, kita diingatkan kepada tanda salib untuk mengakui iman kita kepada Bapa, Putra dan Roh Kudus. Bahwa setiap kali kita mengawali dan mengakhiri sesuatu kegiatan – entah doa atau kerja – dengan membuat tanda salib berarti kita berjanji kepada Tritunggal Mahakudus untuk melaksanakan kegiatan tersebut dalam nama Bapa, Putra dan Roh Kudus. Dengan kata lain, entah dengan berdoa atau bekerja kita semakin berbahkti kepada Allah, dan dengan itu kita yakini bahwa segala sesuatu yang kita kerjakan diberkati oleh Allah dan karenanya lingkungan dan segala sesuatu di mana kita lakukan doa atau pekerjaan itu menjadi terberkati. Tidak berlebihan bila saya pada akhirnya mengatakan bahwa perutusan kita dalam injil hari ini untuk pergi ke seluruh dunia dan baptislah mereka dalam nama Bapa, Putra dan Roh Kudus adalah perintah untuk menjadikan bumi, lingkungan kita menjadi trinitaris.
Saudara-saudaraku, sampai di sinilah saya teringat akan Susy Susanti, Sang legendaris Bulutangkis Putri Indonesia. Dia adalah Sang Campions final Olimpiade Barcelona 1992. Nama Susy Susanti dan momen kemenangannya di Olimpiade Barcelona pada 1992 kala itu menjadi salah satu momen yang paling dikenang oleh pencinta bulu tangkis Indonesia. Kemenangan Susy atas Bang Soo-hyun itu membuat rakyat Indonesia larut dalam kebahagiaan. Perjuangan Susy Susanti menjadi juara Olimpiade bukanlah hal yang mudah. Pasca kemenangan itu, yang dilakukan Sang Maestro adalah selebrasi kemenangan dengan menandai dirinya dengan Tanda Salib.
Pertanyaan bagi kita, mengapa selebrasi kemenangan itu dibuat dengan tanda salib dan bukannya dengan tanda yang lain? Apakah dia hanya ingin menegaskan jati dirinya sebagai seorang kristen tulen? Saya kira tidaklah demikian!! Bahwa melalui tanda salib Barcelona itu, dia mengirim pesan kepada seluruh penonton, baik yang berada di tribun Pavello de la Mar Bella, Barcelona maupun masyarakat Internasional pencinta bulutangkis, bahwa perjuangan yang menguras derai keringat dan air mata, perjuangan jatuh dan bangun di tengah lapangan untuk menggapai kemangan bukanlah perjuangan yang mudah! Perjuangan yang super ketat itu akhirnya menghantarnya untuk menjadi Srikandi Bulutangkis Nomor Satu Putri di Dunia. Namanya serentak kesohor, menjadi bahan perbincangan di seantero dunia sebagai pebulutangkis putri terhebat sedunia.
Namun, sebagai orang yang beriman teguh, dia sadar bahwa dia berada di podium kemenangan itu, bukan semata-mata karena kehebatannya, tetapi oleh karena kasih setia Tuhan yang menyertainya dalam seluruh pertandingan itu. Ketika dia berada di podium yang paling tinggi dengan prestasi yang prestisius, dia menyatakan kerendahan hatinya dengan melakukan Selebrasi Salib Suci : Dalam Nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus. Pesan trinitaris yang hendak disampaikannya adalah bahwa bukan namanya yang dipuji-agungkan, tetapi hanya nama Tritunggal Mahakudus, Sang Perancang Kemenangannya sajalah yang patut disanjung-agungkan. “Ad Maiorem Dei Gloriam “demi kemuliaan Tuhan yang lebih besar”. Akhirnya saya boleh katakana bahwa Selebrasi Salib Suci Barcelona Susy di kala itu, telah berhasil membuat para penonton bulutangkis dan lingkungannya untuk masuk dalam moment trinitaris.
Saudara-saudara… kerendahan hati Susy Susanti untuk melakukan selebrasi Salib Suci Barcelona, sebagai pembelajaran iman yang terus-menerus kepada kita, sebagaimana kata-kata yang kita dengar dalam bacaan I: “Tuhanlah Allah, tidak ada yang lainkecuali Dia. (Ul. 4:35). Allah Esa itulah yang dia yakini bahwa Dialah menyertainya dalam moment bergengsi itu.
Tuhan Allah MAHA ESA yang diyakini penyertaan oleh Susy dan kita semua, dalam Perjanjian Lama memanifestasikan diri-Nya melalui Musa dengan menegaskan kepada Musa:” camkanlah, bahwa Tuhanlah Allah yang di langit di atas dan di bumi di bawah, tidak ada yang lain.(Ul.4:40).”
Dan dalam Perjanjian Baru , melalui Yesus Almaseh Allah Esa itu mewahyukan diri sebagai TRITUNGGAL MAHAKUDUS: Satu Allah dalam Tiga Pribadi: Bapa, Putra dan Roh Kudus, adalah misteri agung nan maha dalam yang tidak mampu dimengerti, apalagi dijelaskan dalam bahasa manusia. Manusia yang dengan pikirannya yang terbatas itu tidak mampu menjelaskan dengan akal budi tentang ketidakterbatasan Tritunggal Mahakudus itu. Ketika manusia menyadari bahwa dia makhluk terbatas, satu-satunya yang diandalkan adalah iman. Iman yang menolong budi. Indra tak mencukupi. Maka tepatlah kata-kata santo Ignasius dari Loyola:” Bagi mereka yang percaya tidak ada bukti yang diperlukan. Bagi mereka yang tidak percaya, tidak ada jumlah bukti yang cukup.”
Iman yang menolong budi itu harus diejawantahkan. Harus dibumikan. Harus dielaborasi dalam tindakan karena iman tanpa perbuatan adalah mati. Sebab seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian jugalah iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati (Yak.2:26) Jadi, beriman saja tidaklah cukup. Harus berbuat baik untuk membuktikan bahwa kita beriman. Karena tanpa perbuatan baik iman itu mati dan tidak berguna. Karena itu iman itu memiliki nilai altruis. Harus berdaya guna untuk orang lain. Dia harus menjadi iman yang bersesama. Iman yang bersesama adalah iman yang menghayati nilai-nilai keutamaan sebagai buah Roh Kudus seperti kata-kata Paulus dalam Galatia 5:22-23 yakni: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri:”
Apabila kita telah menghayati iman yang bersesama ini maka oleh Paulus dalam bacaan II disebut sebagai Anak-anak Allah karena telah menerima Roh dan dipimpin oleh Roh. Oleh Roh itu kita berseru: “ya Abba, ya Bapa!supaya kita juga dipermuliakan bersama-sama dengan Dia. Jadi, iman yang bersesama dalam penghayatan tanpa pamrih apapun, upahnya bagi kita kelak adalah:” kita juga dipermuliakan bersama-sama dengan Dia.” ***