Oleh : Germanus S. Atawuwur, Alumnus STFK Ledalero


Yeh.17:22-24; 2 Kor.6:6-10; Mrk.4:26-34
Bapa, ibu, saudara, saudari yang terkasih,…

WARTA-NUSANTARA.COM–Hari ini, kita diundang merenungkan tema tentang kerajaan Allah, sebagaimana kita dengar dalam injil tadi:” Hal Kerajaan itu seumpama biji sesawi yang ditaburkan di tanah. Memang biji itu yang paling kecil dari pada segala jenis benih yang ada di bumi. Tetapi apabila ia ditaburkan, ia tumbuh dan menjadi lebih besar dari pada segala sayuran yang lain dan mengeluarkan cabang-cabang yang besar, sehingga burung-burung di udara dapat bersarang dalam naungannya.”

Biji sesawi tersebut adalah biji yang paling kecil dari antara jenis biji yang ada di bumi, tetapi ia mampu tumbuh dan menjadi lebih besar dari pada segala sayuran yang lain dan mengeluarkan cabang-cabang yang besar, sehingga burung-burung di udara dapat bersarang dalam naungannya (Mrk.4:26-32).

Tanaman ini dapat mencapai tinggi 3 meter bahkan 4 meter bila tumbuh di daerah berdekatan dengan Laut Genesaret.
Perumpamaan ini menggambarkan pertumbuhan kerajaan Allah dari awal yang kecil sampai menjadi ukuran sedunia. Biji sesawi yang paling kecil untuk
mengumpamakan Kerajaan Allah, menunjuk pada perkembangan gereja dari
permulaan Gereja yang amat kecil, tetapi karena mempunyai daya hidup yang kuat,
sehingga berkembang menjadi kelompok yang besar.
Dari kelompok kecil yang dimulai
pada zaman para rasul, gereja mulai berkembang ke seluruh penjuru dunia.
Gereja yang secara sukarela tunduk kepada otoritas Allah terus berkembang dalam ruang dan waktu pada akhirnya hari ini, menunjukan bahwa Kerajaan Allah yang semula amat kecil itu, – yang hanya terdiri dari ke-12 rasul itu – hari ini telah mengeluarkan buah, hingga beranak pinak lalu berkembang luas ke seluruh dunia, hingga pada awal tahun 2024, terhitung populasi umat katolik sedunia mencapai 1 miliar 411 juta orang.
Ke- 1 milyard, 411 juta jiwa orang yang secara sukarela tunduk pada otoritas ilahi itu, mereka memiliki kewajiban moral untuk menjadikan dirinya sebagai locus salvadicus, – tempat keselamatan – bagi “burung-burung” yang hendak bersarang dalam naungannya.

