ADVERTISEMENT
google.com, pub-9566902757249236, DIRECT, f08c47fec0942fa0

Palagan Sidobunder Medan Perjuangan Herman Fernandez

                               ( Seri 1)

Oleh : Thomas B.Ataladjar )*

Alas Kata

google.com, pub-9566902757249236, DIRECT, f08c47fec0942fa0

Pertempuran atau Palagan Sidobunder terjadi dalam Perang Kemerdekaan di Kebumen September 1947. Peristiwa heroik ini, tidak banyak diketahui orang. Entah karena kurang diangkat dan dipublikasikan ke atas panggung sejarah perjuangan bangsa, faktanya bahwa   peristiwa Pertempuran Sidobunder 1947, seperti tenggelam. Palagan Sidobunder seakan  kalah pamor  dibanding nama besar sejumlah palagan lain seperti, Palagan Ambarawa, 10 November Surabaya, Bandung Lautan Api, Serangan Umum 5 Hari di Semarang, Palagan Palembang, Medan Area, Palagan Margarana, Bali,  Palagan Makassar dan  Palagan Makasar

 dan lain- lain.

RelatedPosts

           Padahal, Palagan Sidobunder merupakan sebuah realitas sejarah perjuangan  Tentara Pelajar bersama rakyat. Sebuah    upaya nyata kaum terpelajar dalam turut  menegakkan amanat Proklamasi Kemerdekaan  Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Pertempuran Sidobunder merupakan satu episode perang kemerdekaan, salah satu peristiwa pertempuran heroik antara Tentara Pelajar bersama rakyat melawan pasukan Belanda.  Tentara Pelajar  tampil sebagai pejuang pembela tanah air dari ancaman serangan Belanda. Dengan semangat mudanya, mereka  ikut melaksanakan amanat Proklamator Soekarno-Hatta sebagai penggerak revolusi kemerdekaan Indonesia. Mereka ikut aktif terjun ke dalam bara api revolusi di bawah amanat Panglima Badan Keamanan Rakyat Jenderal Besar Sudirman, Letjen Urip Sumoharjo dan Jenderal Besar Abdul Haris Nasution yang menerapkan perang gerilya. Palagan Sidobunder ini melibatkan banyak nama pejuang yang kemudian menjadi tokoh nasional, dan banyak menelan korban jiwa, baik dari pihak militer maupun masyarakat sipil.

         Palagan Sidobunder coba diangkat ke permukaan sejarah perjuangan bangsa, dengan  menggunakan metode sejarah (historis) atau historical research melewati lima tahap, yaitu penentuan topik, heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Heuristik merupakan proses pengumpulan sumber-sumber sejarah yang relevan terhadap topik sejarah. Kritik sumber, merupakan tahap pengkajian terhadap otentisitas dan kredibilitas sumber-sumber yang diperoleh yaitu dari segi fisik dan isi sumber. Interpretasi merupakan proses mencari keterkaitan makna yang berhubungan antara fakta-fakta yang telah diperoleh sehingga lebih bermakna. Historiografi atau penulisan yaitu penyampaian sintesis dalam bentuk karya ilmiah.

            Tujuan penelitian ini antara lain untuk mengetahui latar belakang dan faktor penyebab terjadinya Palagan Sidobunder; proses berlangsungnya pertempuran .Juga untuk mengetahui peranan Tentara Pelajar dalam Pertempuran Sidobunder di Kebumen tahun 1947 ini. Juga untuk mengetahui para pelaku sejarah pertempuran serta korban-korbannya sekaligus dampak Palagan Sidobunder baik bagi Tentara Pelajar, Belanda maupun Indonesia secara umum.  Semua ini dilakukan untuk memperoleh tulisan yang wajar dan dapat dipertanggungjawabkan.

         Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Namun seiring dengan itu, NICA    ( Netherlands Indies Civil Administrations) atau Pemerintahan Sipil Hindia Belanda yang membonceng pasukan Sekutu pada September 1945, ingin kembali menguasai Indonesia.

       Hal ini  menimbulkan terjadi banyak pembelaan oleh rakyat di berbagai daerah, untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.  Beberapa diantaranya antara lain Pertempuran Bojong Kokosan, Sukabumi pada 9 Desember 1945; Pertempuran Lima Hari, di Semarang pada 15-19 Oktober 1945 melawan Jepang;  Peristiwa 10 November  di  Surabaya pada 10 November 1945; Pertempuran Medan Area, di daerah Medan dan sekitarnya pada 10 Desember 1945-10 Agustus 1946; Palagan Ambarawa, di AmbarawaSemarang pada 12-15 Desember 1945 ; Pertempuran Lengkong, di Lengkong, Serpong pada 25 Januari 1946, dipimpin oleh Mayor (TKR) Daan Mogot; Bandung Lautan Api, di daerah Bandung pada 23 Maret 1946; Pertempuran Margarana, di Margarana, Tabanan, Bali pada 20 November 1946, dipimpin oleh Letkol (TRI) I Gusti Ngurah Rai; Pembantaian Westerling, di Sulawesi Selatan pada 11 Desember 1946-10 Februari 1947; Pertempuran Lima Hari,   di Palembang pada 1-5 Januari 1947; Agresi Militer I pada 21 Juli-5 Agustus 1947; Pembantaian Rawagede di Rawagede, Karawang pada 9 Desember 1947; Agresi Militer II pada 19–20 Desember 1948; Serangan Umum 1 Maret 1949, di Yogyakarta pada 1 Maret 1949; Serangan Umum Surakarta, di Surakarta pada 7-10 Agustus 1949 dan lain-lain.

          Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa Belanda telah  ingkar janji terhadap Perjanjian Linggarjati,  lalu melakukan  agresi militer Belanda I tahun 1947.  Kemudian Belanda  juga melanggar Perjanjian Renville yang jelas merugikan Indonesia. Di Kebumen Belanda menduduki Kota Gombong dan menjadikan Benteng van der Wijck sebagai markas pusat pertahanan Belanda. Dari sana Belanda menjadikan Kebumen dan sekitarnya sebagai medan pertempuran, dimana terjadi  Palagan   Sidobunder.

          Tulisan ini diiringi  dengan menampilkan sosok seorang pejuang  Sidobunder asal Larantuka, Flores NTT,  Herman Yoseph Fernandez,  yang akhirnya gugur sebagai Kusuma Bangsa,  di depan regu tembak Belanda  dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusumanegara Yogyakarta. Apa yang dialami Herman Yoseph Fernandez persis sama seperti yang dialami oleh seorang Pejuang Kemerdekaan sekaligus Pahlawan Nasional Robert Wolter Monginsidi. Keduanya seumur lahir tahun 1925. Sama-sama Pejuang Kemerdekaan. Dan sama-sama gugur di depan regu tembak Belanda di usia yang juga hampir sama. Masih sangat muda. Mereka layak jadi Pahlawan Nasional.

Latar Belakang & Faktor Penyebab

              Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya yang merupakan titik puncak perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan Belanda maupun Jepang. Rakyat Indonesia menyambut gembira  kemerdekaan dengan tantangannya. Bangsa Indonesia terbebas dari belenggu penjajahan asing dan berhak untuk mengatur roda pemerintahannya sendiri sebagai negara yang berdaulat atas rakyat, pemerintahan dan wilayahnya. Namun ternyata proklamasi kemerdekaan bukanlah akhir dari segalanya. Rakyat ternyata masih mengalami masa yang cukup berat setelah proklamasi kemerdekaan.

             Kekalahan Jepang pada Perang Dunia II menyebabkan Belanda ingin kembali untuk mengambil alih Indonesia. Di satu sisi, Indonesia telah memproklamasikan  kemerdekaannya. Sementara di sisi lain, Belanda merasa masih berhak atas Indonesia dan berusaha mengambil alih wilayahnya dari pihak Jepang yang kalah perang. Belanda masih belum mengakui kedaulatan NKRI secara de facto. Sementara bagi Sekutu, ada alasan baginya untuk datang ke Indonesia guna membebaskan tawanan perang dan interniran serta melucuti senjata Jepang.

       Pada tanggal 14 September 1945 pendaratan pertama pasukan Sekutu di bawah komando pasukan payung Inggris pimpinan Mayor Greeenhalgh, diterjunkan dengan parasut di Lapangan Terbang Kemayoran. Tugas utama pasukan Mayor Greenhalgh adalah untuk mempersiapkan markas besar Sekutu di Jakarta.

        Pada awalnya kedatangan pasukan Sekutu disambut dengan sikap netral oleh pihak Indonesia (Poesponegoro dan Notosusanto, 2008: 186). Namun rakyat Indonesia akhirnya mengetahui bahwa dalam pasukan Sekutu membonceng serdadu Belanda dan NICA (Netherlands Indies Civil Administration) yang bermaksud untuk kembali berkuasa di Indonesia. Sikap rakyat Indonesia berubah menjadi curiga bahkan memperlihatkan sikap bermusuhan.  Sebagai negara yang baru saja merdeka, Indonesia dituntut untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah diperolehnya dari rongrongan pihak penjajah yang mencoba kembali untuk berkuasa di negara ini. 

      Kedatangan Belanda akhirnya memunculkan konflik, karena rakyat Indonesia sama sekali tidak menginginkan negara lain menguasai Indonesia kembali. Perlawanan rakyat menolak terulangnya kolonisasi terjadi di berbagai daerah di Indonesia.   Kedatangan NICA di Indonesia inilah yang mengawali perjuangan rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya. Karena walaupun kemerdekaan sudah di tangan rakyat Indonesia, namun pada tahun 1946 Belanda masih tetap menguasai aset-aset pemerintahan. Periode perjuangan rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya ini dikenal dengan periode revolusi. Masa perang kemerdekaan ini berlangsung dari tahun 1945-1949. Dalam kurun waktu empat tahun itu terkadang berlangsung pertempuran, terkadang perundingan dan kadang-kadang pertempuran dan perundingan berlangsung bersamaan.

      Sejumlah pertempuran, perang  atau palagan  terjadi di berbagai daerah nusantara seperti telah disinggung diatas.

           Pada tahun 1946 diadakan gencatan senjata dan berlangsung perundingan yang menghasilkan persetujuan atau Perjanjian  Linggarjati. Selama masa itulah Belanda memanfaatkan untuk memperkuat pasukannya. Setelah merasa cukup kuat, Belanda kemudian  mengingkari persetujuan Linggarjati dan melakukan Agresi Militer I pada tanggal 27 Juli 1947.

Linggarjati Dilanggar, Agresi Militer Meletus, Resolusi Cease Fire PBB Diabaikan

              Untuk membahas konflik antara Indonesia dan Belanda, diadakan perundingan antara Indonesia dan Belanda di Linggarjati,  Kuningan, Jawa Barat pada 10-15 November 1946. Namun   baru disahkan pada 25 Maret 1947 di Istana Merdeka, Jakarta yang mencapai beberapa persetujuan. Antara lain:

  1. Belanda mengakui secara de facto wilayah Indonesia yang mencakup Jawa, Sumatra, dan Madura. Belanda harus meninggalkan Indonesia sebelum tanggal 1 Januari 1949.
  2. Indonesia dan Belanda setuju membentuk negara serikat dengan nama RIS ( Republik Indonesia Serikat). Negara Indonesia Serikat terdiri dari RI, Kalimantan, dan Timur Besar. Pembentukan RIS ini dilangsungkan sebelum 1 Januari 1949.
  3. RIS dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda yang dipimpin oleh Ratu Belanda.

