Oleh : Germanus S. Atawuwur, Alumnus STFK Ledalero

Kej.3:9-15; 2 Kor.4:3-5:1; Mrk. 3:20-25
WARTA-NUSANTARA.COM–Bapa, ibu, saudara, saudari yang terkasih, dalam pendidikan di seminari, ada istilah yang digunakan oleh para frater untuk saling menilai. Istilah itu disebut dengan votase. Votase adalah kesempatan seorang frater menilai dirinya sendiri, menilai frater lain dan frater tersebut siap dinilai oleh frater yang lain. Penilaian itu harus benar-benar obyektif, harus jujur dan adil. Tidak boleh ada unsur like and dislike – suka atau tidak suka – karena menyangkut panggilan orang untuk menjadi imam. Jadi penilaian itu berdasarkan pengenalan yang mendalam dan intens akan konfrater yang satu dengan konfrater lainnya. Karena penilaiannya harus obyektif, maka para frater dalam satu kelas, yang biasanya berjumlah puluhan orang itu, dibagi dalam kelompok-kelompok kecil. Satu kelompok biasanya terdiri dari lima atau enam orang. Ada sekian banyak variable yang digunakan untuk menilai seorang konfrater.

Votas, – penilaian diri – itu bersifat tertutup. Penilaian yang bersifat tertutup dan secara tertulis itu biasanya hanya digunakan oleh membina atau disebut formator. Penilaian diri itu terjadi di setiap tahun, dengan anggota kelompok yang selalu berubah-ubah.Tujuan akhir dari votase itu adalah untuk mengukur kelayakan dan kepantasan seorang frater untuk ditahbiskan menjadi seorang imam.

Saudara-saudara, hari ini injil membeberkan kepada kita, penilaian ahli-ahli taurat kepada Yesus. Mereka menilai Yesus tidak waras lagi. Ia kerasukan Beelzebul, dan dengan penghulu setan Ia mengusir setan.”
Kaum keluarga Yesus termakan dengan penilaian itu. Maka penginjil menulis:” Waktu kaum keluarga-Nya mendengar hal itu, mereka datang hendak mengambil Dia. Lalu datanglahibu dan saudara-saudara Yesus. Sementara mereka berdiri di luar, mereka menyuruh orang memanggil Dia. Ada orang banyak duduk mengelilingi Dia, mereka berkata kepada-Nya: “Lihat, ibu dan saudara-saudara-Mu ada di luar, dan berusaha menemui Engkau.”

