ADVERTISEMENT
google.com, pub-9566902757249236, DIRECT, f08c47fec0942fa0

Kotbah Minggu Biasa XVI /B-2024 : “Tempat Yang Sunyi”

Oleh : Germanus S. Atawuwur, Alumnus STFK Ledalero

Bacaan: Yer. 23:1-6 ; Ef. 2:13-18; Mrk. 6:30-34

WARTA-NUSANTARA.COM–Bapa, ibu, saudara, saudari yang terkasih, tentu masih terekam di memory kita kisah Markus beberapa minggu terakhir tentang hidup dan karya Yesus. Mula-mula Markus bercerita bahwa Yesus mulai mewartakan Kerajaan Allah di daerah Galilea, bangsa-Nya sendiri. Kemudian itu, Yesus menyeberang ke daerah Gerasa, perwakilan dari bangsa-bangsa non Yahudi. Di sana Yesus menyembuhkan orang-orang sakit dan memberitakan Kerajaan Allah. Sesudah itu, Dia dan murid-murid-Nya kembali.

google.com, pub-9566902757249236, DIRECT, f08c47fec0942fa0

Mereka hendak pulang ke kampung halaman mereka. Namun sebelum sampai di kampung Nazareth, di tengah jalan, Yesus masih diminta seorang kepala rumah ibadat untuk menyembuhkan putrinya yang hampir mati. Di tengah jalan, ada seorang yang sakit pendarahan berusaha sekuat tenaga untuk cukup menyentuh jubah Yesus. Dan dia yakin, dia pasti sembuh. Harapannya untuk sembuh pun menjadi kenyataan setelah dia berhasil menyentuh jumbai jubah Yesus. Namun sayang, sial bagi putri kepala rumah ibadat itu. Dia meninggal. Tetapi Yesus membangkitkan iman kepala rumah ibadat itu dengan berkata:” Putrimu hanya tertidur.” Yesus pun membangkitkan putrinya dari kematian.

Sesudah dua perbuatan ajaib yang dikerjakan dalam jangka waktu yang hampir bersamaan itu, Yesus dan murid-muridNya meneruskan perjalan ke Nasareth. Sebelum singgah di rumah orang tua Yesus, Yesus lebih dahulu mengajar di rumah ibadat. Orang-orang sekampung yang sudah mengenal Dia merasa begitu heran bahkan tak percaya. Dengan nada sinis mereka bertanya:” Dari mana Yesus memperoleh semua hikmat itu, padahal mereka sama seperti Yesus? Mereka pun menolak Dia.

RelatedPosts

Penolakan Yesus menjadi alasan Yesus mengubah srategi misi-Nya. Dulunya Dia selalu bersama-sama dengan murid-murid-Nya, kali ini Yesus melakukan hal yang  beda. Dia kemudian memberikan kuasa mengajar dan kuasa penyembuhan kepada para murid. Kemudian Dia mengutus mereka pergi berdua-dua dengan sejumlah larangan dan pesan. Yang hanya dibolehkan Yesus adalah mengenakan alas kaki. Alas kaki kemudian direfleksikan dan dikotbahkan minggu lalu, selain sebagai perjalanan misi untuk mewartakan Kerajaan Allah, tetapi juga menjadi perjalanan spiritual seseorang untuk berjumpa dengan Tuhan Sang Penyelenggara hidup dan kehidupan.

Saudara-saudaraku, perjalanan misi para rasul untuk mewartakan Kerajaan Allah seminggu yang lalu sebagaimana yang diperintahkan Yesus,  hari ini Markus menceritakan bahwa para rasul itu kembali untuk menyampaikan hasil misi mereka kepada Yesus.   “Kemudian rasul-rasul itu kembali berkumpul dengan Yesus dan memberitahukan kepada-Nya semua yang mereka kerjakan dan ajarkan.”

Yesus tentu mendengarkan laporan perjalanan misi mereka satu demi satu. Yesus tahu bahwa mereka pasti lelah. Karena itu mereka butuh waktu untuk “beristirahat.” Kemudian Yesus berkata kepada mereka: “Marilah ke tempat yang sunyi, supaya kita sendirian, dan beristirahatlah seketika!” 

Pertanyaan kita adalah, perlukah ke tempat yang sunyi? Mengapa harus ke tempat sunyi?Tentu perlu tempat yang sunyi supaya bisa “sendirian.” Bahkan harus ke tempat yang sunyi, supaya bisa beristirahat dengan tenang. Tetapi memang hanya sebatas demikian sajakah alasan untuk mencari tempat yang sunyi?