                        Perjanjian Linggarjati memberikan dampak negatif bagi Indonesia, yakni bahwa wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke seluas Hindia Belanda seperti sebelumnya, belum diakui secara penuh. Pada 20 Juli 1947, Letnan Gubernur Jenderal Belanda Hubertus van Mook mengumumkan bahwa Belanda tidak lagi menganggap dirinya terikat oleh Perjanjian Linggarjati yang telah disepakati sebelumnya. Keputusan ini membuat situasi semakin tegang.

          T.B. Simatupang dalam bukunya Laporan dari Banaran, penerbit PMK HKBP, Jakarta halaman 216 antara lain menulis bahwa suasana Indonesia setelah penandatanganan Perjanjian Linggarjati, tidak pernah baik. Belanda terus mengirim tentaranya ke Indonesia. Oleh karena itu Republik terpaksa mengambil tindakan menghadapi agresi Belanda itu. Republik tidak mempunyai pilihan lain selain melakukan perang gerilya dengan bantuan rakyat disertai politik bumi hangus apabila diserang.

         Terjadinya pertempuran atau Palagan Sidobunder, Kebumen, terjadi akibat Belanda ingkar janji terhadap Perjanjian Linggarjati tersebut. Di lain pihak, pemerintah Indonesia juga terus melakukan  perjuangan secara diplomasi untuk memperoleh pengakuan secara internasional, untuk menyelesaikan konflik mengenai kedaulatan atas negaranya.

SIDOBUNDER PROFIL SEBUAH DESA PERJUANGAN

       Sidobunder hanya sebuah desa kecil di Kecamatan Puring, Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah.  Letaknya sekira 12 km sebelah barat daya Karanganyar dan 10 km tenggara Kota Gombong. Desa Sidobunder dilewati oleh Sungai Kemit dari Kanal Tirtomoyo yang membelah Desa Sidobunder menjadi dua, yaitu Sidobunder bagian barat dan Sidobunder bagian timur.

Kantor Desa Sidonder dan Tugu Sidobunder pertama.  (Foto: Dewi Ataladjar) Tampak sebelah kanan, berdiri  Tugu Sidobunder pengganti                                                                                                                       

            Sungai Kemit cukup lebar dan dalam.  Di Desa Kemit sendiri sungai ini airnya bening dan mengendapkan pasir, kerikil dan  kerakal. Namun di Sidobunder Sungai Kemit berlumpur dan tidak berpasir. Airnya keruh karena  sudah menjadi langganan banjir. Yang menggenangi sawah, pekarangan, dan  halaman rumah. Di sekitar rumah penduduk digali empang atau kolam, agar air tidak masuk ke rumah. Sekitar empang  itu dipagari bambu  tinggi sebagai pengaman terhadap anak-anak kecil atau kambing dan hewan peliharaan.

          Saat ditemui di kantor Kelurahan Sidobunder 5 Oktober 2023, Kades Sidounder, Sarno  menjelaskan bahwa Desa Sidobunder, sebelah utara berbatasan dengan Desa Purwodadi, Kecamatan Kuwarasa; selatan dengan Desa Sitiadi, Kecamatan Puring; timur dengan Desa Madureja, Kec. Puring dan barat dengan Desa Sidodadi, Kec. Puring.

          Topografi Desa Sidobunder menunjukkan bahwa wilayah ini  berupa dataran rendah seluas 327.00 Ha dan   rawan banjir. Penduduknya 2.267 orang  atau 875 kk. Laki-laki 1.169 orang dan perempuan 1.098 orang. Mayoritas penduduknya petani  sebanyak 485 kk.

          Desa Sidobunder tercatat dalam sejarah Perang Kemerdekaan di mana terjadi  pertempuran sengit yang menelan banyak korban Tentara Pelajar dan rakyat pada 1-2 September 1947. Pertempuran ini merupakan salah satu perlawanan rakyat Kebumen, dalam mempertahankan Kemerdekaan Indonesia akibat tindakan Belanda yang melanggar Persetujuan Linggarjati secara sepihak, karena  ingin menguasai dan menjajah kembali Indonesia.

         Dalam Perang Kemerdekaan, desa   Sidobunder merupakan salah satu front pertahanan Karanganyar di Kebumen dan merupakan salah satu daerah terdepan atau pertahanan lini pertama sektor selatan yang harus dipertahankan mengingat wilayah RI Gombong saat itu telah dikuasai Belanda. 

        Wilayah Sidobunder termasuk luas dan terbuka, sehingga gerakan pasukan Tentara Pelajar mudah terlihat oleh pasukan Belanda. Selain persenjataan Tentara Pelajar terbatas dan pengalaman dalam bertempur juga masih kurang. Tentara Pelajar juga belum sempat mengenal medan dengan baik, apalagi saat terjadi pertempuran hidup mati di Sidobunder, Tentara Pelajar berada dalam posisi terkepung Belanda. Mendapat serangan mendadak secara tiba-tiba di pagi subuh, memaksa mereka bertempur secara individu yang menimbulkan banyak korban.

