Oleh : Pius Rengka, Jurnalis media online detakpasifik.com
Saya memastikan, NTT terancam sebagai provinsi gagal atau provinsi kolaps jika praktik rent seeking masif terjadi di sini. Rent seeking menjadi salah satu faktor utama keruntuhan provinsi, yang menemukan suasananya dengan ketidakstabilan politik, konflik, kelemahan institusi, dan ketidakmampuan pemerintah menyediakan layanan dasar.
Rahim korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) melahirkan negara-negara gagal bahkan kollaps (vide: Susan Rose-Ackerman, 1978; Daron Acemoglu dan James A. Robinson, 2012). Korupsi biasanya beroperasi dengan dua pola.
Pertama, mencuri dianggap kelakuan normal aparatus negara. Kedua, dagang kewenangan (rent seeking) masif, sistematis dan terstruktur demi mendapatkan keuntungan ekonomis dan atau keuntungan politis. Dua cara busuk ini beroperasi dengan nyaman lantaran sistem politik dan kontrol sosial lemah.
Tulisan ini mencermati dua pola tersebut untuk menjelaskan bagaimana gejala bau amis rekrutmen calon siswa taruna Akpol Polda NTT, belum lama ini dapat terjadi.
Korupsi, nepotisme, dan kolusi (KKN) berkontribusi signifikan terhadap kegagalan atau kolapsnya suatu negara, provinsi kabupaten dan kota. KKN saling terkait dan memperburuk masalah pemerintahan, ekonomi, dan stabilitas sosial.
Pengalaman di Zimbabwe, korupsi di bawah kepemimpinan Robert Mugabe, negeri itu mengalami tingkat korupsi sangat tinggi di pemerintahan. Korupsi merajalela dalam sektor publik, pengelolaan sumber daya alam dan penyalahgunaan dana publik dengan kobaran api semangat serakah.
Mugabe dan keluarganya memanfaatkan kekuasaan politik untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Dia mempromosikan anggota keluarganya ke posisi pemerintahan yang penting. Kolusi antara pejabat pemerintah dan bisnis yang dekat dengan rezim menyebabkan pengambilalihan sumber daya ekonomi oleh segelintir orang, sementara mayoritas rakyat hidup dalam selimut debu kemiskinan. Korupsi, nepotisme, dan kolusi yang meluas berkontribusi pada stagnasi ekonomi, ketidakstabilan politik, dan keengganan investasi asing.
Hal serupa terjadi di Venezuela ketika negara ini mengalami korupsi pengelolaan sumber daya minyaknya. Dana publik dan pendapatan dari ekspor minyak dicuri oleh pejabat pemerintah. Hugo Chavez dan penerusnya, Nicolas Maduro, dituding memanfaatkan posisi mereka untuk menempatkan keluarga dan sekutu politik ke dalam posisi pemerintahan dan bisnis. Kolusi pemerintah dengan sektor bisnis minyak menghasilkan kontrak yang merugikan negara. Akibatnya, sumber daya alam dikelola amat sangat buruk. Kombinasi KKN menyebabkan inflasi tinggi, kelangkaan barang-barang pokok, dan krisis kemanusiaan yang parah.
Begitu pun Nigeria. Nigeria dikenal dengan tingkat korupsi yang tinggi di sektor pemerintahan dan ekonomi, khususnya dalam industri minyak dan gas. Pemerintahan Nigeria menggunakan posisi politik untuk memberikan keuntungan ekonomi kepada keluarga dan kelompok politiknya. Kolusi pejabat pemerintah, militer, dan bisnis mengakibatkan penggelapan dana publik dan pengelolaan yang buruk terhadap sumber daya nasional. Meskipun Nigeria memiliki sumber daya alam yang kaya, tetapi korupsi, nepotisme, dan kolusi menghalangi pertumbuhan ekonomi yang inklusif yang berakibat ketidakstabilan sosial yang serius.