Tentu tidak!! Bila kita merefleksikan lebih dalam makna ajakan Yesus, marilah ke tempat yang sunyi, itu adalah ajakan metaforis, karena itu tentu bermakna teologis.

Maka, makna metaforis teologis dari ajakan ini adalah melakukan perjalanan spiritual untuk berjumpa dengan Sang Khalik. Namun perjalanan spiritual itu tentu harus memiliki dasar pijak yang kuat, karena pertama yang musti dilakukan adalah melakukan perjalanan kembali ke dalam diri sendiri. Perjalanan  kembali ke dalam diri sendiri, itu yang dinamakan introspeksi diri. Mengintrospeksi diri dalam keheningan jiwa untuk menjumpai terlebih dahulu dengan diri kita dengan menjawab sebuah pertanyaan besar:” Siapakah aku di hadapan Tuhan? Apa kehendak Tuhan yang harus saya lakukan”  

Perjalanan itu adalah perjalanan privat yang bersifat teologis maka butuh tempat sunyi. Tempat sunyi menghadirkan ketenangan diri. Lalu menciptakan kesunyian jiwa. Karena itulah maka di tempat sunyi itu Yesus hendak mengajak murid-murid-Nya untuk “berjalan kembali ke dalam dirinya sendiri.”  Berjalan kembali ke dalam diri untuk merefleksikan segala sepak terjang karya kerasulan yang sudah dilaksanakan selama Yesus memberikan kuasa pengajaran dan kuasa ketabiban  kepada mereka. Para rasul kemudian berjalan masuk ke dalam diri untuk melakukan introspeksi diri, sudahkah mereka melaksanakan karya kerasulan mereka seturut kehendak Yesus Guru dan Tuhan mereka, atau malah melenceng?

Sampai di sini, saya teringat akan tulisan Pastor Paul Glinn, SM dalam bukunya A Song For Nagasaki, beliau menulis:” Perjalanan ke dalam diri sendiri adalah perjalanan menyenangkan tetapi juga menjadi perjalanan yang tidak menyenangkan. Perjalanan kembali ke dalam diri menjadi perjalanan yang sangat menyenangkan karena kita akan berjumpa dengan segala keberhasilan dan kesuksesan dalam berbagai aspek kehidupan, kita kembali terkenang akan canda dan tawa bersama dengan orang-orang kekasih kita, kita menemukan kembali harapan-harapan yang merekah,  dan sebagainya.  Perjalanan ini juga menjadi begitu menarik karena dengan ini kita akan memperoleh inspirasi dan seketika mendapat kekuatan untuk membaharui motivasi hidup serta serentak merevisi strategi kerja. Selanjutnya, perjalanan kembali ke dalam diri sendiri menjadi perjalanan yang sangat tidak menyenangkan dan bahkan sangat menakutkan karena kita akan berjumpa dengan cacat celah, khilaf keliru, noda dan dosa yang sempat mewarnai perjalanan hidup kita.  

Lalu, apakah ajakan Yesus marilah ke tempat yang sunyi, masih relevan untuk kita yang super sibuk karena terjerembab dalam prinsip time is money? Atau pertanyaan malah lebih ekstrim,  ketika kita sedang sibuk mengejar kuasa, harta , pangkat dan jabatan, apakah kita perlu juga tempat sunyi untuk beristirahat? Apakah kita butuh tempat yang sunyi untuk sendirian?  

Ansy Lema, Calon Gubernut NTT

Apapun kesibukan kita, kita tentu butuh tempat yang sunyi untuk menepi sebentar. Menepi untuk menghening. Menepi untuk saat teduh. Saat untuk berjalan kembali menjumpai Sang Khalik, tetapi menjadi moment untuk berjalan kembali ke dalam diri untuk berjumpa dengan inspirasi baru dalam tugas pelayanan kita. Bila kita telah menemukan inspirasi untuk melayani sesama, maka Yesus telah memberikan contoh itu. Dia telah peduli dengan orang yang begitu banyak yang mengambil jalan pintas untuk menjumpai Yesus. Yesus tidak memarahi mereka. Tetapi sebaliknya, tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka seperti domba yang tidak mempunyai gembala. Lalu mulailah Ia mengajarkan banyak hal kepada mereka. ***

Related Posts

Next Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *