Oleh : Thomas B.Ataladjar)*
WARTA-NUSANTARA.COM–Frans Seda dikenal sebagai Pejuang Kemerdekaan, ahli ekonomi, menteri berkali-kali. Ia juga dikenal sebagai politikus kawakan, pengamat politik, tokoh nasional, tokoh gereja Katolik, tokoh pers, tokoh pendidikan dan pengusaha Indonesia. Setelah Perang Kemerdekaan dan tamat dari HBS Surabaya, Frans Seda melanjutkan studi ekonomi di Katolieke Economische Hogeschool, Tilburg, Belanda (1950-1956) dan lulus sebagai sarjana ekonomi pada tahun 1956.
Sejak 1963, Frans Seda tampil sebagai tokoh nasional yang dipercaya selama tiga zaman yakni sebagai menteri era Orde Lama dan Orde Baru, hingga penasihat presiden di era Reformasi. Dalam pemerintahan, Frans Seda pernah menjabat sebagai Menteri Perkebunan dalam Kabinet Kerja IV (1963-1964), Menteri Keuangan Kabinet Ampera I dan II (1966-1968), serta Menteri Perhubungan dan Pariwisata Kabinet Pembangunan I (1968-1973).
Sederet jabatan penting negara pernah diemban Drs.Frans Seda seperti, Duta Besar RI untuk Belgia dan Luksemburg di Brussel. Kepala Perwakilan Indonesia Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) pada 1973-1976, anggota Dewan Pertimbangan Agung Republik Indonesia (1976-1978), anggota Dewan Penasihat Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia (DP-KTI) di bawah pimpinan Presiden Soeharto kemudian dilanjutkan oleh Presiden B.J. Habibie (1996).
Tak kurang Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa Frans Seda adalah nasionalis tulen berwawasan internasional. Beliau adalah generasi teknokrat pertama Indonesia yang turut membangun fondasi perekonomian dan keuangan negara.
Dalam dua tahun belakangan ini, Drs.Frans Seda tengah diperjuangkan untuk bisa memperoleh gelar sebagai Pahlawan Nasional. Beliau layak memperolehnya.
2023 Naskah Akademik Frans Seda, 2023 Biografi Herman Yoseph Fernandez
Tahun 2023 merupakan tahun yang punya arti khusus bagi saya berkaitan dengan kedua tokoh ini, Frans Seda dan Herman Yoseph Fernandez. Betapa tidak.Saya bersyukur, karena dalam proses pengusulan gelar Pahlawan Nasional bagi Frans Seda, saya terlibat dengan turut menulis dua topik untuk naskah akademiknya. Pertama, berjudul “Kiprah Frans Seda sebagai Menteri Perkebunan”. Kedua, judulnya “Kiprah Frans Seda sebagai Menteri Perhubungan”. Sebagai bahan referensi untuk penulisan naskah akademik ini, panitia membekali kami masing-masing penulis dengan sebanyak 6 buku tentang Frans Seda. Kedua naskah akademik tersebut langsung di kirim ke panitia. Kita tetap berharap semoga dalam tahun 2024 ini, Frans Seda tokoh nasional asal Flores ini, terus diperjuangkan agar dapat dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional yang layak beliau peroleh.
Pada tahun 2023 yang sama, tepatnya 26 Agustus 2023, saya diminta untuk meneliti dan menulis biografi perjuangan Herman Yoseph Fernandez yang adalah teman sekola dan teman seperjuangan Frans Seda sendiri. Saya sungguh kaget. Buku-buku referensi tentang Frans Seda yang kami gunakan untuk menulis naskah akademik Frans Seda, ternyata sangat membantu saya dalam menulis biografi Herman Yoseph Fernandez. Lewat metode penelitian ”historical research” baik penelitian lapangan, penelitian kepustakaan, wawancara serta observasi yang dilakukan, termasuk dari buku-buku tentang Frans Seda tersebut, akhirnya bisa diketahui dengan jelas, betapa dekatnya hubungan Frans Seda dengan Herman Yoseph Fernandez dalam suka dan duka perjuangan hidup maupun perjuangan bela negara. Kami peroleh sejumlah catatan berharga. Antara lain bahwa sekira 67 tahun silam tepatnya tahun 1957, Frans Seda telah tampil sebagai orang pertama yang berinisiatip memperjuangkan ke pihak pemerintah RI, agar teman seperjuangannya Herman Yoseph Fernandez bisa menjadi Pahlawan.
Muncul sederet pertanyaan. Apa dasar pertimbangan Frans Seda mau memperjuangkan agar Herman Yoseph Fernandez jadi pahlawan? Bagaimana bobot kedekatan kedua putra asal Flores ini? Nilai-nilai dominan apa yang melekat pada Herman Yoseph Fernandez sehingga Frans Seda mau memperjuangkannya menjadi pahlawan ? Apa yang melatar-belakangi langkah Frans Seda ini, bahkan sampai mengumpulkan teman-temannya se alma mater Hollandsche Indische Kweekschool ( HIK), Van Lith Muntilan, untuk membuat patung dan monumen Herman Yoseph Fernandez di Larantuka 1988 ? Untuk memahami hal ini, mari coba kita telusuri rekam jejak , latar belakang, faktor-faktor pendukung serta bobot kedekatan kedua sosok Frans Seda dan Herman Yoseph Fernandez ini.
Frans Seda dan Herman Yoseph Fernandez Teman Sekolah, Teman Seperjuangan.
Sejak sekolah di Schakelschool di Ende, Frans Seda dan Herman Yoseph Fernandez sudah saling kenal. Keduanya memiliki sejumlah kesamaan. Sama-sama dari keluarga katolik yang taat dan mencintai pendidikan. Herman Yoseph Fernandez lahir di Ndona, Ende 3 Juni 1925. Frans Seda lahir pada 4 Oktober 1926 di desa Bhera, Nangablo-Lekebai, Kecamatan Mego, Kabupaten Sikka. Keduanya sama-sama anak guru. Ayah Frans Seda, Paulus Setu Seda, kepala Sekolah Rakyat (SR) lulusan Normaalschool (Sekolah Pendidikan Guru) Woloan, dekat Tomohon-Manado. Ibunya Maria Sipi Soa Seda, ibu rumah tangga. Sementara ayah dari Herman Yoseph Fernandez, Marcus Suban Fernandez juga lulusan sekolah guru di Tomohon. Ia kemudian dikirim oleh misi Larantuka untuk membuka sekolah di Ende. Ibu Herman Yoseph Fernandez, Fransisca Theresia Pransa Carvallo Kolin, juga guru yang juga aktif di bidang kesehatan.