       Setelah Sidobunder dikuasai oleh Belanda, pertahanan RI di wilayah selatan menjadi lemah. Hal ini menyebabkan tentara Belanda dapat dengan mudah menduduki Kecamatan Puring dan Kecamatan Kuwarasan. Akibat dari pertempuran ini membuat warga desa Sidobunder mengungsi ke tempat yang lebih aman. Pertempuran Sidobunder merupakan satu episode perang kemerdekaan, dimana Tentara Pelajar  tampil sebagai pejuang pembela tanah air dari ancaman serangan Belanda. Semangat kaum muda mereka, adalah modal yang besar sebagai penggerak revolusi kemerdekaan Indonesia.

       Revolusi yang terjadi di Kebumen periode 1945-1950, termasuk pertempuran Sidobunder 1947, merupakan sebagian kecil daripada revolusi di seluruh Indonesia. Namun demikian perjuangan selama revolusi tersebut telah memperkuat jiwa perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan bangsa dan negara.

       Keberadaan Tentara Pelajar dalam pertempuran Sidobunder telah  turut mewarnai sejarah perjuangan bangsa Indonesia dengan beragam cerita heroik dan segala pernak-perniknya. Tentara Pelajar dalam kancah perang kemerdekaan menjadi wadah persatuan yang kokoh bagi setiap anggotanya. Dalam peta kendali kekuatan perjuangan rakyat, wilayah Gombong, Kuwarasan, Buayan, Puring dan sekitarnya biasa disebut Front Barat. Pada Perang Kemerdekaan (Clash) I – 1947, di wilayah ini sering terjadi pertempuran hebat antara pejuang Kemerdekaan RI dan pasukan Belanda yang sebagian besar adalah NICA. Pertempuran Sidobunder tercatat sebagai salah satu pengalaman kontak senjata dengan Belanda yang meminta korban anggota Tentara Pelajar Yogyakarta. Pertempuran Sidobunder berlangsung pada tanggal 2 September tahun 1947, korbannya tidak hanya tentara pelajar dari Yogyakarta tetapi juga Tentara Peajar yang berasal dari seluruh Indonesia termasuk anggota PERPIS (Persatuan Pelajar Indonesia Sulawesi).

          Keberadaan Tentara Pelajar (TP), Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP), Tentara Genie Pelajar (TGP), SA/CSA atau Pelajar/Mahasiswa Pejuang Kemerdekaan (Bersenjata) dan beberapa nama lain, merupakan sebuah realitas sejarah perjuangan kaum terpelajar dalam ikut serta selaku warga negara dalam upaya nyata menegakkan amanat Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945.

          Untuk mengenang peristiwa pertempuran Tentara Pelajar dan rakyat melawan Belanda di Desa Sidobunder dan sekaligus untuk menghargai para pahlawan yang telah gugur berjuang, didirikan sebuah Tugu Perjuangan. Tugu pertama dibangun tahun 1959, ditengah-tengah pertigaan jalan depan Balai Desa Sidobunder. Pada tugu peringatan tersebut dipasang prasasti bertuliskan    nama-nama korban yang gugur dalam perang melawan Belanda, baik dari kalangan tentara maupun dari warga masyarakat. Nama Herman Fernandez ikut terukir pada prasasti di monumen perjuangan itu di No.19.

          Pada tahun 1984 dibangun Monumen Balai Desa Sidobunder berbentuk Joglo sebagai persembahan Tentara Pelajar kepada Desa Sidobunder (Imam Hadiprayitno, 2013: 23). Namun mengingat letak tugu peringatan tersebut berada di tengah pertigaan jalan  dimana sering terjadi kecelakaan lalu lintas, maka atas  kesepakatan pemerintah desa dan para tokoh masyarakat dibuatlah tugu peringatan baru di sebelah barat jalan. Prasasti yang tadinya terpasang pada tugu lama dipindahkan ke tugu baru tersebut. Saat penulis berkunjung ke Monumen Sidobunder Oktober 2023 lalu, kondisi monumen cukup memprihatinkan, terkesan kumuh tak terurus. Prasasti yang tertempel di sana nyaris sulit dibaca.  Butuh renovasi agar monumen ini tidak menjadi lebih kumuh dan terkesan tak terawat. Dengan demikian, desa Sidobunder telah tampil sebagai sebuah desa perjuangan bagi bangsa. Sebuah desa bersejarah yang telah turut mengukir perjalanan sejarah perjuangan bangsa ini.

Agresi Militer I Meletus, Kebumen Membara

       Pada 21 Juli 1947, tepat pukul 00.00 WIB, meletuslah Agresi Militer I oleh Belanda I.  Konflik ini disebut  “Agresi Militer” karena Belanda melakukan tindakan militer untuk merebut wilayah-wilayah yang dikuasai oleh Republik Indonesia terutama merebut wilayah-wilayah strategis di Indonesia yang kaya sumber daya alam, terutama perkebunan dan  minyak. Pasukan Belanda bergerak untuk menduduki wilayah-wilayah seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, dan sejumlah daerah lainnya. Satu sasaran utama Belanda dalam Agresi Militer Belanda I adalah Yogyakarta. Kebumen, Gombong dan Karanganyar yang dekat dengan Yogyakarta.

          Di daerah Jawa Tengah, pasukan Belanda menyerbu daerah-daerah RI dengan menerobos melalui Cirebon, Tegal, Pekalongan, dan membelok ke selatan menuju Purbalingga melewati Banyumas. Untuk menghadang laju  pergerakan pasukan Belanda yang sudah sampai di Buntu  daerah perbatasan Banyumas-Kedu, rakyat dikerahkan untuk membuat rintangan-rintangan di jalan raya dan melakukan politik bumi hangus terhadap bangunan-bangunan vital di Kota Gombong, seperti tangsi, rumah gadai, kantor pos dan asrama polisi.