Korupsi, nepotisme, dan kolusi berkontribusi signifikan terhadap kegagalan atau kolapsnya negara dengan melemahkan tata kelola yang baik, mengurangi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, dan meningkatkan ketidakstabilan politik serta sosial.
Korupsi memang bukanlah fenomena baru. Korupsi telah ada sepanjang sejarah umat manusia. Praktik korupsi terdokumentasi dalam berbagai peradaban sejak ribuan tahun lalu. Tidak ada catatan pasti di mana dan kapan korupsi pertama kali dilakukan di dunia karena korupsi muncul sebagai hasil dari interaksi manusia dalam situasi-situasi kontekstual.
Di era Mesir kuno, ada catatan korupsi di kalangan pejabat kerajaan yang memanfaatkan posisinya untuk memperoleh keuntungan pribadi. Korupsi di Romawi kuno terdokumentasi melalui praktik suap dan nepotisme di elite politik dan militer. Di Tiongkok kuno, terdapat bukti korupsi di birokrasi dan pengadilan, dengan pejabat-pejabat penerima suap untuk mengubah keputusan hukum atau administratif.
Di era modern, ketika kompleksitas pemerintahan dan globalisasi ekonomi, korupsi menjadi masalah yang lebih kompleks dan meluas. Praktik korupsi terkait proyek infrastruktur, kontrak pemerintah, dan pengelolaan sumber daya alam, yang melibatkan perusahaan swasta, pejabat pemerintah, dan individu-individu yang memanfaatkan posisinya demi keuntungan pribadi.
Karenanya, taklah perlu kaget ketika selentingan desa-desus menyebutkan polisi dan jaksa ikutan main proyek di sejumlah kabupaten dan provinsi di NTT. Presiden Jokowi pada satu kesempatan tandas mengatakan polisi, jaksa dan elemen negara jangan ikut campur urusan pengerjaan proyek. Tetapi, tangan kuasa Jokowi tidak sanggup menjangkau mereka di lapisan paling bawah.
Namun, upaya untuk mereduksi korupsi menyejarah. China dan Korea Utara menerapkan hukuman mati bagi para koruptor. Sebaliknya, di Indonesia, para koruptor bahkan manja bukan main. Mereka senyum di kulum sambil melambaikan tangan kepada para jurnalis foto tatkala mereka berlangkah memasuki ruang jeruji penjara.
Langkah pencegahan yang dilakukan ialah meningkatkan transparansi dalam proses pengambilan keputusan dan pengelolaan keuangan publik, serta meningkatkan akuntabilitas pejabat publik. Menguatkan hukum dan peraturan untuk menanggulangi korupsi, termasuk penegakan hukum tanpa pandang bulu kumis terhadap kejahatan korupsi. Juga tidak jemu-jemu kita mengedukasi masyarakat tentang dampak negatif korupsi dan pentingnya partisipasi aktif dalam pencegahan dan pengungkapan kasus korupsi.
Rent seeking
Rent seeking adalah dagang wewenang. Istilah ini pertama kali dipakai pada konteks ekonomi yang mengacu pada aktivitas individu atau perusahaan yang mencoba mendapatkan keuntungan tanpa menambah nilai atau menciptakan kekayaan baru. Ekonom Gordon Tullock tahun 1967 pertama kali menggunakan istilah ini dan dipopulerkan Anne Krueger pada tahun 1974.
Rent seeking sejarahnya melibatkan upaya mempengaruhi kebijakan publik atau regulasi dengan tujuan memperoleh keuntungan ekonomi bagi diri sendiri atau kelompok tertentu. Aktivitas ini mencakup lobbying, korupsi. Tujuannya mendapatkan monopoli, subsidi, tarif proteksi, atau keuntungan lainnya yang diberikan pemerintah.