Frans Seda adalah anak pertama dari tujuh bersaudara. Adik-adiknya adalah Yoseph Soa Seda, Henny Seda, Rince Seda, Alexander Sega, Bonifasius Bedo Seda dan Skolastika. Sementara Herman Yoseph Fernandez, adalah anak ke 4 dari 12 bersaudara. Kakak adiknya berturut-turut adalah Sinyo Fernandez, Edmon Fernandez, Philomena Fernandez (Dra.Suster Emilia Fernandez, biarawati Ursulin di Jakarta), Herman Yosef Fernandez, Yeremias Fernandez, Anton Fernandez, Yosef Fernandez, M.Bernadeth Fernandez, Henricus Fernandez, Anna Fernandez, Nicholaus Fernandez, dan M.Grice Fernandez. Baik keluarga Frans Seda maupun keluarga Herman Yoseph Fernandez, dekat dengan misi katolik, juga dekat dengan penguasa atau raja di zamannya. Paman Frans Seda, Pisu Sega Seda, adalah seorang kapitan di Lekebai.
Frans Seda kecil dikenal sebagai anak yang cerdas dan berani. Sementara Herman Yoseph Fernandez, masa kecilnya dikenal sebagai anak pendiam namun cekatan, pemberani, berkemauan keras, gemar bertualang menjelajahi gunung, bukit, hutan dan lembah. Ia mahir memainkan katepel memburu burung di hutan. Kepiawaiannya membidik sasaran ini, merupakan warisan dari sang ayah Markus Suban Fernandez, punggawa raja Larantuka, mahir dalam menggunakan bedil. Sementara di Ende, keluarga Markus Suban Fernandez juga dekat dengan raja Aroeboesman.
Kenal Bung Karno Sejak di Ende
Sejak 1934 sampai 1938, Bung Karno diasingkan ke Ende oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Ia memboyong keluarganya Inggit Ganarsih istrinya, ibu Amsih mertuanya, anak angkatnya Ratna Djuami, serta dua pembantunya Huhasan dan Bi Karmini. Kemudian menyusul Abdul Hadi (Asmara Hadi) yang kelak jadi suami Ratna Djuami.
Thomas B.Ataladjar dalam tulisannya di majalah Sinar Lewotana, Jakarta edisi Agustus 2005 berjudul “Di Ende Bung Karno Pernah Jadi Papalele” menulis bahwa saat menjalani masa pembuanganya di Ende, Bung Karno memperoleh tunjangan dari Pemerintah Hindia Belanda hanya sebesar 150 gulden per bulan. Tunjangan ini hanya cukup untuk biaya makan sekeluarga selama sebulan ditambah sedikit untuk pembiayaan tonilnya. Untuk mendapatkan biaya tambahan hidup keluarga, Bung Karno menjadi papalele alias pedagang keliling, menjual bahan kain yang diperolehnya dari sebuah toko tekstil di Bandung. Jika kain yang dijual masih tersisa, Bu Inggit mengajak ibunya Herman Yoseph Fernandes, ibu Fransisca Theresia Pransa Carvallho Kolin melelang kain dan batik tersebut dengan harga yang tidak terlalu mahal.
Ir. Soekarno dan Inggit Ganarsih istrinya serta keluarga di Rumah Pengasingan di Ende Flores, NTT. Bung Karno teman main bola sodok Guru Markus.Ibu Fransisca Theresia Pransa Carvallho Kolin langganan kain Ibu Inggit Ganarsih. /Dok. Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya
Di Ende, Bung Karno dan Guru Markus Suban Fernandez adalah teman main bola sodok ( bilyar). Namun suatu saat Belanda melarang Guru Markus, tidak boleh lagi main sama Bung Karno, karena Bung Karno itu adalah tahanan politik. Saat itu Guru Markus sama sekali belum tahu siapa sebenarnya Soekarno itu. Juga tak pembayangkan bahwa teman main bola sodoknya itu, kemudian menjadi presiden pertama Republik Indonesia.
Frans Seda Sambut Bung Karno Dengan Pidato Penyambutan
Frans Seda dan Herman Yoseph Fernandez adalah teman sekolah di Schakelschool (Sekolah Rakyat) di Ende bersama Willem Wowor. Pada tahun 1936, saat berusia 9-10 tahun dan baru duduk di kelas dua Schakel School, mereka berkenalan dengan Bung Karno yang berniat mengunjungi sekolahnya. Dikisahkan bahwa pada suatu hari sekolah Schakel School akan kedatangan seorang tamu penting bernama Bung Karno. Pastor kepala sekolah menjelaskan bahwa tamu yang berkunjung adalah seorang buangan politik dari Jawa, musuh pemerintah Belanda. Ia seorang pejuang kemerdekaan. Orangnya pintar sekali dan ia berteman dekat dengan para pastor di misi Katolik Ende.
Guna menjemput kedatangan Bung Karno ke Schakel School, Frans Seda didapuk dan ditugaskan gurunya mewakili murid schakel School menyambut tamu penting itu. Namun Bung Karno dilarang memasuki ruangan kelas. Maka Frans Seda yang keluar dari kelas dan di luar dekat jendela di hadapan Soekarno, Frans Seda dan menyampaikan pidato penjemputannya, dalam bahasa Belanda yang fasih. Bung Karno memuji si kecil Frans Seda dengan kata-kata, “bagus … ,bagus …. dengan bahasa Belanda, sambil menanyakan nama dan kampung asal Frans Seda.
Kisah ini dipertegas dalam buku Putra Nusa Bunga & Wastra NTT Mengenang Sosok Frans Seda hal 44-46 ditulis bahwa Ketika duduk di kelas 2 SR, Frans Seda yang sudah pandai berbahasa Belanda diminta oleh sekolahnya untuk mempersiapkan diri untuk berpidato dalam Bahasa Belanda. Sekolah akan menyambut kunjungan Soekarno yang sedang dibuang di Ende saat itu. Dalam kunjungan ke sekolah itu,Bung Karno terkesan dngan penampilan seorang anak bertubuh kecil tapi cerdas, anggota keluarga kapitan dari Maumere. Soekarno terpukau mendengar kata sambutan spontan murid tersebut yang disampaikan dalam Bahasa Belanda yang sempurna dan isinya berbobot.
Perjumpaan pertama Frans Seda dengan Ir Soekarno ini, membuat Soekarno kagum dan mengingat dirinya, ketika kembali bertemu di Jogjakarta pada 1946, tatkala Frans Seda bergabung sebagai tentara pelajar. Juga menorehkan kesan mendalam yang mempengaruhi perjalanan hidup dan karier Frans Seda selanjutnya.
Naik Kapal Hewan ‘Waikelo” Sekolah Guru Ke Tanah Jawa
Dalam bulan Agustus 1941, Frans Seda, Herman Yoseph Fernandez, Willem Wowor dan Silvester Fernandez menumpang kapal hewan “Waikelo” meninggalkan kota Ende malam hari menuju Surabaya. Mereka menempati kelas 3 di dek kapal, tidur di palka dan antri makan nasi merah serta ikan asin. Di atas kapal mereka bertemu dengan seorang gadis asal Maumere, Nona Helena Parera yang juga hendak ke Surabaya. Helena kemudian menjadi istri Bupati Sikka, Laurens Say.
Saat tiba di pelabuhan Ampenan, Lombok malam hari, mereka dikejutkan komando stuurman kapal. “Hier moeten koeien staan!” katanya. ”Weg van hier”! Di sini tempat untuk sapi, minggir dari sini!. Herman dan teman-temannya termasuk Helena harus pindah dari situ mencari tempat lain, karena di palka itu akan ditempatkan sapi yang akan dikirim ke Surabaya. Pada hari ke-empat Agustus 1941 subuh, kapal KPM “Waikelo” berlabuh di Surabaya. Helena dijemput keluarganya ke Semarang.
Untung Ada Timorees Soldat dan Siman
Saat turun dari kapal, muncul masalah baru bagi keempat remaja asal Flores ini Herman, Frans, Wowor dan Silvester. Baru pertama kali ini mereka injak Tanah Jawa. Mereka bingung tidak tahu, bagaimana bisa sampai ke Muntilan. Dalam kebingungan, datang seorang tentara asal Timor (Timorees Soldaat) berpangkat kopral yang mau ke Ambarawa. Tahu bahwa mereka mau ke Muntilan serdadu Timor itu menawarkan keempat anak Flores ini untuk naik satu taksi lewat rumahnya di Ambarawa. Karena hari sudah malam, mereka terpaksa harus nginap beberapa hari di Ambarawa sebelum naik kereta api ke Muntilan. Saat tiba di Muntilan, ternyata sekolah masih liburan. Gerbang asrama Xaverius College, Muntilan, belum dibuka dan siswa belum diizinkan masuk. Untung ada seorang senior di asrama Muntilan yang disapa Siman, ditunjuk untuk menghantar keempatnya ke sebuah keluarga Katolik di Bintaran, Yogya, selama liburan. Nama lengkap Siman adalah Cornel Simanjuntak asal Batak. Ia kemudian menjadi seorang komponis besar nasional pencipta lagu-lagu perjuangan seperti Maju Tak Gentar dan lain-lain.
Semai Keindonesiaan Pupuk Embrio Nasionalisme di Sekolah Muntilan
Usai liburan sekolah, Herman Yoseph Fernandez, Willem Wowor, Frans Seda dan Silvester Fernandez mulai belajar di Holandsche Indische Kweekschool (HIK) di kompleks Kolese Xaverius Van Lith Muntilan untuk menjadi guru. Kolese Xaverius Van Lith sekolah berasrama berkelas dan bergengsi ini didirikan oleh Pastor Fransiskus Georgius Josephus Van Lith, SJ dan diasuh oleh romo Ordo Yesuit.
Herman Fernandez dan Frans seda. Syl.Fernandez
Teman kelas mereka Frans Seda antara lain Yosaphat Sudarso yang kemudian menjadi Komodor Laut dan Pahlawan Nasional. Juga Antonius Josef Witono Sarsanto, yang kemudian jadi pangkowilhan dan duta besar. Siswa HIK , Van Lith Muntilan usianya berkisar antara 14-20 tahun, berasal dari berbagai daerah dan etnis di Indonesia. Seperti Flores, Batak, Ambon, Manado dan Jawa. Mereka membawa serta sifat, sikap, perilaku dan kebiasaan etnis khasnya.
Secara perlahan wawasan kebangsaan mereka mulai terbuka lebar. Sementara hidup di antara sejumlah guru yang adalah pastor asal Belanda, semakin memperkaya wawasan globalnya. Semuanya ini jelas mempengaruhi pola pikir yang semula Flores sentris misalnya, berubah menjadi Indonesia sentris.
Hidup di kompleks sekolah berasrama atau internaat school Muntilan ini, karakter mereka dibentuk. Nilai-nilai kedisiplinan ditanam kuat. Semua siswa belajar sambil menyemai ke-Indonesiaan sekaligus menumbuh-kembangkan embrio nasionalisme di sekolah Van Lith ini.
Kompleks Colese Muntilan dulu.
Di sini akhirnya terpupuk rasa kesetiakawanan, rasa sepenanggungan, disiplin, semangat toleransi dan spirit saling berbagi yang kuat dan hidup dalam suasana tertib rapih dan disiplin baja. Semua ini menjadi awal dari pembinaan peri hidup nasional yang berbhineka tunggal Ika.
Pastor Van Lith berpendapat bahwa pendidikan yang baik, sangat bergantung pada kualitas guru. Maka sekolah guru yang dibangunnya untuk mendidik guru-guru yang berkualitas. Para siswa disediakan kurikulum serta mata pelajaran berkualitas. Semuanya diarahkan untuk menghasilkan insan yang terdidik otaknya, wataknya, mentalnya dan spiritualnya. Sekolah HIK Van Lith Muntilan juga menerapkan pendidikan mental bagi siswanya. Siswa digembleng kedisiplinan, kejujuran, kesederhanaan, pengabdian tanpa pamrih, militansi, spiritualitas, toleransi, nasionalisme dan kristianitas.
