Oleh : Robert Bala
WARTA-NUSANTARA.COM–Bila melihat semua kandidat calon bupati, maka dua figur ini patut dikagumi: Jimmy dan Jawa. Kalau pun orang lain merasa berat (karena melihatnya sebagai Kompetitor), maka saya minimal secara pribadi mengagumi dua figur ini. 𝒅𝒓 𝒀𝒆𝒓𝒆𝒎𝒊𝒂𝒔 𝑹𝒐𝒏𝒂𝒍𝒅𝒚 𝑺𝒖𝒏𝒖𝒓 𝑴.𝑩𝒊𝒐𝒎𝒆𝒅, 𝑺𝒑𝑶𝑮 memiliki pendidikan yang agak jarang dimiliki orang Lembata. Seorang dokter, S2 dan dokter spesialis kandungan itu sangat langka. Yang lebih patut dikagumi tentu pada Pemda Lembata. Meskipun menjadi salah satu dari 10 Kabupaten termiskin di Indonesia (Berita Satu 10/6/2023), Lembata sanggup memberikan beasiswa untuk menjadikan Jimmy sebagai dokter spesialis.
Kekaguman pada Jimmy beralasan karena dokter spesialis kandungan, turut berpengaruh terhadap status RSUD Lewoleba. Sempat beberapa waktu ‘nongol’ berada di Tipe C kemudian kembali lagi ke Tipe D dan berputar di situ saja. Salah satu faktor penentu adalah kehadiran dokter spesialis seperti: spesialis Penyakit Dalam, Kandungan dan Kesehatan Anak. Bedah, Obstetri, dan Ginekologi. Di sinilah Lembata beruntung memiliki salah satunya, dokter spesialis Jimmy Sunur.
Yang jadi pertanyaan, apakah kekaguman itu bakal bertambah kalau akhirnya Jimmy menjadi Bupati Lembata 2024-2029? Bisa saja. Semboyan “Terus Mengabdi untuk Lembata”, menunjukkan bahwa apa yang dilakukan hanyalah kelanjutan. Tentu ‘terus mengabadi’ ini dikaitkan dengan Jimmy sebagai dokter dan tidak ada kaitannya dengan kakak sepupunya, alm Yentji Sunur. Itu berarti apa yang sudah dilakukan Jimmy sebelumnya adalah baik dan terpuji dan kini hanya dilanjutkan saja.
Yang jadi pertanyaan karena terkait sebagai dokter spesialis kandungan, maka akan lebih fair kalau kita bertanya tenatng bagaimana tumbuh kembang anak pasca lahir? Data tahun 2022 menyebatukan, dari 8130 anak di Lembata, 22,2% atau 1804 anak mengalami gagal tumbuh. Jangan jauh-jauh. Untuk Nubatukan, sebagai kecamatan terdekat dan barangkali juga ‘tetanggaan’ Jimmy, dari 1946 bayi, terdapat 444 anak mengalami stunting. Bisa dibayangkan kecamatan lain yang jauh dari Lewoleba seperti Atadei dan Wulandoni.
Tentu kasus stunting ini tidak bisa dihubungkan dengan kematian bayi dari Kolontobo baru-baru (22/6/24). Itu tidak ada hubungan sebab akibat meski cukup ‘seksi’ untuk digoreng. Tetapi gorengan bisa dimengerti. Kalau ada kasus ibu hamil, tidak salah orang tanya atau sedikit pertanyakan tentang dokter spesialis kandungan. 𝑰𝒕𝒖 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒉𝒂𝒏𝒚𝒂 ‘𝒕𝒂𝒏𝒚𝒂 𝒋𝒐’.
Poin ini penting, baik stunting maupun kematian bayi tentu sangat disayangkan. Lembata ke depan tidak bisa kita harap dari generasi yang sekarang yang sudah keras (dan kepala batu). Yang masih kita harapkan adalah bayi dan anak. Mereka menyimpan jaminan masa depan. Untuk itu, rasanya masuk akal bila kita mendambakan kalau boleh, Jimmy bisa berjuang lima tahun lagi sebagai dokter. Setelahnya (2029) kalau mau masuk politik ya silakan dan bisa dipastikan akan menang.
Lebih lagi siapa tahu kehadirannya bisa menjadi alasan, RSUD Lembata bisa melajut ke tipe B? Tapi kalau dokter spesialis berkurang maka orang akan hanya bilang ‘𝒉𝒂𝒓𝒂𝒑 𝒏𝒆𝒖 𝒈𝒓𝒂𝒑𝒆,’ kata orang Atadei karena memang ‘𝒍𝒆𝒎𝒂𝒉 𝒅𝒊 𝒃𝒐𝒌’.