Di Israel pada zaman Yesus, kehidupan sosial masyarakat sangat diwarnai oleh hubungan dekat antar saudara semarga. Secara turun temurun, mereka percaya bahwa menjaga dan memelihara hubungan dekat dengan saudara-saudara merupakan manifestasi kasih Allah kepada sesama. Hal ini mereka pahami dan pegang teguh sebagai isi perjanjian Allah dengan nenek moyang mereka. Menjauh dari saudara-saudara berarti melanggar perjanjian mereka dengan Allah. Sistem kehidupan sosial ini mereka pakai sebagai sarana untuk melindungi dan mempertahankan identitas keluarga. Karena itulah maka, begitu mendengar bahwa Yesus tidak waras lagi, Dia telah kerasukan beelzebul, ibu dan saudara-saudaranya datang untuk mengambil-Nya di tengah-tengah orang banyak itu.
Tetapi pertanyaannya adalah, apakah penilaian ahli-ahli taurat terhadap Yesus itu adalah penilaian yang obyektif, jujur dan adil, ataukah justru penilaian mereka bersifat suka atau tidak suka, – like and dislike – terhadap Yesus?
Bila dicermati lebih jauh penilaian kelompok ahli-ahli taurat kepada Yesus, penilaian ini berdasarkan unsur like and dislike. Mereka tidak suka Yesus. Mereka benci terhadap Yesus. Mereka irihati kepada Yesus. Karena popularitas mereka “terkalahkan” dari popularitas Yesus. Yesus begitu popular di hati banyak orang karena ajaran-Nya penuh kuasa dan wibawa. Yesus tidak saja berkuasa dan wibawa dalam pengajaran-Nya tetapi juga melaksanakan kehendak Allah melalui mujizat-mujizat yang dilakukanNya. Sedangkan kelompok ahli-ahli taurat hanya menjadi pengajar Taurat Musa tetapi tidak melaksanakannya. Mereka hanya mampu mengajar dengan baik Taurat Musa namun tidak pernah melaksanakannya. Karena itulah maka, kepada orang banyak yang mengatakan bahwa ada ibu dan saudara-saudaramu ada di luar, mereka hendak bertemu dengan-Mu, secara tegas dijawab Yesus: “Siapa ibu-Ku dan siapa saudara-saudara-Ku?” Kemudian Ia melihat kepada orang-orang yang duduk di sekeliling-Nya itu dan berkata: “Ini ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku! Barangsiapa melakukan kehendak Allah, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku.”
Bapa, ibu, Saudara, Saudari yang terkasih, Alkitab menyebutkan banyak kakak beradik yang memiliki kasih mendalam yang abadi terhadap satu sama lain. Pemazmur menggambarkan kasih di antara saudara-saudara dengan mengatakan, “Seperti minyak yang baik di atas kepala meleleh ke janggut Harun dan ke leher jubahnya. Seperti embun gunung Hermon yang turun ke atas gunung-gunung Sion” (Mazmur 133:2-3).
Ikatan kasih di antara saudara perempuan dan saudara laki-laki begitu kuat sehingga Taurat Musa memperbolehkan seorang imam pun menjamah tubuh saudara laki-laki, saudara perempuan, ayah, ibu, atau anak yang sudah meninggal dunia (Imamat 21:1-3). Inilah satu-satunya saat seorang imam dapat menjamah orang yang sudah mati tanpa menjadi najis secara keagamaan.
Pertanyaannya adalah, apakah jawaban Yesus terhadap orang banyak tentang siapakah ibu dan siapakah saudara-saudara itu artinya Yesus menyepelehkan atau bahkan mengabaikan makna persaudaraan biologis sebagaimana pernyataan kitab suci yang telah saya kutip di atas?
Jawaban Yesus itu tidak berarti bahwa Dia meremehkan ibu dan sanak saudara-Nya. Tetapi, kehadiran mereka semata-mata memberikan kepada-Nya kesempatan untuk menggambarkan pokok ajaran-Nya kepada banyak orang itu, dan lebih-lebih kepada ahli-ahli taurat. Bahwa hubungan bialogis juga penting, tetapi amat lebih penting adalah relasi teologis dengan Tuhan. Jawaban yang diberikan oleh Yesus itu juga sama sekali tidak menurunkan kesucian hubungan kekeluargaan melainkan meneguhkan bahwa ikatan keluarga rohani Allah yang didasarkan pada ketaatan kepada kehendak Allah adalah lebih dalam dan lebih berharga daripada hubungan kekeluargaan secara jasmani.

Jadi, jawaban Yesus sebenarnya adalah model sindiran Yesus kepada ahli-ahli taurat, bahwa yang salah menilai diri-Nya sebagai orang yang tidak waras, yang dirasuki beelzebul karena mereka “masih berdiri di luar.” Mereka “masih berdiri di luar” hubungan rohani dengan Allah karena rasa kebencian dan irihati mereka yang mendalam kepada Yesus. Dan lebih dari itu, mereka masih berada di luar relasi rohani dengan Tuhan karena mereka hanya mampu mengajarkan tetapi tidak sanggup melaksanakan kehendak Allah. Karena itu, Yesus mau katakan kepada mereka bahwa bila mau menjadi ibu dan saudara-saudari-Ku maka jangan hanya mengajarkan saja tetapi harus juga melaksanakan kehendak Allah.Untuk melaksanakan kehendak Allah dengan baik dan benar, harus membangun relasi dengan Yesus, jangan membangun konfrontasi dengan-Nya.

Saudara-saudaraku, Yesus tentu tidak hanya menyindir ahli-ahli taurat. Dia juga tentu menyindir kita, manakala kita hanya jago omong tetapi tidak jago buat. Yesus sindir kita apabila kita kotbah berapi-api tapi minus perbuatan nyata. Yesus hari ini sampaikan kepada kita semua bahwa:”Barangsiapa melakukan kehendak Allah, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku.” Maka mari kita giat melaksanakan kehendak Tuhan agar kita masuk dalam relasi ibu dan saudara-saudari Yesus. ***