Fernandez dan Frans Seda Anggota Orkes Simfoni Muntilan
Di HIK Xaverius College Muntilan, pendidikan musik wajib bagi siswanya. Siswa wajib menguasai salah satu instrumen musik yang ada. Kolese Muntilan menyediakan aneka alat musik, baik untuk latihan maupun untuk pagelaran Orkes Simfoni Muntilan. Antara lain biola, cello, kontrabas, suling, hobo, clarinet, trompet, corno, tuba serta perkusi lainnya yang ditabuh, dipukul, digoyang, digesek atau tindakan lainnya yang dapat membuat getaran pada alat tersebut. Pelatih musiknya antara lain R.A.J. Sujasmin, Romo Schuten,SJ. Siswa harus menguasai dan lancar membaca notenbalk (not balok). Musik yang diperkenankan di kolese Muntilan adalah musik Barat, yang lain tabu.
Kenapa musik demikian sentral dan dominan di Kolese Muntilan? Pertama, pendidikan musik merupakan dasar dari pendidikan estetika dan melengkapi kepekaan jiwa akan sesuatu yang indah, serasi dan intim. Kedua, karena pelajaran musik merupakan vak kulikuler yang ada di semua tingkat dan jenjang pendidikan. Tak heran semua anak Muntilan musikal. Musik mendorong kreativitas siswa dan menggugah atau menggetarkan jiwa yang paling dalam.
Selain pendidikan musik klasik, juga diselenggarakan pendidikan ekstra kurikuler secara intensif. Menurut peraturan sekolah, siswa yang mendapat nilai tujuh bahasa Belanda, harus bisa memainkan dua instrumen musik. Satu instrumen dasar (wajib), satunya pilihan. Frans Seda dan Herman Yoseph Fernandez termasuk yang fasih berbahasa Belanda. Maka untuk Frans Seda ditetapkan harmonium sebagai instrumen wajib, dan viol sebagai pilihannya. Herman Yoseph Fernandez mahir sebagai peniup obo (semacam terompet). Kolese Muntilan juga memiliki Orkes Simfoni Muntilan yang baik dan lengkap beranggotakan 60 orang. Herman Fernandez dan Frans Seda yang fasih berbahasa Belanda dan menguasai dua jenis alat musik, terpilih bergabung dalam Orkes Simfoni Muntilan bersama sejumlah musisi kondang seperti R.A.J. Sujasmin, Cornel Simanjuntak, Liberty Manik, Binsar Sitompul, Suwandi dan lain-lain.
Frans Seda, pernah berlatih alat-musik pukul untuk bergabung dalam Orkes Simponi Muntilan, Karya Schubert “Unvollendete Simphonie h-moll” (simphoni yang tidak pernah rampung bergema, terjemahan simbolis Frans Seda) pernah dia mainkan bersama rekan-rekan seasrama seperti Cornel Simanjuntak, Binsar Sitompul, Liberty Manik, Yos Sudarso, Jan Frederick, A.Y.Witono, dipimpin oleh R.A.J. Soejasmin. (Ad Multos Annos hal 15 : Sekapur Sirih, Frans Meak Parera). Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia, kalau ingin mendengar orkestra, dia datang ke Muntilan.
Lima Nilai Utama Warisan Van Lith
Rangkaian pendidikan yang diterima dan dijalani siswa HIK Muntilan baik dalam bidang akademik, non-akademik, maupun pendidikan karakter, diharapkan ke depannya siswa dapat menjadi “agen peradaban” yang mampu membentuk suatu peradaban baik dalam ranah keluarga, gereja, bahkan bangsa. Mereka dapat menjadi agen penting untuk mentransfer nilai-nilai Katolisitas serta peradaban bagi generasi selanjutnya. Dengan demikian siswa akhirnya tampil sebagai insan yang terdidik otaknya, mental, watak dan spiritualnya, sehingga berguna bagi tanah air, gereja dan masyarakat.
Sekolah Van Lith Muntilan tumbuh dan berkembang menjadi lembaga pendidikan yang bukan sekadar mengasah intelektualitas, tapi juga membentuk karakter para siswa, agar sungguh menjadi insan yang utuh sekaligus memiliki iman yang tangguh dan mendalam, guna mengemban perutusan Gereja di tengah masyarakat modern dan plural.
Kepada semua siswanya diwariskan lima nilai utama yaitu mengasah ketajaman peserta didik agar mereka memiliki pribadi yang Kristiani, unggul, cerdas, visioner, dan peduli. Kelima nilai utama tersebut sampai sekarang masih tetap aktual dan dikemas dalam tiga unsur utama yaitu pendidikan yang mendasarkan pada pendidikan karakter, literasi, dan kompetensi.
Empat Pahlawan Indonesia Sentuhan Van Lith
Patut dicatat bahwa Sekolah Van Lith ini telah menghasilkan empat Pahlawan Nasional. Mereka adalah: Laksamana Muda Yosaphat Soedarso , Mgr.Soegijapranoto SJ, Ignatius Joseph Kasimo Hendrowahyono dan Cornel Simanjuntak.
Laksamana Muda Yos Soedarso , Mgr.Soegijapranoto SJ, Ignatius Joseph Kasimo Hendrowahyono Cornel Simanjuntak.
HIK Muntilan Ditutup Selamanya . Tolak Jadi Seinendan dan Keibodan
Alex Rumambi dalam buku Frans Seda Ad Multos Annos hal 22 antara lain menuturkan bahwa Ketika Belanda menyerah kepada Jepang, Colege ini tutup Jepang. Semua siswa dipulangkan, kecuali kurang lebih 50 siswa dari luar Jawa, yang kemudian dikenal dengan nama achterblijjvers. Namun achterblijjvers ini juga harus angkat kaki mencari jalan sendiri-sendiri dengan diberi sangu sepuluh gulden.
Herman Fernandes, Frans Seda, Alex Rumambi dan teman-temannya yang berasal dari luar Jawa, diangkut oleh serdadu Dai Nipon ke Metroyudan, bangunan seminari Katolik yang sudah lebih dahulu diduduki Jepang. Jepang merencanakan melatih mereka semua menjadi Seinendan dan Keiboden. Namun semuanya menolak dengan tegas rencana Jepang tersebut. Sikap tegas penolakan mereka beralasan. Jepang telah menjadi biang kerok sekolah mereka ditutup dan cita-cita mereka jadi guru berantakan. Apalagi sekarang Jepang tampil sebagai sebagai penjajah baru.
Akhirnya diam-diam mereka menumpang kereta api ke Yogyakarta dan sempat hidup terlunta-lunta. Setelah ketemu pastor, mereka ditempatkan di sebuah keluarga Katolik di Kerkhoflaan, Yogya. Di Yogya mereka menjadi pengangguran yang coba bertahan hidup dengan uang saku 10 gulden di kantong pemberian pastor Jesuit dari Muntilan. Merasa tak mungkin hidup terus seperti itu, mereka mulai berpencar mencari hidup masing-masing. Frans Seda memutuskan kembali ke Magelang. Ia tinggal di rumah seorang guru di JL.Boton II, membantu menyapu, cuci piring dan sebagainya. Yang penting bisa dapat makan dan tempat pemondokan buat tidur. Namun Frans Seda kemudian kembali ke Yogya dan tinggal di Gedung KSB di Jl.Krasak, Kota Baru. Teman mereka asal Batak seperti Binsar Sitompul dan Olin Simatupang terpaksa menjadi opas bui (penjara) di Solo.
Herman Fernandez , Alex Rumambi dan Tan Malaka Romusha di Tambang Batubara Bayah
Menghadapi kondisi ekonomi yang serba sulit saat itu, Herman Fernandez dan Alex Rumambi memutuskan untuk bekerja sebagai buruh tambang batubara di Bayah, Banten Selatan.
Ilyas Husein (Tan Malaka) Herman Yoseph Fernandez Alex Rumambi
Di tambang Bayah ini Herman Fernandez dan Alex Rumambi jadi anak buah Tan Malaka yang menyamar dengan nama samaran Iljas Husyen. Dalam posisi, jabatan, serta wewenang yang besar sebagai pengawas romusha, Tan Malaka memperbaiki pola rekruit tenaga baik sebagai romusha maupun sebagai pegawai pertambangan. Dua bagian ini berbeda tugas, fungsi serta perannya. Tan Malaka memperhatikan latar belakang pendidikan, pengalaman dan kemampuan bahkan kondisi fisik yang dimiliki setiap calon.
Herman Fernandez dan Alex Rumambi, memiliki sejumlah kesamaan dengan Tan Malaka. Mereka sama-sama berasal dari luar Jawa. Sama-sama orang terdidik otak, mental dan wataknya. Sama-sama dididik oleh orang Belanda dan di sekolah Belanda. Tan Malaka bahkan sampai sekolah di Belanda. Sementara Herman Fernandez dan Alex Rumambi siswa Hollandsche Indische Kweekschool ( HIK) Van Lith, Muntilan yang bergengsi zaman itu. Ketiganya fasih berbahasa Belanda. Herman Fernandez dan Alex Rumambi di Xaverius College, Muntilan dididik, digembleng dengan disiplin yang sangat ketat menjadi insan Indonesia yang nasionalis, militan, patriotik, toleran dan humanis. Tan Malaka pun dididik dan ditempa pengalaman hidup yang mirip, yang membuat mereka menjadi sosok dengan intelektualitas tinggi, mandiri dan bertanggung jawab.
Dengan modal pendidikan, kemampuan dan pengalaman yang mereka miliki, memudahan Herman Fernandez dan Alex Rumambi untuk saling berkomunikasi dengan tokoh pergerakan nasional sekaliber Tan Malaka yang sangat berpengaruh di Bayah. Dan ketiganya sama-sama anti penjajah, karena sudah pernah mengalami pahit getirnya penjajahan. Bahkan bukan tidak mungkin bahwa idealisme dan pemikiran Tan Malaka selaku tokoh pergerakan turut mempengaruhi juga keduanya, terutama dalam soal bela negara. Buktinya, sekembalinya dari Bayah ke Yogya, keduanya langsung terjun dan terlibat langsung ke dalam bara api revolusi. Keduanya ikut berjuang dan bertempur melawan Belanda, yang mau menjajah kembali Indonesia.
Semua faktor ini memungkinkan Herman Fernandez dan Alex Rumambi memperoleh posisi yang baik sebagai pegawai pertambangan dengan gaji yang lebih baik, ketimbang pekerja romusha umumnya. Dengan upah dan pendapatan keduanya yang lebih baik ini, memungkinkan mereka untuk menyisihkan sebahagian dari upahnya untuk berbagi kasih dengan kawan-kawannya di Yogya.
Surat Cinta dari Bayah, Kirim Uang Biayai Hidup dan Sekolah Teman Lewat Pastor
Surat cinta dari Bayah, memperkuat hal ini. Semangat berbagi dan kesetiakawanan ini terbukti diwujudkan. Herman Fernandez dan Alex Rumambi membantu biaya hidup dan sekolah kawan-kawannya di Yogya.
Suatu hari, Frans Seda yang sedang di Yogya menerima sepucuk surat dari pertambangan batu bara Bayah, berbunyi sebagai berikut: ”Kami kawan-kawanmu yang sudah mendapat pekerjaan di sini, telah bersepakat bahwa kami akan menyisihkan sebagian dari upah kami untuk menopang hidup kamu, yang akan dikirim melalui pastoran. Jadi kamu cukup pikir belajar, studi.”
Uang kiriman pertama kami pergunakan untuk membangun sebuah rumah di atas sebidang tanah kosong di daerah Pingit, di belakang pabrik es Petojo. Lantainya tanah, dindingnya gedek dan karton, atapnya genteng murahan. Bahan bangunannya dikumpul dari tempat di mana orang sedang mendirikan bangunan. Pokoknya punya rumah sendiri, agar bisa belajar lebih bebas dan sebagai penginapan, kalau kawan-kawan dari Bayah atau Solo atau dari luar kota lainnya datang menginap. ( Frans Seda Simfoni Tanpa Henti, Penerbit Grasido 1992, hal.13).
Ada semacam kesepakatan di antara mereka, bahwa yang besar-besar seperti Herman Fernandez, Alex Rumambi kerja mencari uang. Sedangkan yang kecil-kecil seperti Frans Seda, Cornel Simanjuntak dan lain-lain, supaya terus bersekolah.
Tanah Air Memanggil, Tan Malaka ke Jakarta, Herman Fernandez Kembali ke Yogya
Pada 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Namun seiring dengan itu, NICA ( Netherlands Indies Civil Administrations) atau Pemerintahan Sipil Hindia Belanda yang membonceng pasukan Sekutu pada September 1945, ingin kembali menguasai Indonesia.
Menghadapi situasi negara yang baru lahir itu mau dijajah kembali,Tan Malaka memutuskan kemBali ke Jakarta, bergabung dengan tokoh pergerakan lainnya. Ia termasuk salah satu tokoh penting yang pada 19 September 1945 bergerak di bawah tanah ikut menggerakan pemuda dan menggiring massa menghadiri rapat Raksasa di Lapangan Ikada yang terkenal itu. Sementara Herman Fernandez dan Alex Rumambi memutuskan untuk kembali ke Yogya langsung bergabung kembali bersama kawan-kawannya dalam sejumlah organisasi perjuangan seperti KRIS, (Kebangkitan Rakyat Indonesia Sulawesi), kemudian bergabung dengan GRISK ( Gerakan Repunlik Indonesia Sunda Ketjil) yang terkenal dengan Batalyon Paraja atau Batalyon Timornya. Kemudian ikut terjun ke dalam bara api revolusi ikut bertempur untuk mempertahankan kedaulatan negara NKRI yang baru berumur satu bulan ini.
Pejuang Sunda Kecil dan Batalion Timor Ikut Berjuang Bela Negara
Setibanya di Yogya dari Bayah, Herman Fernandez lalu bergabung lagi dengan kawan-kawannya Frans Seda, Wilem Wowor, Silvester Fernandez dan Dion Lamury, tinggal bersama di asrama Jl.Djetis 20. Dari sini mereka mulai ikut revolusi. Bersama teman-temannya yang tergolong masih muda, terbakar oleh api revolusi. Ketika pecah Revolusi Kemerdekaan di tahun 1945, mereka bangkit membela tanah airnya mempertahankan kemerdekaan RI, yang mau di obok-obok kembali oleh Belanda.
Mereka bergabung dalam sejumlah organisasi perjuangan rakyat saat itu. Ada yang bergabung dalam KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi). Ada PERPIS (Persatuan Pelajar Indonesia Sulawesi) dan ada juga Pemuda Nusantara. Setelah GRISK (Gerakan Rakyat Indonesia Sunda Kecil) didirikan oleh Letkol I Gusti Ngrah Rai di Bali, di Yogya juga dibentuk GRISK (Gerakan Rakyat Indonesia Sunda Kecill yang dipimpin oleh Herman Johannes (28 Mei 1912 – 17 Oktober 1992) sebagai ketuanya dan Frans Seda sebagai bendahara. Prof. Dr. Ir. Herman Johannes kemudian dikenal sebagai cendekiawan, politikus, ilmuwan Indonesia, guru besar Universitas Gadjah Mada, dan Pahlawan Nasional Indonesia.
Prof. Dr. Ir. YohanesFrans Seda Herman Yoseph Fernandez
Ishak Rohi Lobo. Amos Pah, Laurens Say El Tari
Para pemuda pelajar asal Flores, Sumba, Sabu, Rote dan Timor di Yogya, diorganisasikan dalam kelompok perjuangan GRISK untuk mempertahankan kemerdekaan RI. Grisk ini memiliki sayap militan yang terkenal dengan nama Laskar Sunda Kecil/Batalion Paradja atau Batalion Timor . Komandannya Ishak Rohi Lobo. Para perwiranya antara lain Prof. Dr Ir. Herman Johannes, Frans Seda, Amos Pah, El Tari, Is Tibuludji, Herman Yoseph Fernandez, Yos Kodiowa, Daud Kellah, Benyamin Pandie, El Tari, Willem Wowor, Silvester Fernandez, Dion Lamury, Laurens Say dan Paulus Wangge. Laurens Say kemudian menjadi bupati Sikka.
Herman Fernandez Frans Seda Dion Lamury Syl.Fernandez
Batalion Paradja memiliki tiga kompi, masing-masing dipimpin Kapten Hendrik Rade, Kapten J. Moi Hia, dan Letnan Benyamin Lihoe. Dan anggota Letnan Jeremias Henuhili dan prajurit Hawoe Dima. Dua kompi yang pertama disebut Kompie Berani Mati.
Kiri :Sejumlah prajurit Laskar Sunda Kecil Sumber: Antara Foto/Iphos/Rei/Koz/1946 .Kanan: Anggota Batalion Paradja-Laskar Gerakan Rakyat Indonesia Sunda Ketjil 1947.
Kiri: Sejumlah prajurit Laskar Sunda Kecil melakukan konvoi pasukan Jawa Barat Mei 1946. Sumber: Antara Foto/Iphos/Rei/Koz/1946.Kanan: Anggota Batalyon Paraja-Laskar Gerakan Rakyat Indonesia Soenda Ketjil (GRISK) 1947 di Yogya. Kanan: dari ki – ka: Frans Seda, Dion Lamury dan Bushar. Sumber : Frans Seda, Ad Multos Annos,hal 17,Gramedia 1991
Pada 1948, Pater Adrianus Conterius SVD, utusan Parlemen Negara Indonesia Timur berkunjung ke Jogyakarta dalam rangka upaya untuk kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Ia sempat menyaksikan markas Lasykar Soenda Ketjil di kawasan Tegalpanggung Jogjakarta, 1948. Pater Adrianus merasakan betapa berkerasnya Seda, L. Say dan kawan- kawan untuk memilih berjuang mendukung NKRI pimpinan Soekarno. Kendati harus melawan pihak Belanda yang pernah menjadi guru dan pastor yang mendidik mereka. Dengan demikian jelas kiranya bahwa banyak pejuang asal Nusa Tenggara Timur yang ikut aktif berjuang mempertahankan kemerdekaan RI di Jawa dan bukan sekedar menjadi penikmat kemerdekaan.
Pemuda Nusantara ex Moentilanners
Dalam buku Frans Seda “Ad Multos Annos”, John Frederick dalam tulisannya di hal 225 berjudul “Pembawa Bendera Cita-cita Xaverius College Muntilan” antara lain menegaskan bahwa, ketika pecah revolusi, teman-teman ex Moentilanners, di tahun 1947 membentuk kelompok kecil dengan nama: ”Pemuda Nusantara” di kota Gudeg Yogyakarta, dibagi dua kelompok. Kelompok yang berjuang di garis belakang dan kelompok yang berjuang di garis depan.
Kiri:Pater Adrianus Conterius SVD, Frans Seda dan Alex Rumambi.Kanan Pemuda Nusantara-Yogya- 1947. Dari teman seperjuangan Frans Seda dan Herman Fernandez ini yang gugur dalam pertempuran di Gombong tahun 1947 adalah: Duduk kiri Benny Rumayar, Kanan Wilyater Hutauruk. Berdiri kiri luar pakai kopiah adalah Herman Yoseph Fernandez. Berdiri ketiga dari kanan pakai kopiah adalah Alex Rumambi yang kena tembak di punggung. Sumber foto : Frans Seda, Ad Multos Annos,hal 17,Gramedia 1991.
Kelompok garis belakang, mengadakan siaran tetap di radio militer Yogya, membawakan lagu-lagu perjuangan, antara lain lagu-lagu ciptaan pemuda-pemuda ex Xaverius College Muntilan: Cornel Simanjuntak dan Liberty Manik. Tujuannya memberi semangat juang kepada mereka yang berada di garis depan. Di sore hari mereka melanjutkan sekolah di SMA/AMKRI Yogya. Antara lain putra Muntilan, Biliarto,yang dikenal sebagai Romo J .B. Mangun Wijaya dan Ali Said, yang kemudian menjadi Ketua Mahkamah Agung RI. Kelompok yang masuk garis depan, diantaranya Ben Rumajar, Willy Hutauruk, Alex Rumambi, dan Herman Fernandez.
Herman Fernandez dan Alex Rumambi kemudian bergabung dengan PERPIS dan ikut bertempur dalam Palagan Sidobunder 2 September 1947. Sebelumnya mereka mengikuti latihan militer di Wates dan latihan menembak di Pantai Brosot, Kulonprogo. Herman Yoseph Fernandez dalam Palagan Sidobunder dipercayakan mengoperasikan senjata mesin (juki) dan dengan menyandang pangkat Letnan. Herman Yoseph Fernandez terjun ke dalam Bara Api Revolusi. ikut bertempur dalam pertempuran hidup mati di Sidobunder .
Sebelum gugur di eksekusi Herman Yoseph Fernandez menitipkan pesan khusus melalui temannya La Sinrang “Kalau nanti saya mati ditembak, tolong sampaikan salam saya untuk teman-teman dan tunangan saya di Asrama Katolik Magelang. Jangan takut mati. Mati ditembak lebih baik daripada mati konyol.“ Dan kepada Pengadilan Militer Belanda yang mengadilinya Herman Yoseph Fernandez tegas menyatakan, “Kami kenal dan kami pertahankan cuma satu, Negara Republik Indonesia. Herman Yoseph Fernandez akhirnya dieksekusi mati ditembak oleh regu tembak Belanda dan gugur sebagai sebagai Kusuma Bangsa.
Frans Seda Perjuangkan Herman Fernandez Jadi Pahlawan
Sekembalinya ke tanah air pada tahun 1957 setelah menyelesaikan studinya di Belanda, Frans Seda menggagas dua hal untuk teman seperjuangannya Herman Yoseph Fernandez. Pertama ia menggagas dan memperjuangkan ke pihak pemerintah agar Herman Yoseph Fernandez menjadi Pahlawan. Kedua Frans Seda menggagas pembuatan patung Herman Yoseph Fernandez untuk di dirikan di kota Larantuka.
Dalam bukunya “Frans Seda Ad Multos Annos, 1991” hal 228, Frans Seda antara lain menegaskan bahwa setelah dirinya tiba kembali di Tanah Air usai kuliah di Belanda (1950-1956), ia bersama beberapa teman eks Muntilan menghadap pemerintah, memperjuangkan agar Herman Fernandez diakui dan ditetapkan sebagai Pahlawan. Dengan demikian, Frans Seda merupakan orang pertama yang berinisiatif sekaligus menggagas rencana dan mengajukan kepada Pemerintah agar Herman Fernandez bisa ditetapkan menjadi pahlawan.
Kemudian Frans Seda menggagas pembuatan sebuah patung bagi kawannya Herman Yoseph Fernandez untuk dibangun di Larantuka. Bersama kawan-kawan ex Muntilan mereka mulai menggalang dana untuk pembuatan patung Herman Yoseph Fernandez. Mereka antara lain Frans Seda, Anton Frederick, Laurens Say, Silvester Fernandez, Sam Siregar, Alex Rumambi, L. Manik dan WJP Simatupang.
Gagasan ini diperkuat pada awal tahun 1987, saat Frans Seda dan kawan-kawan seperjuanganya era revolusi, menerima sepucuk surat dari Lurah Larantuka Puvinus da Silva, dan dari Keluarga almarhum Herman Fernandez. Isinya permohonan agar perjuangan Herman Fernandez dilestarikan dalam wujud sebuah patung di Kota Larantuka. Surat itu langsung ditanggapi secara serius dan positif oleh Frans Seda dan kawan-kawan dengan mengumpulkan dana dan menyumbangkan sebuah patung dari Herman Fernandez. Gagasan pengadaan patung ini akhirnya mulai dirancang dan dibuat di Jakarta oleh Manus Solapung.
Sesuai gagasan Frans Seda patung itu dibuat dengan latar belakang sejarah Pertempuram Sidobunder. Patung itu menggambarkan Herman Fernandez yang gagah, tinggi besar, berdiri tegak dengan mata menatap tajam ke depan. Sepucuk senjata (bedil) disandang di belakangnya dan sepucuk lagi dipegang tangan kanannya di depannya. Tangan kirinya membopong sahabatnya Alex Rumambi yang dalam posisi membungkuk dengan kondisi sekarat akibat ditembak Belanda.
Patung tersebut tingginya sekitar 4 meter, beratnya 2,5 ton berdiri di atas kaki fundasi setinggi 3 meter. Patung lalu dikirim ke Larantuka dengan Kapal Ratu Rosari” tanggal 22 Januari 1988, tiba di Larantuka tanggal 27 Januari 1988 langsung ditempatkan di lokasi sesuai anjuran Gubernur NTT Ben Mboi ( 1978-1988).Kini patung dimaksud sudah berdiri tegak di Larantuka, Flores. (Frans Seda Ad Multos Annos, 1991 hal 22).