Tetapi ini 𝒉𝒂𝒏𝒚𝒂 𝒖𝒔𝒖𝒍 𝒋𝒐… Semua akan kembali kepada Jimmy dan pendukung-pendukungnya yang tentu berharap banyak apalagi berdasarkan pengalaman, selama alm Yentji Sunur berkuasa (kakak sepupu Jimmy), mereka ‘merasakan banyak manfaatnya’.
‘𝑻𝒂𝒏𝒑𝒂 𝑷𝒂𝒎𝒓𝒊𝒉?’
Jawa (Marianus Jawa) sebagai calon bupati di Lembata merupakan kekaguman lain yang tidak kurang. Dari Nagekeo dan setelah dipercayakan menjadi Penjabat Bupati selama setahun, Jawa mencuri perhatian. Pola pendekatannya sangat sederhana, cepat tergugah dan bisa melakukan apa saja untuk membantu orang. Terekam bagaimana pria kelahiran 8 Agustus 1965 ini rela turun sendiri membantu membangun rumah warga miskin.
Dengan tanpa beban karena sebagai penjabat, ia berusaha mengurai benang kusut yang ditinggal baik oleh Yentji Sunur maupun Thomas Ola Langoday (TOL). Jawa juga bersyukur karena saat masuk Lembata, dana PEN sudah siap, tinggal ia eksekusi. Wajar, kalau sebagian orang Lembata mengira, jalan hotmix itu adalah ‘buah tangan’ Jawa. Memang benar, di tangannya, eksusi dilaksanakan. Dengan tanda tanganya, bisa dianggap sah kontraktor yang mengerjakannya. Orang lupa bahwa itu buah terindah dari TOL.
Di sinilah meski Jawa melakukan semuanya secara profesional tetapi tidak salah kalau pengusaha yang ‘kecipratan’, sebagai orang Timur, mereka tidak akan lupa ‘jasa baik’. Minimal kalau datang ke Lembata dan tidak ada ‘tumpangan’ mereka bisa terima dengan senang hati tanpa maksud apa-apa. Pengusaha di Lembata itu baik-baik semua dan sangat murah hati.
Yang jadi pertanyaan usil saja. Untuk jadi bupati, tidak saja ‘kehendak baik’ tetapi juga harus ada dukungan ekonomi? Sebijak-bijak dan sehebat-hebatnya seseorang, demikian kata presiden terpilih Prabowo, ketika mau jadi bupati atau gubernur, yang ditanyakan: ‘𝒃𝒆𝒓𝒂𝒑𝒂 𝒖𝒂𝒏𝒈 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒊𝒃𝒂𝒘𝒂?’ Ironi tetapi ini memang pertanyaan wajib karena tidak ada ‘makan siang gratis’ (meskipun bagi Prabowo ada selalu makan siang gratis).
Di sini kita bertanya, apakah Jawa, akan mengorbankan apa saja yang ia miliki dari kantongnya sendiri, hanya untuk masuk dalam catur politik yang sangat panas itu? Apakah ada basis dukungan wilayah yang bisa jadi hiburan sehingga mereka itu ‘konsisten’ memberi suara? Kalau ini ada dan terjadi dalam diri Marianus Jawa di Lembata, maka ini satu-satunya di Indonesia. Di semua daerah lain, kekuatan bawah tanah itu ‘dahsyat’ apalagi di Lembata dan semuanya itu bukan gratis.
Tidak hanya itu. Sekadar mengingatkan Jawa. Orang Lembata itu memang cepat terharu. Kepergian Jawa dari Lembata itu terasa berat. Banyak orang mengira Jawa bakal melanjutkan hingga dua periode seperti Dori Alexander Rihi di Flotim yang tidak dijagokan tapi bertahan. Tetapi pemerintah pusat bisa saja melihat Jawa mungkin saja sedang ‘mencuri hati orang Lembata’. Karena itu dengan gesit Jawa diambil sambil diiringi lagu Mimpi Manis dari Dewi Persik: 𝑺𝒕𝒐𝒑 𝒌𝒂𝒖 𝒎𝒆𝒏𝒄𝒖𝒓𝒊 𝒉𝒂𝒕𝒊𝒌𝒖 𝒉𝒂𝒕𝒊𝒌𝒖. 𝑺𝒕𝒐𝒑 𝒌𝒂𝒖 𝒎𝒆𝒏𝒄𝒖𝒓𝒊 𝒉𝒂𝒕𝒊𝒌𝒖 (2𝒙)
Sebagai tambahan, memang, orang Lembata itu ‘pikirannya pendek’. Sekali mereka terharu itu sangat mendalam. Tetapi secepat itu mereka akan lupa. Dulu saat Harnus, Piter Manuk sangat disanjung. Piter dikenal sangat lincah berkomunikasi dan terkenal sebagai ekskutor sejati. Dengan pengalaman sebagai Kadis di propinsi dari berbagai gubernur Piter selalu diandalkan. Bahkan setelah pensiun, Pesparani nasional masih pakai Piter. Itu berarti Piter ini bukan orang sembarangan dan patut diandalkan. Yance dengan pembangunan pariwisata sebagai 𝒍𝒆𝒂𝒅𝒊𝒏𝒈 𝒔𝒆𝒄𝒕𝒐𝒓, sangat disanjung dan jadi alasan mengapa ia dipikul masuk keluar kampung-kampung. Juga saat Thomas, dengan Sare Dame, mereka juga ingat. Tetapi secepat itu mereka lupa.
Itulah oang Lembata yang cepat terharu tetapi secepat kilat juga lupa. Lalu apakah ingatan pada Jawa begitu kuat? Ya fakta tentang ingatan orang Lembata pendek itu masih berlaku. Karenanya masyarakat butuh ‘𝒅𝒊𝒊𝒏𝒈𝒂𝒕𝒌𝒂𝒏’. Dan itu semua butuh ‘𝒔𝒊𝒓𝒊𝒉 𝒑𝒊𝒏𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒂𝒏 𝒕𝒆𝒎𝒃𝒂𝒌𝒐’, yang harganya disesuaikan dengan ‘kondisi politik’ di pasar Pada dan Lamahora.
Sengit memang tetapi itulah yang terjadi. Memang terakhir ada kabar, (katanya) sekarang masyarakat Lembata sudah cerdas. Pengalaman di mana mereka lihat dengan ‘mata kepala sendiri’ membuat mereka makin cerdas dan katanya tidak akan terkecoh untuk kedua kalinya. Kalau itu itu benar maka orang Lembata sudah berubah dan bisa saja mereka akan buktikan di Pilkada November nanti.
Dengan mengatakan ini tentu tidak bermaksud untuk mengecilkan nyali pak Jawa untuk maju, Jangan percaya dengan omongan ini karena hanya ‘𝒐𝒎𝒐𝒏-𝒐𝒎𝒐𝒏’. Tulisan ini yang lebih banyak salah dan kelirunya dari benarnya. Keputusan untuk maju itu itu tentu saja akan kembali ke Pak Marsianus.
Singkatnya untuk 𝑱𝒂𝒘𝒂 𝒋𝒖𝒈𝒂 𝑱𝒊𝒎𝒎𝒚 (𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒃𝒊𝒔𝒂 𝒌𝒊𝒕𝒂 𝒔𝒂𝒑𝒂 𝑴𝒓 𝑱𝑱), Anda berdua pantas dikagumi. Tetapi kekaguman itu harus bertahan dan lestari, bukan kesan sesaat. Karena itu memberi waktu untuk mengabdi lima tahun lagi (bagi Jimmy) adalah usulan yang tentu tidak salah. Sementara menimbang kembali cara orang Lembata memberi simpati terhadap Jawa (tapi cepat lupa) juga tidak salah kalau dipikirkan atau kalau boleh dipertimbangkan oleh Jawa. 𝑯𝒂𝒏𝒚𝒂 𝒌𝒂𝒕𝒂 𝒂𝒌𝒉𝒊𝒓 𝒂𝒅𝒂 𝒅𝒊 𝑨𝒎𝒂 𝒃𝒆𝒓𝒅𝒖𝒂 𝒕𝒐𝒉? Kalau tetap maju sekarang ‘𝒑𝒐 𝒃𝒂𝒆 𝑵𝒐’. Lanjutkan ama sampai 𝒅𝒐𝒑𝒊 𝒌𝒆𝒑𝒐, kata orang Nagi. Jangan percaya pada ocehan ‘omong kosong ini’ yang mungkin lebih banyak salah daripada benarnya.
𝑹𝒐𝒃𝒆𝒓𝒕 𝑩𝒂𝒍𝒂. 𝑫𝒊𝒑𝒍𝒐𝒎𝒂 𝑹𝒆𝒔𝒐𝒍𝒖𝒔𝒊 𝑲𝒐𝒏𝒇𝒍𝒊𝒌 𝑨𝒔𝒊𝒂 𝑷𝒂𝒔𝒊𝒇𝒊𝒌, 𝑼𝒏𝒊𝒗𝒆𝒓𝒔𝒊𝒅𝒂𝒅 𝑪𝒐𝒎𝒑𝒍𝒖𝒕𝒆𝒏𝒔𝒆 𝒅𝒆 𝑴𝒂𝒅𝒓𝒊𝒅 𝑺𝒑𝒂𝒏𝒚𝒐𝒍. Direktur Akademi Perhotelan Tunas Indonesai (D4 Manajemen Perhotelan), Tangerang.