Oleh : Germanus S. Atawuwur, Alumnus STFK Ledalero
Ayb.38:1.8-11; 2 Kor.5:14-17; Mrk.4:35-40
WARTA-NUSANTARA.COM–Bapa, ibu, saudara, saudari yang terkasih, Hidup manusia selalu brdinamika dalam ruang dan waktu. Maka dari itu ada yang mengatakan bahwa hidup manusia adalah sebuah perjalanan. Hal ini sudah 20 abad silam dikatakan oleh Yesus kepada murid-murid-Nya sebagaimana kata-kata-Nya yang kita dengar:” Pada hari itu, waktu hari sudah petang, Yesus berkata kepada mereka: “Marilah kita bertolak ke seberang.” Mereka meninggalkan orang banyak itu lalu bertolak dan membawa Yesus beserta dengan mereka dalam perahu.”
Ajakan Yesus ini harus dimengerti dalam konteks injil minggu lalu yakni perumpamaan tentang Kerajaan Allah. Hal Kerajaan itu seumpama biji sesawi yang ditaburkan di tanah. Memang biji itu yang paling kecil dari pada segala jenis benih yang ada di bumi. Tetapi apabila ditaburkan, ia tumbuh dan menjadi lebih besar daripada segala sayuran yang lain, dan mengeluarkan cabang-cabang yang besar, sehingga burung-burung di udara dapat bersarang dalam naungannya.”
Kerajaan Allah ini sudah sejak zaman nabi Yehezekiel telah dia dinubuatkannya:” Beginilah firman Tuhan Allah, “Aku sendiri akan mengambil sebuah carang dari puncak pohon aras yang tinggi dan menanamnya; Aku mematahkannya dari pucuk yang paling ujung dan yang masih muda dan Aku sendiri akan menanamnya di atas sebuah gunung yang menjulang tinggi ke atas; di atas gunung Israel yang tinggi akan Kutanam dia, agar ia bercabang-cabang dan berbuah, dan menjadi pohon aras yang hebat; segala macam burung dan unggas akan tinggal di bawahnya, mereka akan bernaung di bawah cabang-cabangnya.”
Ajakan Yesus tidak lain dan tidak bukan adalah, pergi untuk mewartakan Kerajaan Allah. Ajakan itu mau menyadarkan para murid bahwa Kerajaan Allah itu milik semua manusia di muka bumi, yang dalam bahwa nabi Yehezekiel adalah segala macam burung dan unggas akan tinggal di bawahnya, mereka akan bernaung di bawah cabang-cabangnya; atau dalam bahasa injil Markus:” Memang biji itu yang paling kecil dari pada segala jenis benih yang ada di bumi. Tetapi apabila ditaburkan, ia tumbuh dan menjadi lebih besar daripada segala sayuran yang lain, dan mengeluarkan cabang-cabang yang besar, sehingga burung-burung di udara dapat bersarang dalam naungannya.”
Maka pertanyaannya adalah, ke seberang mana yang Yesus maksudkan dengan ajakan “bertolak ke seberang?” Bahwa setelah di Yahudi, bangsa-Nya sendiri, Yesus mengajak mereka untuk pergi kepada bangsa-bangsa lain, dalam hal ini adalah orang-orang Gerasa. Orang-orang Gerasa adalah kelompok bangsa non Yahudi, yang menurut kehendak Allah, mereka pun patut mendapatkan Warta Sukacita, warta tentang Kerajaan Allah karena mereka adalah juga anak-anak Tuhan. Karena itu Yesus tinggalkan orang-orang Yahudi yang banyak itu untuk pergi ke tempat orang-orang non Yahudi, karena Yesus ingat misi perutusan-Nya sebagai Mesias, – Sang Juruselamat, yakni mewartakan Kerajaan Allah kepada semua orang. Karena itu Yesus sadar, bahwa Kerajaan Allah milik semua orang, bukan hanya milik orang-orang Yahudi. Inilah konteks untuk memahami ajakan Yesus kepada murid-murid-Nya:” Mari kita bertolak ke seberang.”