Burung-burung yang bersarang merujuk kepada tulisan di Perjanjian Lama yang
menekankan jangkauan universal Kerajaan Allah, seperti yang telah kita dengar dalam bacaan I nabi Yehezekiel:”Beginilah firman Tuhan ALLAH: Aku sendiri akan mengambil sebuah carang dari puncak pohon aras yang tinggi dan menanamnya; Aku mematahkannya dari pucuk yang paling ujung dan yang masih muda dan Aku sendiri akan menanamnya di atas sebuah gunung yang menjulang tinggi ke atas; di atas gunung Israel yang tinggi akan Kutanam dia, agar ia bercabang-cabang dan berbuah dan menjadi pohon aras yang hebat; segala macam burung dan yang berbulu bersayap tinggal di bawahnya, mereka bernaung di bawah cabangcabangnya.”
Ada ahli Kitab Suci mencatat bahwa tumbuhan sesawi itu menunjukkan bahwa meskipun jangkauannya tampak kecil seperti sebuah benih selama masa pelayanan Yesus, tetapi dalam perkembangannya akan menjadi besar tak terbendung dan berakar teguh, sehingga akan ada segala macam burung dan yang berbulu bersayap tinggal berlindung di dalamnya.
Saudara-saudara, gambaran burung-burung yang bernaung di bawah cabang-cabangnya sebagaimana dilukiskan oleh nabi Yehezekiel jika direfleksi lebih mendalam maka kerajaan Allah adalah pemerintahan rohani di atas hati dan kehidupan manusia yang secara sukarela tunduk kepada otoritas Allah. Mereka yang menentang otoritas Allah dan menolak tunduk kepada-Nya bukanlah bagian dari kerajaan Allah; sebaliknya, mereka yang mengakui ketuhanan Kristus dan dengan sukarela berserah pada pemerintahan Allah dalam hati mereka, merekalah yang merupakan bagian dari kerajaan Allah. Dengan itu maka dapat dikatakan bahwa konsep kerajaan Allah mengandung berbagai makna tergantung pada penempatannya. Maka dalam konteks Kerajaan Allah yang diumpakan dengan biji sesawi dapat dikatakan bahwa Kerajaan Allah itu sedang menjelma di dalam Gereja, di atas hati dan kehidupan mereka secara sukarela tunduk pada otoritas Allah untuk mewujudkan apa yang selalu didoakan oleh orang katolik dalam doa Bapa Kami:” Datanglah KerajaanMu, jadilah kehendakMu di atas bumi seperti di dalam Surga.”
Ada juga ahli tafsir kitab suci berpendapat bahwa burung-burung ini melambangkan orang-orang non-Israel yang mencari perlindungan pada Israel atau “orang-orang berdosa” yakni para pelacur dan pemungut cukai, yang telah menjadi teman sepergaulan Yesus hingga Dia dikecam karena sikapNya itu.
Jika dalam perjanjian lama burung-burung itu melambangkan orang-orang non Israel yang mencari perlindungan pada Israel, atau pada perjanjian Baru, burung-burung itu melambangkan orang-orang berdosa, para pelacur dan pemungut cukai yang menjadi sahabat Yesus, maka pertanyaannya, di zaman pasca modern ini, burung-burung itu melambangkan siapa, bangsa mana?
Burung-burung itu, melambangkan kita semua yang menyadari diri sebagai orang berdosa, tetapi kita kemudian ditangkap kembali oleh kasih setia Tuhan untuk “bernaung” pada cabang-cabang kasih-Nya. Burung-burung adalah juga symbol dari mereka yang masih terperangkap dalam semangat individualism dan hedonism, yang bersikap apatis dan acuh tak acuh terhadap kegiatan-kegiatan bantuan kemanusiaan, kegiatan-kegiatan pemulihan ekologis atau kegiatan kegerejaan yang bertujuan untuk memuliakan Tuhan.
Untuk menjadi “pohon peneduh” dan naungan bagi orang-orang seperti itu, maka gereja harus meniru gaya Yesus yang penuh kerendahan hati, yang hadir untuk semua orang, yang senantiasa bersahabat dengan semua manusia, walau Dia tokh dimusuhi oleh bangsaNya sendiri. Gereja tidak boleh menjadi angkuh dan arogan, ia tidak boleh mendominasi dan intoleran, tidak boleh terperangkap dalam fanatisme, ia juga tidak boleh bertumbuh dalam semangat eksklusivisme dan individual, tetapi sebaliknya ia menjadi pengayom, pelindung dan peneduh. Ia harus menjadi inklusif dan toleran. Gereja yang adalah manifestasi Kerajaan Allah itu harus bersikap moderat dan akomodatif penuh kerendahan hati untuk menjadi pelopor terdepan, dalam semangat semua untuk semua. Dalam semangat yang sama, semua untuk semua, marilah kita menjadi bagian kecil dari Kerajaan Allah, yang memberikan diri sebagai peneduh, sebagai naungan bagi mereka yang belum percaya bahwa Yesus adalah Tuhan. Bila kita berhasil menjadikan diri sebagai “naungan” sebagai locus salvadicus, maka sadarilah bahwa Kerajaan Allah telah datang di atas bumi dan tinggal di antara kita .