         Pasukan Belanda terus melancarkan tindakan  agresinya. Untuk menghadapi gerak maju pasukan Belanda ke Gombong-Kebumen, sejak  Agresi Militer Belanda I, di bagian barat Desa Sidobunder, dibangun pos-pos  pertahanan Garis Lini Sektor Selatan. Menurut  buku “Geger di Bagelen” Perjuangan  Resimen XX , Kedu Selatan 1945-1949”, desa sekitar Sidobunder pernah mengalami serangan tentara Belanda sampai 8 kali. Antara lain, pada suatu hari Hadi Suwarno memberitahu anggota Tentara Pelajar   yang sedang asyik mencari ikan di selokan, bahwa ada patroli Belanda NICA. Mereka tidak percaya, karena  mengira  bahwa yang patroli  itu adalah teman sendiri. Mereka baru kaget saat melihat bahwa yang datang ke arahnya adalah tentara NICA. Mereka ditangkap dan disiksa.

       Peristiwa lain, pada hari Selasa akhir Agustus 1947, pukul 09.00, Belanda menyerang di Pos Pertahanan TKR menyebabkan banyak anggota TKR gugur termasuk Komandan Kompi Letnan II Soemari – yang baru saja menggantikan Kompi Letnan 1 Dimyati Batalyon 64 – serta 5 penduduk tewas. Jenazah Letnan II Soemari dimakamkan di Krakal, desa tempat kelahirannya. Untuk menghindari korban lebih banyak, tentara RI mundur ke daerah Sugihwaras. (Gelegar  di Bagelen Perjuangan  Resimen XX, Kedu Selatan 2003. 1945-1949 dan Pengabdian lanjutanya, Penerbit Ikatan Keluarga  Resimen XX Kedu Selatan, 2003).

          Agresi militer Belanda tahun 1947 di Kebumen ini mengakibatkan Kota Gombong diduduki oleh Belanda dan menjadikan Benteng van der Wijck sebagai pusat pertahanan milternya. Pemerintah Republik Indonesia mengadukan Agresi Militer Belanda I ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) karena dianggap sebagai pelanggaran terhadap Perjanjian Internasional Linggarjati. Tekanan dari Dewan Keamanan PBB akhirnya memaksa Belanda untuk menerima resolusi yang menyerukan gencatan senjata.

Benteng Van Der Wijck,Pusat Pertahanan Belanda  di Kota Gombong

Setelah menduduki kota Gombong,  Belanda mengatur pos pertahanannya di dukuh Kemit (Desa Grenggeng) yang letaknya kurang lebih 4 km sebelah timur Gombong. Dari situlah Belanda mulai mengadakan gerakan militernya ke daerah-daerah sekitar Gombong. Pasukan Belanda mulai mengadakan patrolinya ke jurusan timur, timur laut, juga ke jurusan selatan dan tenggara, ke daerah Kuwarasan, Adimuljo, dan Puring.

Pada 15 Agustus 1947, Pemerintah Belanda secara resmi menyatakan bahwa mereka akan menerima resolusi Dewan Keamanan PBB untuk menghentikan pertempuran. Pada tanggal 17 Agustus 1947, Republik Indonesia dan Belanda menerima Resolusi Dewan Keamanan PBB, yang menandai berakhirnya Agresi Militer Belanda I.

Meskipun sudah ada seruan PBB  gencatan senjata dan dihentikannya tembak-menembak antara pihak RI dengan pihak Belanda (Cease Fire), namun Belanda tetap saja menggerakkan  patroli militernya di daerah sekitar Gombong-Karanganyar yang selalu dibarengi dengan melepaskan tembakan- tembakan terhadap penjagaan-penjagaan rakyat di garis depan.

          Konflik antara Republik Indonesia dan Belanda  terus  berlanjut. Salah satu perlawanan rakyat Kebumen terhadap kedatangan kembali Belanda yaitu kontak senjata dan pertempuran dan   antara Tentara Pelajar dengan Belanda yang banyak menelan korban jiwa anggota Tentara Pelajar Yogyakarta  yang terjadi di Desa Sidobunder di Kebumen-Gombong,  yang  menjadi topik bahasan.

TENTARA PELAJAR

HADANG GERAK MAJU BELANDA   MASUK YOGYA

          Meskipun sudah ada seruan gencatan senjata oleh Dewan Keamanan PBB, Belanda tetap mengadakan patroli militernya di daerah sekitar Gombong-Karanganyar. Untuk mencegah serdadu  Belanda  masuk ke Ibu kota RI di Yogyakarta dan mengusirnya dari Kebumen dan Gombong, Markas Tentara Pelajar (TP) Yogyakarta menugaskan Kompi 320 untuk bergabung dengan TNI Batalyon 62 di bawah Komandan Mayor Panuju yang berada di Karanganyar, Kebumen.

Tentara Pelajar Yogya  Dikirim Pertahankan  Front Barat

            Pada tanggal 29 Agustus 1947 Tentara Pelajar Sie 321 pimpinan Anggoro dan pasukan PERPIS ditugaskan untuk mempertahankan Sidobunder, sebagai daerah pertahanan dan menghambat gerak Belanda dari arah barat menuju ke timur ke arah Yogya .