Patung ini diresmikan oleh Menko Polkam Surono, hari Selasa 16 Februari 1988. Hadir antara lain Menteri Transmigrasi Martono, sebagai bekas Komandan Tentara Pelajar, dimana Herman Fernandez bergabung. Gubernur NTT. Dr. Ben Mboi, Ketua DPRD NTT Fernandez, Bupati Flores Timur Simon Petrus Soliwoa, serta teman-teman seperjuangan Herman Fernandes seperti Dirjen Protokol dan Konsuler Deplu Alex Rumambi , Drs. Frans Seda , Sam Siregar, L. Manik, WJP Simatupang , Anton Frederick, Laurens Say dan Silvester Fernandez.
Rekan almarhum Herman Fernandez yang memprakarsai pembuatan monumen Perjuangan Herman Fernandez.Foto bersama di depan patung saat peresmian tanggal 15 Februari 1988 Dari kiri: Sam Siregar, Alex Rumambi, L. Manik, WJP Simatupang, Frans Seda, Anton Frederick, Laurens Say dan Silvester Fernandez. (Kompas/Ansel da Lopez)
Upacara peresmian patung Herman Fernandez di Larantuka ini sebagai ungkapan rasa hormat dari rakyat dan masyarakat NTT bagi perjuangan dan pengorbanan putera daerah Pahlawan Bangsa Herman Yoseph Fernandez. Sekaligus turut melestarikan semangat dan nilai 45 dan kepahlawanan yang perlu dimiliki oleh setiap insan Indonesia di seluruh pelosok Tanah Air. Spirit ini pula yang memotivasi Frans Seda dan kawan-kawan seperjuangan Herman Fernandez untuk berpartisipasi dalam prakarsa pembuatan dan pendirian monumen kepahlawan kawannya ini.
Kanan: Patung Herman Yoseph Fernandez (tegak) dan Alex Rumambi ( membungkuk)
Kiri : Drs. Frans Seda pada upacara peresmian patung Herman Fernandez, Selasa pagi,16 Februari 1988 di Kota Larantuka, Folres Timur(Kompas/Rudy Badil)
Kini patung tersebut berdiri tegak di Taman Kota Larantuka, Flores dan menjadi salah satu ikon Kota Renya Larantuka. Patung itu sekaligus melambangkan kesetiakawanan pada teman seperjuangan di medan pertempuran.
Dari seluruh sajian ini, kiranya cukup jelas bobot pertemanan dan kedekatan Frans Seda dengan Herman Yoseph Fernandez yang terus terjalin dalam suka dan duka sejak, sama-sama sekolah di Schakelschool di Ende, berangkat ke Jawa untuk Sekolah Guru di Muntilan , sama-sama terjun ke dalam bara api revolusi, hingga Herman Yoseph Fernandez gugur sebagai Kusuma Bangsa.
Kedua tokoh pejuang bangsa yang telah berjasa bagi bangsa dan negaranya ini baik Drs.Frans Seda maupun Herman Yoseph Fernandez layak diperjuangkan untuk menjadi Pahlawan Nasional.***
Pustaka Pilihan:
- Sukarno di Pengasingan Ende 1934-1938 , Penerbit Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya Direktorat jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2012.
- Frans Seda Ad Multos Annos 1991 hal 187-189.
- Frans Seda Simfoni Tanpa Henti, Ekonomi Politik Masyarakat Baru Indonesia, penerbit Grasindo, atas Kerjasama Yayasan Atmajaya dan Penerbit PT.Gramedia Widiasarana Indonesia,Jakarta,1991.
- Putra Nusa Bunga & Wastra NTT Mengenang Sosok Frans Seda, Penerbit Kompas,2022.
- Kunjungan dan catatan penelitian penulis ke kompleks SMA Pangudi Luhur Van Lith dan Museum Van Lith Muntilan 6 Oktober 2023.
- Franciscus Georgius Josephus van Lith Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.
- Van Lith, Pejuang Pendidikan di Pulau Jawa Kompas.com – 18/07/2022, 10:00 WIB Penulis Verelladevanka Adryamarthanino | Editor Nibras Nada Nailufar.
- “150 tahun Romo van Lith: Dari Muntilan Merajut Indonesia.”, https://www.kompasiana.com/loma/552059fea33311414646ce48/150-tahun-romo-van-lith-dari-muntilan-merajut-indonesia“
- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Mohammad Wildan Franciscus Georgius Josephus van Lith, Pembuka Pendidikan Guru di Jawa.
- Tan Malaka, Dari Penjara ke Penjara Bagian Tiga, Teplok Press, Juli 2000. Salman Alfarizi,
- Hasan Kurniawan 07 Sept 2015 “Surat Wasiat Presiden Soekarno untuk Tan Malaka”. https://daerah.sindonews.com/berita/1041375/29/surat-wasiat-presiden-soekarno-untuk-tan-malaka Tan Malaka: Bapak Republik yang Dilupakan. Penerbit: TEMPO – KPG2010)
- Tribun-Timur.comdengan judul 12 Fakta Tentang Tan Malaka yang Jarang Diketahui Publik, No 9 Tak Disangka, https://makassar.tribunnews.com/2017/08/21/12-fakta-tentang-tan-malaka-yang-jarang-diketahui-publik-no-9-tak-disangka?page=2. Penulis: Jumadi Mappanganro | Editor: Jumadi Mappanganro
- Oppa Jappy, “ Batalion Paradja pada Serangan Umum Satu Maret” dari sumber Kompasiana 28 Februari 2022 15:07. (Kompasiana.com judul “Batalion Paradja pada Serangan Umum Satu Maret”,https://www.kompasiana.com/opajappy/621c82cf317949177e6072f5/batalion-paradja-pada-serangan-umum-satu-maret Kreator: Opa Jappy)
- Wirawan, A. A. B. 2012. “Pusaran Revolusi Indonesia di Sunda Kecil 1945-1950”. Denpasar: Udayana University Press.
- Ishak Rohi Lobo Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
- Brosur Herman Fernandez oleh Ansel da Lopez,1988.
- Thomas B.Ataladjar, Herman Yoseph Fernandez,Kusuma Bangsa Pembela Tanah Air,Layak Jadi Pahlawan Nasional,Penerbit Ikan Paus Jakata 2024.
======= )*Penulis adalah peneliti , penulis dan pemerhati sejarah,Tinggal di Bogor.