Rent seeking kemudian merambah tersebab ketidakstabilan politik, kelemahan institusi, dan kontrol publik sangat lemah. Para rent seekers, sangat nyaman dalam situasi dan kondisi dimana kontrol rakyat lemah atau penegakan hukum rapuh seperti kasus Indonesia. Untuk mengatasi masalah ini, reformasi komprehensif diperlukan, peningkatan transparansi, akuntabilitas, dan penegakan hukum yang ketat. Perekrutan casis taruna Akpol yang heboh di NTT adalah salah satu contoh.
Saya memastikan, NTT terancam sebagai provinsi gagal atau provinsi kolaps jika praktik rent seeking masif terjadi di sini. Rent seeking menjadi salah satu faktor utama keruntuhan provinsi, yang menemukan suasananya dengan ketidakstabilan politik, konflik, kelemahan institusi, dan ketidakmampuan pemerintah menyediakan layanan dasar.
Rent seeking pasti kontributif terhadap kegagalan atau kolapsnya NTT jika para elite pejabat pemerintahan lebih berorientasi pada mendapatkan keuntungan pribadi daripada melayani masyarakat. Hal itu diperparah bilamana institusi pemerintah dikuasai oleh individu-individu pencari rente, kebijakan dan keputusan yang diambil cenderung berpihak pada kepentingan pribadi atau kelompok, bukan kepentingan rakyat. Maka distorsi ekonomi dan sosial meluas, ketika rekrutmen calon polisi berdasarkan koneksi elite negara daripada menaati ketentuan hukum.
Investor pastilah enggan berinvestasi di sini karena risiko tinggi dan ketidakpastian hukum. Maka NTT tepatlah disebut kawasan uji coba praktik busuk para bajingan yang datang dari latar komplotan busuk di tanah air.
Saya mensinyalir ketidakadilan yang diakibatkan rent seeking memicu ketidakpuasan massal, protes, dan konflik sosial yang memperburuk ketidakstabilan politik. Amat sangat runyamlah jika aparat penegak hukum terlibat dalam rent seeking. Penegakan hukum lemah. Apalagi jika para rent seekers kasat mata tidak dihukum.
Kasus di Somalia seharusnya dijadikan pelajaran terbaik untuk bercermin diri. Somalia contoh klasik negara gagal. Hal serupa terjadi di Venezuela.
Meskipun Venezuela memiliki cadangan minyak terbesar di dunia, tetapi negeri ini mengalami krisis ekonomi dan politik yang parah. Pemerintah korup dan rent seeking meluas sehingga inflasi melambung tinggi, barang kebutuhan dasar menjadi langka. Sudan Selatan pun demikian.
Negara termuda di dunia itu, terjerumus ke dalam perang saudara dan krisis kemanusiaan. Para rent seekers adalah para pemimpin politik dan militer. Koneksi politik dimanfaatkan untuk mendapatkan akses ke informasi, peluang, dan keputusan yang tidak tersedia bagi orang lain.
Dagang wewenang itu memperkuat ketidakadilan sosial karena keuntungan diperoleh oleh kelompok kecil yang berkuasa, sementara rakyat yang seharusnya dilayani menderita akibat kebijakan yang tidak adil.
Isu penempatan dan penerimaan staf atau seleksi keanggotaan di kepolisian sangat mungkin dinodai kelakuan komplotan rent seekers. Proses penempatan dan penerimaan dimanfaatkan untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok, dan seringkali melibatkan praktik-praktik yang tidak transparan dan tidak adil. Beberapa kemungkinan pola rent seeking dapat terjadi dalam konteks penempatan staf dan seleksi keanggotaan di kepolisian.
Pertama, nepotisme dan kronisme. Penempatan atau promosi individu dalam kepolisian berdasarkan hubungan keluarga atau kekerabatan, bukan berdasarkan kompetensi atau kualifikasi. Hal ini seringkali terjadi ketika pejabat tinggi kepolisian menggunakan pengaruh mereka untuk memajukan karier anggota keluarga sendiri. Kronisme terjadi ketika pemilihan atau promosi individu berdasarkan hubungan pribadi atau loyalitas politik. Teman dekat, kolega, atau anggota partai politik tertentu yang memiliki koneksi dengan pejabat kepolisian.