         Akhirnya yang mendapat tugas adalah seksi 321 Anggoro dan Kompi 320 Tjok Saroso Hoerip TP Yogyakarta (terakhir Marsekal Pertama AURI). Anggota TP mayoritas berasal dari anak-anak SMA Kota Baru (Keluarga Pelopor Padmanaba) dan pelajar asal Sulawesi anggota pasukan Perpis (Persatuan Pelajar Indonesia Sulawesi). Pada saat itu pasukan pelajar Perpis baru saja menyelesaikan pelatihan militer di Wates. Persenjataannya lengkap, menyandang bedil Popda serta bren gun, sejenis senjata otomatis. Pakaiannya sudah berseragam hijau. Kabarnya perlengkapan tersebut diberikan oleh Jenderal Mayor Abdoel Kadir.      Salah seorang Tentara Pelajar anggota Perpis yang ikut  dikirim  ke medan perang Kebumen dan terlibat dalam pertempuran Sidobunder ini adalah Herman Yoseph Fernandez. Ia dipercaya mengoperasikan senjata mesin juki, (Peran Pelajar dalam Perang Kemerdekaan, diterbitkan oleh Pusat Sejarah dan Tradisi Angkatan Bersenjata R.I, cetakan I 1985).

  Pemberangkatan Pasukan ke Sidobunder 29 Agustus 1947

             Seksi Sadewo dan Anggoro merupakan seksi pertama yang diberangkatkan dari Yogya menggunakan kereta api dan turun di stasiun Kebumen menghampiri pasukan pelajar Perpis pimpinan Maulwi Saelan, kemudian diberi tugas di Karanganyar. Tentara Pelajar Yogyakarta mengirim Kompi 320, terdiri dari dua seksi yaitu seksi 321 di bawah pimpinan Anggoro dan seksi 322 di bawah pimpinan Soedewo, yang masing-masing beranggotakan 60 orang.

          Sesampainya di Karanganyar kompi 320 ikut serta mempertahankan kota yang kacau karena ditinggalkan penduduknya yang takut akan kedatangan musuh. Juga mencegah terjadi  perampokan dan penjarahan di toko-toko yang ditinggalkan

         Pada 29 Agustus 1947 pasukan Anggoro diberangkatkan ke Desa Sugihwaras, tetapi sebelumnya diperintahkan menduduki Sidobunder, Kecamatan Puring, Kabupaten Kebumen, sebelah selatan kota Gombong.Satu kompi terdiri dari empat seksi, satu seksi terdiri dari empat regu dan setiap regu terdiri dari 15 orang anggota TP. Pasukan Anggoro berpendapat, medan di Sidobunder berat untuk Tentara Pelajar yang masih minim pengalaman,  tetapi karena merupakan tugas yang harus dilaksanakan, maka Tentara Pelajar tidak bisa menolaknya. Pertahanan Tentara Pelajar di Karangannyar tidak sendiri, karena terdapat  pasukan lainnya yang juga memperkuat pertahanan di sana, salah satunya adalah PERPIS (Persatuan Pelajar Indonesia Sulawesi). Sidobunder ditetapkan sebagai pos pertahanan dan Sugihwaras dijadikan daerah basis pertahanan. Pertahanan di Sidobunder diperkuat dengan bergabungnya Tentara Pelajar Purworejo dan ditambah delapan orang di bagian kesehatan (Palang Hijau).

Markas Darurat Tentara Pelajar Di Kompleks Gereja

          Perlu dicatat bahwa pada Perang Kemerdekaan I (1947), didirikan Markas Darurat Tentara Pelajar di Kebumen sebagai pusat komando lapangan. Markas Darurat Tentara Pelajar ini menggunakan rumah dinas kepandhitaan di kompleks  Gereja Kristen Jawa  (GKJ) Jl. Stasiun (kini Jl. Pemuda 140) Kebumen. Sedang aulanya digunakan sebagai asramanya. Pendetanya saat itu  1947, adalah bapakReksodihardjo. Saat itu bertugas sebagai Staf Putri yang menangani asrama, kepalang-merahan dan dapur umum yaitu Nn. Atiatoen. Guna mengabadikan tempat bersejarah itu, Ibu Atiatoen pada 22 Maret 2003 bersama putra pendeta GKJ, Agustinus Reksodihardjo mendirikan sebuah monumen sederhana yang diberi nama “Monumen Pena” yang diresmikan pda 10 November 2013.

Kanan : Komandan Seksi 321, Anggoro. Tengah: Nn. Atiatoen,  Staf Putri Markas Pusat

Pelajar pada Markas Darurat Front Barat di Kebumen, Atiatoen ;

Bapak Reksodihardjo, Pendeta GKJ 1947.

Semoga di Monumen Pena tersebut juga terukir nama-nama Tentara Pelajar yang bermarkas di situ sebelum bertempur ke Sidobunder, termasuk nama Herman Fernandez.

Anggoro Diperintahkan Duduki Desa Sidobunder

          Mayor Panuju kemudian memerintah TP untuk memindahkan pasukannya ke wilayah Desa Sugihwaras pada akhir Agustus 1947. Dalam perintahnya tersebut, Mayor Panuju juga menugaskan Komandan Tentara Pelajar  Sie 321 di bawah pimpinan Anggoro untuk menduduki Desa Sidobunder terlebih dahulu dalam kondisi dan risiko apa pun. Hal ini dilakukan karena posisi Desa Sidobunder sangat strategis. Desa Sidobunder merupakan desa yang berbatasan langsung dengan Sungai Kemit. Letaknya memanjang dari utara hingga selatan sehingga bisa digunakan sebagai benteng untuk melindungi wilayah Desa Sugihwaras. Walaupun demikian, sebenarnya Desa Sidobunder adalah desa yang sangat tidak menguntungkan untuk dijadikan pertahanan karena berada di tengah areal persawahan luas dan terpisah dari desa lainnya.

          Dari Panjer – Kebumen perjalanan TP diteruskan berjalan kaki, ada juga yang naik gerobak kuda yang rodanya tinggi dengan roda besi yang kini sudah punah.