Ketika mereka bertolak ke seberang, mereka harus menyeberang danau. Karena memang hanya itulah satu-satunya akses dari Galilea, bangsa Yahudi ke Gerasa. Dan ternyata, tidak disangka-sangka, terjadilah taufan yang dahsyat sebagaimana dilukiskan Markus:” Lalu mengamuklah taufan yang sangat dahsyat dan ombak menyembur masuk ke dalam perahu, sehingga perahu itu mulai penuh dengan air. Pada waktu itu Yesus sedang tidur di buritan di sebuah tilam. Maka murid-murid-Nya membangunkan Dia dan berkata kepada-Nya: “Guru, Engkau tidak perduli kalau kita binasa?” Iapun bangun, menghardik angin itu dan berkata kepada danau itu: “Diam! Tenanglah!” Lalu angin itu reda dan danau itu menjadi teduh sekali. Lalu Ia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?”
Adegan ini sengaja dimasukan oleh penginjil Markus untuk menyadarkan para pembaca, termasuk kita, bahwa “bertolak ke seberang,” walaupun untuk mewartakan Kerajaan Allah, walaupun untuk berbuat baik tetap saja ada “badai”. Pasti saja ada kesulitan. Tentu saja ada tantangan dan rintangan. Artinya, bertolak ke seberang juga berarti bersiap menerima segala risiko, selain seperti yang sudah disebutkan di atas, tetapi juga bisa berupa kegagalan, kerugian, kegelisahan, kekecewaan. Pertanyaannya adalah, bila resiko itu dialami apa yang harus dilakukan? Yang harus dilakukan adalah “perjalanan kembali ke dalam diri sendiri.” Perjalanan kembali ke dalam diri sendiri artinya harus melakukan refleksi, permenungan perjalanan untuk berjumpa dengan kelemahan, kekurangan, kegagalan, cacat, kesalahan dan dosa-dosa untuk kemudian melakukan evaluasi, perbaikan, untuk mendapatkan inspirasi, membaharui motivasi hidup dan merevisi strategi perjalanan untuk kemudian berjalan lagi, alias “bertolak ke seberang.”
Saudara-saudaraku, ajakan mari kita bertolak ke seberang, adalah ajakan untuk pergi ke “tempat yang lebih jauh.” Ajakan mari kita bertolak ke seberang adalah awal keberangkatan untuk menjangkau yang tidak terjangkau. Mereka yang hidup di seberang sana membutuhkan kita, sebab merekalah saudara dan saudari kita. Karena itu kita selalu diminta untuk meninggalkan zona nyaman. Kita tidak boleh berpuas diri dengan kemapanan, kenyamanan, ataupun pencapaian yang ada. Sebaliknya, dituntut untuk selalu bertolak ke seberang. Ketika kita bertolak ke seberang, kita yakin bahwa Tuhan selalu ada dalam perahu kehidupan kita dari dahulu hingga sekarang. Ada saatnya kehadiran-Nya begitu jelas dirasakan, namun mungkin lebih sering kita merasa Dia seolah meninggalkan perahu kehidupan kita. Kita merasakan Dia tidak hadir, begitu jauh, bahkan tertidur. Di saat-saat seperti itu, kita seperti para murid tergoda untuk menuding-Nya:” Guru, Engkau tidak perduli kalau kita binasa?” Apakah memang Tuhan tidak perduli terhadap badai kehidupan kita? Tentu tidak!! Injil pun mencatat:” Iapun bangun, menghardik angin itu dan berkata kepada danau itu: “Diam! Tenanglah!” Lalu angin itu reda dan danau itu menjadi teduh sekali. Lalu Ia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?“ Teguran Tuhan kiranya tetap relevan: “Mengapa kamu begitu takut?” Percayalah bahwa Ia selalu ada bersama kita dalam perahu kehidupan kita. Karena itu kita tidak perlu takut berhadapan dengan badai dalam bentuk apa pun, tetapi kita terus berjalan. Karena itu marilah kita bertolak ke seberang.