Oleh : Robert Bala

WARTA-NUSANTARA.COM–6 Juli 2024, dipastikan, P. Yulius Yasinto, SVD terpillih menjadi anggota Dewan Jeneral SVD di Roma. Yul bersama 6 anggota dewan lainnya yang berasal dari Brazil, India, Jerman, Polandia, Zambia, dan Philipina, , akan memimpin 5754 anggota SVD yang tersebar di 5 benua, 84 negara.

Bagi banyak orang NTT, terpilihnya Putera kelahiran Manggarai 18 Juli 1965 seakan merupakan pemuas dahaga. Saat terjadi pergantian Uskup di NTT, namanya sempat disebut menjadi ‘potentiale ad episcopum; alias potensial menjadi uskup untuk ‘di sini’ NTT. Tersebar di WA jawaban langsung dari Pater Yuli bahwa informasi itu tidak benar dan disebarkan oleh orang yang bertanggungjawab.

Jawaban yang memang sangat khas penuh kepolosan dan kerendahan hati. Meski CV-nya begitu lengkap, nyaris bisa tertandingi tetapi ia tidak pernah menjadikannya untuk mengambil jarak dari orang lain. Itulah yang saya kenal dari Ledalero (1989) dan hingga 35 tahun kemudian (2024), ia tetap ‘begitu sudah’.

Pertemuan dengan frater Yul terjadi saat ia dalam persiapan untuk Overseas Training Program (OTP) alias praktik ke luar negeri (Taiwan). Dengan tingkatyang sudah ‘segitu’ ia seharusnya ambil jarak. Tetapi di situlah yang membuatnya beda, ia gaul tanpa pilih-pilih.

Yang justru tidak tahu diri adalah adik-adiknya. Lebih lagi kalau jadi ‘MC’(waktu itu disebut protocol atau pengacara), saya bebas‘mencandai’ para abang-abang. Tak heran Yul dkk yang sudah tahu efeknya, biasanya ‘baik-baik dengan saya’ biar tidak jadi ‘bulan-bulangan’. Yul yang tahu kegenitan adik-adik hanya berkata: “ engkau ini….”

Dalam segi intelektualitas, Yul memang beda. Saat masih mahasiswa diminta membawakan seminar tentang ritual di Bali dan pariwisata. Yul dengan tegas mengatakan bahwa sebuah ritus hanya bermakna kalau dilakukan dalam konteks adat dan bukan untuk ditonton. Aneka seminar selanjutnya sebagai narasumber hanya sebagai penguat bahwa pintarnya Pater Yul bukan baru sekarang.
Seni Memimpin
Seorang pemimpin sejati biasanya bisa terlihat jauh sebelumnya. Ia tidak pernah menjadi pemimpin tiba-tiba. Itulah membuktikan bahwa kualitas dirinya teruji dalam waktu. Baru dua tahun jadi imam, ia sudah diangkat jadi Kepala Sekolah di Colegio di Maliana TimTim.
Tahun 1998, pasca reformasi dan membuat juga kegoncangan di Timor Timur, Yul memiilih melihat Indonesia dari luar melalui studi lanjut di Inggris (1998-2001). Hal itu yang mempersiapkannya berkarya di Timor Leste persis saat berdiri sebagai negara 2002.
Dari Timor Leste ia menjadi Rektor Institute of Religious Studies (2002-2005), saat bersamaan menjadi Wakil Provinsial (2005-2011). Ini jabatan sementara yang mengantarnya menjadi Rektor Unwira Kupang (2009-2017). Jabatan rektor di Perguruan Tinggi Swasta terbaik di NTT, tentu tidak mudah didapatkankan apalagi saat itu masih berusia 44 tahun. Lebih dari itu, masih banyak senior yang (merasa dirinya) lebih pantas. Hal itu belum terhitung aneka ‘sikut-menyikut’ dan cemburunya yang juga ada di biara (meski disebut ‘cemburu rohani’ dan ‘politiknya’ juga kadang disebut ‘ngeri-ngeri sedap’ di lingkungan biara.
Semua tantangan ini dihadapi dengan bijak, Aneka pekerjaan dilahap. Persaudaraan dijalin dengan tulus tanpa trik. Lawan dirangkul secara tulus. Hal ini semakin memberikannya kredit poin. Selesai jadi rektor, diminta jadi Ketua Pengurus Yayasan Pendidikan Katholik Arnoldus Kupang (Yapenkar). Di level Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik Indonesia (APTIK) ia menjadi Wakil (2020-2026) malah pernah menjadi Ketua Tim Penyusun Rencana Strategis APTIK (2021) dan bukan mustahil bahwa akan menjadi Ketua APTIK di 2026 nanti.
Di sana menunggu
Apa yang bisa ditarik sebagai kesimpulan?
Pertama, bagi yang mengenal Pater Yulius Yasinto, SVD secara mendalam tentu punya hak untuk mengharapkan figurnya di level gereja lokal. Harapan itu tentu tidak kosong karena mereka mengalaminya dari dekat. Kekecewaan itu cukup wajar.
Tetapi yang perlu diingat bahwa pelayanan Pater Yul melampaui keterbatasan lingkup geografis Gereja Lokal. Dalam kepemimpinannya sebagai Rektor Unwira yang diselesaikan (bukan terpotong) 2 periode (8 tahun), menunjukkan konsistensinya pada satu tugas hinggai tuntas. Lebih lagi, justru melalui pendidikan, ia memberi makna dan pengaruh yang jauh lebih luas.
Malah dengan latar belakang pendidikan ilmu sosial dan pembangunan lebih lagi duduk dalam aneka komisi strategis, memberikan pemahaman agar Gereja tidak saja berkutat di altar tetapi menjadikan kehidupan sosial sebagai alter altar alias pengganti altar. Ini bukan sekadar hiburan. Pater Yul pernah diminta terlibat dalam The Seventh Bishop’s Institute for Social Communication (BISCOM VII) untuk level Asia di Bangkok tahun 2009.
Kedua, tantangan gereja yang sangat kuat membutuhkan pemimpin yang tidak saja cerdas tetapi bijak. Ia sudah teruji kemandirian berpikir dan kecakapan relasionalnya serta terbukti menjadi pemikir strategis untuk masa depan. Posisi ini telah dipenuhi Yul. Tetapi yang paling penting, di balik semua kepercayaan itu adalah pengakuan akan kepribadian yang tangguh.
Patut diakui celah ini semakin kerap ditemukan sebagai titik lemah dalam kehidupan internal gereja, terutama para rohaniawan, biarawan-biawarawati. Kekecewaan inilah yang tentu tidak bisa sekadar dijawab dengan doa tetapi dengan mati raga dan transformasi besar. Keteladanan Pater Yul dalam hal ini sudah menjadi sebuah jaminan.
Ketiga, jabatan straegis kini sebagai anggota dewan Jeneral SVD kini untuk 6 tahun (2024-2030, sebenarnya merupakan pengukuhan atas sebuah perjalanan. Pater Yul adalah salah satu dari sedikit saja anggota SVD yang mengikuti 4 kapitel sejak 2006 tanpa henti. Pada Kapitel 2018, Yul telah menjadi nggota Tim Internasional Perumus Draft Dokumen Akhir pada Pertemuan Umum (Kapitel General) SVD di Nemi, Roma, Italia. Menurut informasi dari sumber terpercaya, pada kapitel 2018, Pater Yul dan Pater Budi berada di urutan teratas sebagai kandidat. Ini semua hanya pengakuan bahwa kapasitas dan kapabilitasnya sudah teruji.
Karena itu kalau kali ini ia pindah dari bumi Sasando ke negara Italia, daerah asal Piano itu tentu sebuah pengakuan sekaligus mengandung pesan. Sasando yang terbuat dari kawat halus dengan sistem diatonik dengan 48 dawai, Adalat alat music yang sangat indah tetapi ia punya kekurangan karena suaranya masih kecil. Kini dengan berpindah ke negeri piano yang dianggap sebagai alat musuk untuk dapat mengembangkan koordinasi dan memungkinkan pemain memperoleh ketangkasan yang jauh lebih baik.
Jadi di ‘sana’ (Roma), tempat bagi Pater Yul untuk bersuara lebih besar, lebih luas, dan lebih bermakna. Tetapi kalau suatu saat ditarik ke Indonesia (di sini), tentu para pengagummu yang sambil menyanyikan lagu Broery Marantika sambil memodifikasi sedikit: “Aku di sini (begini), Engkau di sana (begitu), sama saja’.”
Robert Bala. Salah seorang pengagum dan penyaksi kebaikan P. Dr. Yulius Yasinto, SVD.