                                                                                    Herman Fernandez dan Alex Rumambi

Tentara Pelajar PERPIS pimpinan Maulwi Saelan. Berdiri No.3 dari kiri berkacamata adalah

 Alex Rumambi (foto: koleksi Maulwi Saelan)

          Seksi 321 Anggoro tiba di Sidobunder pada 31 Agustus 1947. Tidak berselang lama, datang pula Pasukan Pelajar Republik Indonesia Sulawesi (PERPIS) di bawah pimpinan Maulwi Saelan. Kedua kekuatan itu, baik Tentara Pelajar maupun PERPIS kemudian ditugaskan untuk menempati wilayah Puring. Hal ini dilakukan karena pasukan Belanda di sebelah selatan Gombong telah sampai di wilayah Karangbolong. Bersamaan dengan itu beberapa TP Purworejo tiba  menggabungkan diri.

          Setelah melapor kepada perwira yang bertugas dan Kepala Desa Sidobunder, pasukan dijamu dengan “Noni Bungkus (nasi bungkus)” khas ala zaman Repiblik (saat itu Republik sering diucapkan Repiblik). Noni tersebut segera diserbu oleh seluruh anak TP yang sudah lapar dan lelah yang lagi senang-senangnya makan. 

          Malam itu tampak banyak obor yang mencurigakan di seberang sawah. Namun Kepala Desa menjelaskan bahwa itu adalah penduduk yang mencari jangkrik, belut, ikan kutuk bayong sawah dan katak hijau yang sangat bergizi. Situasi dianggap aman, komandan seksi mengizinkan anak buahnya istirahat.

Dukungan Tentara Pelajar Purworejo

          Selain dari Yogyakarta, di akhir Agustus 1947 Kastaf Bat 300 Moedojo Detasemen II Tentara Pelajar Yogyakarta datang ke markas Kompi (Kie) 330 pimpinan Letnan Wiyono yang menempati Hotel Van Laar Purworejo. Moedoyo membawa perintah Komandan Batalyon 300 Martono suatu penugasan pasukan untuk menggunakan TP yang ada di Front Gombong.  Martono  adalah putra kelahiran Karanganyar, Kebumen, yang kemudian menjadi Menteri Transmigrasi di era Soeharto. 

          Pada waktu itu komandan tentara yang ada di Purworejo adalah Letkol. Koen Kamdani sebagai komandan Resimen Kedu Selatan, yang pada zamannya dikenal sebagai “Macan” Kedu Selatandan Mayor Sroehardoyo sebagai komandan Batalyon. Sedangkan  sebagai komandan CPM  adalah Mayor Sutarto ayah dari Jendral Endriartono Sutarto, Panglima ABRI.

Kapten Inf. Martono, Komandan Detasemen III Brigade 17, kelak jadi Mentrans, bersama                                                  

Wiyono dan Imam Pratignyo dan Anton Sujarwo yag kelak jadi Kapolri.

          Saat itu murid-murid SMP di Gombong dan Kebumen pindah ke SMP Purworejo dan tinggal di asrama pelajar Kedungkebo, Purworejo, antara lain Roesmin Nuryadin (Mantan KSAU/Dubes/Menteri), Imam Pratignyo,  Wiyono, Imam Subechi, Anton Sudjarwo (Mantan Kapolri), Achadi (kemudian jadi Menteri zaman Bung Karno), Sudihardjo, Buntaran. (Gelegar di Bagelen Perjuangan  Resimen XX , Kedu Selatan 2003. 1945-1949 dan Pengabdian lanjutanya, Penerbit Ikatan Keluarga  Resimen XX Kedu Selatan, 2003).

Pasukan Tentara Pelajar Sie I Kie III Det III di bawah pimpinan

Rusmin Nurjadin. (by: Ipphos/Perpusnas)

Pembagian Pos-pos Pertahanan di Sidobunder

          Tentara Pelajar di Sidobunder dibagi menjadi 3 pos, yaitu pos Barat yang merupakan pos terdepan dipimpin oleh Djokomonopos Utara di bawah komandan Djoko Pramono; dan pos Selatan dipimpin oleh Suryo Haryono.

            Setelah sampai di Sidobunder, Anggoro menempatkan pasukannya sesuai dengan perhitungan dan pengalamannya. Pemegang bren ditempatkan di sebelah kanan pos pertahanan. Pasukan Seksi 321 Anggoro yang berjumlah sekitar 60 orang, kemudian ditempatkan di sini untuk menggantikan pos pertahanan TP I Sidobunder dan Puring yang dipimpin oleh Soemardi. Markasnya berada di rumah Kartowiyoto yang lebih dikenal dengan nama Pak Ponco, sekarang Gedung Sekolah Dasar Inpres. Rumah ini terletak di sebelah barat pertigaan Jalan Sidobunder. Untuk memperkuat posisi, maka di masing-masing jalan menuju pertigaan tersebut dibuat pos pertahanan tambahan agar markas utama bisa terlindungi ketika serangan musuh datang.

          Selesai istirahat, Seksi 321 membagi peralatan dan menempati beberapa titik misalnya ada yang bertugas jaga di Dukuh Sidobunder Tunjungan. Regu I Poernomo (DJokonomo) dan Regu II Djoko Pramono bertugas mengawasi jembatan Sidobunder. Pemegang Bren Gun ditempatkan di ,kanan pos pertahanan. Sedangkan Perpis di sebelah selatan agak jauh menyebelah dengan pasukan TKR menempati pertigaan dekat lumbung desa (sekarang daerah tugu Sidobunder). Di sebelah utara pertahanan TP adalah kedudukan pertahanan Hizbullah dan AOI (Angkatan Oemat Islam).