Kedua, suap dan gratifikasi. Calon anggota kepolisian menawarkan suap kepada pejabat yang bertanggung jawab atas rekrutmen atau promosi, berupa uang, hadiah, atau layanan lainnya. Sedangkan gratifikasi dalam proses penempatan yaitu pegawai yang ada memberikan gratifikasi kepada atasan mereka untuk mendapatkan penempatan yang diinginkan, seperti posisi yang lebih menguntungkan atau lokasi kerja yang lebih nyaman.
Ketiga, penyalahgunaan wewenang. Pejabat kepolisian mungkin menggunakan kekuasaan mereka untuk menempatkan staf di posisi tertentu yang bisa memberikan keuntungan ekonomi, seperti penempatan di unit yang sering berhubungan dengan pemberian izin atau kontrak.
Keempat, promosi untuk loyalitas. Promosi diberikan kepada mereka yang menunjukkan loyalitas politik atau pribadi kepada pejabat tertentu, bukan berdasarkan kinerja atau kompetensi.
Kelima, manipulasi proses rekrutmen. Proses seleksi bisa dimanipulasi untuk memastikan kandidat tertentu diterima, seperti dengan memberikan bocoran soal ujian atau menilai kandidat berdasarkan kriteria yang tidak objektif.
Keenam, penyeleksian tidak transparan. Kurangnya transparansi dalam proses rekrutmen dan promosi, sehingga keputusan diambil tanpa ada pengawasan atau akuntabilitas yang memadai.
Dampak negatif dari enam pola di atas sama. Yaitu kualitas dan kompetensi buruk karena diproses melalui mesin busuk. Kualitas dan profesionalisme kepolisian menurun. Efektivitas penegakan hukum dan pelayanan publik rendah. Tersebab fenomena itulah kepercayaan publik hilang, korupsi masif, nepotisme berbiak jamak dan kolusi menjadi persemaian bibit busuk di kebun para bajingan.
Maka praktik rent seeking menurunkan moral anggota kepolisian yang kompeten dan bekerja keras, tetapi tidak mendapatkan promosi atau penempatan yang layak karena adanya favoritisme dan korupsi.
Sudah tentu, praktik busuk sejenis bukanlah monopoli Indonesia. Di India, kasus suap dan favoritisme dalam rekrutmen kepolisian cukup umum. Kandidat seringkali harus membayar suap kepada pejabat yang bertanggung jawab atas rekrutmen atau promosi. Di Nigeria, nepotisme dan korupsi dalam kepolisian merupakan masalah serius. Pejabat tinggi seringkali menggunakan posisi mereka untuk menempatkan kerabat atau loyalis mereka di posisi yang menguntungkan.
Apa solusi?
Solusi umum ialah meningkatkan transparansi dan akuntabilitas proses rekrutmen dan promosi. Menggunakan sistem berbasis merit dan kinerja untuk memastikan bahwa hanya individu yang memenuhi syarat yang dipilih. Badan pengawas independen dilibatkan untuk memantau dan mengaudit proses rekrutmen dan promosi.
Memastikan setiap keputusan didokumentasikan dan dapat dipertanggungjawabkan. Memberikan sanksi yang tegas terhadap para rent seekers. Termasuk pemecatan, denda, atau penuntutan pidana.
Memberikan pelatihan dan pendidikan yang terus-menerus tentang etika dan integritas kepada seluruh anggota kepolisian. Menanamkan budaya integritas dan profesionalisme sejak dini.
Saya tahu dan sungguh sadar bahwa solusi yang ditawarkan ini amat sangat klasik dan cenderung normatif. Tetapi, satu hal pasti yang perlu saya sampaikan ialah ini: Tuhan tahu, tetapi Dia tidak menyahut. ***
Pius Rengka, Penulis Opini, Sumber : detakpasifik.com, 10 Juli 2024.