Hujan Lebat ,  Wedang Kopi & Singkong Rebus

             Baru semalam di Sidobunder telah terdengar informasi, bahwa tentara Belanda telah memusatkan pasukannya di Karang Bolong.  Pada 1 September 1947 dua anggota Seksi Anggoro beserta empat pasukan Perpis termasuk Losung menuju ke Karangbolong untuk mengecek kebenaran berita bahwa Belanda sudah berada di sana sekaligus melakukan pengenalan medan ke Karangbolong. Dalam pengintain mereka, terlihat tiga serdadu Belanda sedang tugas jaga dan satu orang sedang mandi di sumur timba. Hal ini menandakan bahwa Karangbolong telah diduduki oleh Belanda. Tanpa memikirkan bahaya yang kemungkinan bisa terjadi pasukan TP yang ditugaskan untuk menguji kebenaran berita tersebut, menembaki tentara Belanda yang sedang  ada di Karangbolong.

Penembakan yang dilakukan oleh TP di daerah Karang Bolong ini membuat Belanda mengetahui bahwa di Desa Sidobunder terdapat markas pasukan TP. Pasukan tentara Belanda tidak bermaksud untuk membalas penembakan yang dilakukan oleh TP tersebut. Secara diam-diam pasukan Belanda melakukan gerakan dari Karang Bolong dan Gombong menuju Puring. Pasukan-pasukan Belanda secara perlahan menempati titik-titik strategis di pinggiran timur, barat dan selatan Sidobunder. Selain itu di sebar mata-mata menyamar sebagai penduduk, untuk peguasaan medan. Setelah semua pasukan menguasai medan dan siap pada posisinya,  maka pasukan Belanda  siap menyerang pertahanan Tentara Pelajar dari segala jurusan.

            Pada malam harinya sampai saat peralihan waktu ke tanggal 2 September 1947 keadaan cuaca sangat buruk. Langit mendung, petir dan guntur bersahutan diiringi turunnya hujan yang sangat lebat. Sungai meluap karena banjir, sawah dan kebun tergenang air. Komunikasi antar pasukan sulit dilakukan.  Komandan regu I Djokonomo serta Iman Soekotjo memeriksa anak buahnya. Setelah dipastikan aman, keduanya mencari tempat berteduh di sekitar jembatan di dalam sebuah kandang kerbau yang kosong.

          Pada malam hari tanggal 1 September 1947 itu terjadi hal-hal mencurigakan. Di pos penjagaan bagian selatan Simpang Tiga Puring-Karangannya-Gombong, La Sinrang dan Karsono melihat orang berjalan membungkuk di bawah pepohonan kelapa. Ketika mendengar tembakan yang diarahkan kepadanya, orang tersebut melarikan diri.

          Menjelang tengah malam, di sebelah barat pertigaan, sekitar tugu peringatan Sidobunder kini, Joko Sukiman bersama sembilan anggota Tentara Pelajar dari Sulawesi (PERPIS), mendengar suara “Uuuuuu” berulang-ulang yang mencurigakan di dekat kandang dan lumbung padi. Seperti ayam jago berkokok. Namun jika didekati, suara aneh itu menghilang, tapi muncul dan terdengar lagi ditempat lain.  Kemudian sekitar pukul 01.00 malam  Soekiman dan 9 TP Sulawesi didatangi perempuan berpakaian Jawa mengantarkan wedang kopi panas dan singkong rebus untuk TP yang sedang berjaga. Soekiman curiga kepada orang tersebut. Disuruhnya perempuan itu cepat pergi tidak usah menunggu. Karena curiga diracun, maka Joko melarang rekan-rekannya yang lain meminum dan memakannya. Karena ia teringat kejadian di salah satu pos pertahanan di Puring, dimana ada empat prajurit TKR meninggal karena ulah mata-mata musuh yang mengantar makanan dan kopi panas. Mereka diduga merupakan orang suruhan Belanda yang bertujuan membunuh para anggota TP melalui singkong rebus yang telah diberi racun seperti yang terjadi pada 4 orang anggota TNI di Puring.  Melihat hal-hal yang mencurigakan malam itu, pasukan Tentara Pelajar tetap siaga di pos masing-masing, mengantisipasi serangan pasukan Belanda yang secara diam-diam, melakukan gerakan dari Karang Bolong dan Gombong menuju Puring.

          Peristiwa penembakan TP kepada mereka di Karang Bolong kemarin, justru menjadi petunjuk bagi mereka untuk siapkan strategi menyerang Sidobunder. Menjelang subuh, pasukan Belanda sudah menyusup masuk ke Sidobunder dari arah timur dan ke bagian utara desa.

          Pasukan-pasukan penembak Belanda secara perlahan menempati titik-titik strategis di pinggiran timur, barat dan selatan Sidobunder, selain itu mata-mata menyamar sebagai penduduk untuk penguasaan medan. Setelah semua pasukan pada posisinya, maka pasukan Belanda siap menyerang pertahanan Tentara Pelajar dari segala jurusan.

             Dari segi jumlah personil, pasukan Belanda lebih banyak, yaitu terdiri dari kekuatan satu batalyon. Perlengkapan senjata cukup besar berupa meriam atau mortar dan tank. Di sisi lain, pasukan Tentara Pelajar kalah personil, terdiri dari satu seksi dan tambahan pasukan PERPIS satu kompi. Jelas Tentara Pelajar dari  jumlah personil, persenjataan, dan strategi, kalah dengan pasukan Belanda. ( Bersambung ke Seri 2 )

*) Penulis adalah peneliti, penulis dan pemerhati sejarah, tinggal di Bogor.

Related Posts

Next Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *