Oleh : Thomas B.Ataladjar )*
( Seri 2)
Pertempuran Hidup Mati Pertahankan NKRI
Pada tanggal 2 September 1947 subuh, pasukan Tentara Pelajar dan rakyat dikagetkan oleh suara rentetan tembakan dari pasukan Belanda. Menyusul pemberitahuan bahwa pertahanan pasukan Tentara Pelajar di Sidobunder telah dikepung Belanda. Komandan Sie 321 Anggoro memutuskan agar pasukan yang terkepung segera melakukan stoot (gerakan pindah cepat) ke arah timur guna meloloskan diri dari kepungan musuh.
Sekitar jam lima pagi, Maulwi Saelan dengan teropongnya melihat sejumlah besar tentara Belanda sedang bergerak melintasi jalan antara Karanganyar dan Puring menuju ke arah Desa Sidobunder. Melihat kedatangan iringan pasukan musuh tersebut dan menghadapi situasi terkepung ini, Maulwi Saelan memerintahkan anak buahnya Herman Fernandez seorang Tentara Pelajar asal Timor untuk memperkuat pertahanan dengan menyiapkan senapan mesinnya (juki). Ia juga memerintahkan La Sinrang segera menghubungi Anggoro agar bren gun ditarik ke depan.
Dalam pertempuran Sidobunder ini Herman Fernandez dipercaya mengoperasikan senjata mesin juki. (Peran Pelajar dalam Perang Kemerdekaan, diterbitkan oleh Pusat Sejarah dan Tradisi Angkatan Bersenjata R.I, cetakan I 1985.)
Senapan mesin (Heavy Machine Gun),Juki, salah satu senjata Jepang di Perang Dunia II.
Yang juga dioperasikan oleh Herman Fernandez di Palagan Sidobunder. (Wikimedia.org)
Senapan mesin atau juki yang dipegang oleh Herman Fernandez dalam pertempuran Sidobunder adalah senapan mesin berat buatan Jepang. Tipe 92 (KyΕ«ni-shiki jΕ«-kikanjΕ«) disingkat Juki, adalah heavy machine gun atau senapan mesin berat yang dipakai secara luas oleh militer Jepang (Angkatan Darat Kekaisaran Jepang) sejak tahun 1932. Senjata ini diletakkan diatas sebuah tripod, dan dioperasikan oleh 3 orang kru. Dengan peluru kaliber 7.7mm, senjata ini mampu memuntahkan 450 peluru dalam satu menit dengan kecepatan (velocity) 732 meter per detik. Jarak jangkau maksimum 2.5 km, dengan jarak jangkau efektif 800 m.
Tujuan komando Maulwi Saelan kepada Herman Fernandez, adalah untuk menggagalkan serangan dari arah timur atau setidak-tidaknya menghambat gerakan Belanda dari arah timur. Sementara TP Soejitno oleh Komandan Sie ditugaskan untuk menghubungi pertahanan terdepan di bawah pimpinan Poernomo (Djokonomo) agar segera menarik mundur pasukannya dan menggabungkan diri dengan induk pasukan yang berada di pusat desa Sidobunder.
Ridwan, Koenarso βKampretβ dan Achmad, Gugur
Kemudian induk pasukan Tentara Pelajar mendapat serangan dari utara Sidobunder. Ridwan yang bersenjatakan bren gun, berusaha menggagalkan Belanda masuk ke Desa Sidobunder, dengan melancarkan serangan bergelombang. Ridwan akhirnya gugur diterjang peluru Belanda. Kunarso yang pada saat itu bertahan di sebelah Ridwan, sempat mengamankan bren gun yang tadi dipegang Ridwan.
Komandan Seksi 321 Anggoro segera membagi granat serta tambahan peluru. Seorang kurir yang masih muda dari Markas Besar Tentara (MBT) tanpa senjata bernama Achmad yang pada saat itu kemalaman bergabung dalam TP dan diberi granat. Namun ia memilih kareben pegangan Anggoro. Anggoro pun memberikannya. Mundurnya pasukan Hizbullah dan AOI telah membuka jalan Belanda. Prajurit TP Ridwan dengan senjata Bren berhasil menyapu serangan Belanda gelombang pertama. Gelombang kedua pun dapat dibabatnya. Namun pada serangan gelombang ke tiga Ridwan tertembak Belanda dan gugur seketika. Senjata Bren kemudian diambil oleh Kampret (Kunarso). Bersama dengan Acmad, Kampret berhasil menghambat serangan Belanda dari arah utara. Akan tetapi akhirnya kedua prajurit pejuang itu pun gugur. Kampret memiliki nama asli Koenarso. Ia adalah teman satu sekolah R.G. Soedarsono di SMP Gombong yang sering memanggilnya βMas Koenβ karena usia dan angka kelasnya lebih senior.
Pasukan pelajar Perpis dengan senjata dan seragamnya yang lengkap berusaha keras menghambat serangan pasukan Belanda dari arah timur. Namun serangan Belanda datang begitu gencarnya. Bahkan pasukan Perpis pun akhirnya dapat terkepung. Untung saja Maulwi Saelan masih bisa lolos dari kepungan Belanda dengan cara melepas bajunya (ngligo Jowo) sehingga kelihatan kulit badannya yang kuning langsat dikira sinyo Belanda tengah bersama pasukannya.
Kemudian Regu I Poernomo datang dari pos terdepan untuk bergabung dengan pasukan induknya dan terus bersama-sama mengadakan perlawanan secara sengit.
Pasukan TP berusaha menggeser pertahanannya ke sebelah selatan, tetapi Belanda sudah menghadang. Anak-anak, TP tetap teguh dan terus mengadakan perlawanan dengan gigih, sampai akhirnya mereka benar-benar kehabisan peluru. Anak-anak TP juga tidak juga menyerah. Pertempuran berlanjut dengan perkelahian satu lawan satu menggunakan sangkur, sehingga jatuh korban besar. Dari 36 orang anggota Seksi 321, hanya 11 yang hidup, antara lain mereka yang bertahan di sudut desa dan yang berpura-pura mati dengan tidur di samping kawannya yang telah berlumuran darah.
Losung dan La Indi Gugur, La Sinrang Tertangkap
Bagaimana nasib pasukan Tentara Pelajar Sulawesi (PERPIS) pimpinan Maulwi Saelan dimana Herman Fernandez bergabung? Hendijo dalam tulisannya: βKisah dari Front Baratβ, 9-8-2014 (arsipindonesia.com http: //arsipindonesia.com /hikayat…/kisah-dari-front-barat/) mencatat bahwa menghadapi situasi terkepung oleh pasukan Belanda, nasib pasukan Tentara Pelajar Sulawesi (PERPIS) pimpinan Maulwi Saelan, tak jauh berbeda dengan pasukan Anggoro. Saat terkepung oleh tentara Belanda, mereka juga terpaksa mengundurkan diri sambil bertempur secara individual dan tercerai berai karena kurang mengenal medan. Akhirnya mereka berhasil keluar dari kepungan. Begitu lolos, mereka mengkoordinasi kembali kekuatan pasukan dan berniat membalas serangan.
Kemudian terjadi kontak senjata, hujan mortar lawan senjata otomatis. Dari arah Gombong dilepaskan serangan meriam yang pecahan pelurunya berjatuhan di kiri kanan pertahanan TP. Tiba-tiba Tajudin tertembak senjata musuh dan sempat berteriak βBahsamaβ. Pasukan diperintahkan segera mundur dan tidak sempat lagi memberitahukan ke markas Anggoro.
Tiba-tiba kedudukan Maulwi Saelan dan pasukan Perpisnya diserang musuh dan terperangkap masuk ke daerah yang dikuasai Belanda. Beberapa anggota gugur. Melihat situasi yang tidak memungkinkan bertahan lebih lama di lokasi tersebut, pasukan kecil ini bergerak ke arah timur. Namun dengan tidak disangka-sangka, pasukan dihujani tembakan mortar. Pasukan Tentara Pelajar Sulawesi ini mendapat gempuran dari Belanda dalam pertempuran yang tidak seimbang kekuatannya. Mereka terpaksa mundur, lebih-lebih karena belum mengenal medan desa-desa itu. Pasukannya akhirnya bertempur secara indvidu dalam formasi cerai-berai.
La Sinrang, La Indi, Herman Fernandez dan Losung terpisah dari pasukannya, dan setelah melewati sawah yang penuh air banjir. Di bawah hujan tembakan musuh, akhirnya mereka bisa mencapai sebuah kebun kelapa dan bertempur dalam jarak sangat dekat melawan pasukan Belanda di bawah pimpinan seorang opsir, yang datang dari Puring.
Dalam persembunyiannya di antara semak-semak, La Sinrang dan Herman Fernandez masih sempat mendengar suara Losung berteriak βJangan tembak oom, peluru habis.β Terdengar juga suara lain βCukimai Kawanua, budak Soekarno,β lalu terdengar rentetan suara tembakan. Losung dan La Indi gugur di tempat itu karena kehabisan peluru.
Maulwi (baju hitam) dan pasukan Tentara Pelajar Seberang di Yogyakarta (Koleksi pribadi Maulwi Saelan) https://historia.id/histeria/articles/jangan-tembak-oom-P7eN4/page/1
Herman Fernandez dan Suwarsono,Pelaku Sejarah Pertempuran Sidobunder (Foto Ravie Ananda)
Peluru Terakhir La Sinrang Buat Nex, Selamatkan Fernandez
Beberapa saat kemudian Herman Fernandez dipergoki oleh opsir Belanda yang menghujat sambil berteriak βGod verdom zeg, Ambones, angkat tangan.β Fernandez sempat balas berteriak βinlanderβ. Dan pada saat bersamaan, peluru La Sinrang yang tinggal satu-satunya, melejit dan menembus dada opsir Belanda, Nex yang seketika roboh dan tewas. Herman Fernandez dan La Sinrang lantas lari berpencar terpisah satu sama lain. Karena merasa karabijnnya habis peluru dan menemukan stengun yang disangka masih ada pelurunya, dia membuang senjata panjangnya. Sten gun itu milik temannya yang telah gugur.
Tiba-tiba dari jurusan Puring muncul tentara Belanda dan berteriak βAngkat tangan.β Setelah diketahui bahwa sten gun-nya juga tanpa peluru, La Sinrang menjawab βtidak ada peluruβ. Dia dihujani tembakan tapi aneh tidak ada yang kena. Salah satu serdadu musuh berteriak βAmbones!!!β langsung memukulnya dan menusuknya dengan bayonet. La Sinrang kemudian diikat, diseret menyeberang sungai dan dinaikkan truck menuju Gombong. Kejadian itu sempat disaksikan oleh beberapa penduduk setempat, di antaranya seorang bocah bernama Rasikun (kemudian namanya diganti menjadi Ana Mat Musin, dan pernah jadi kepala desa Sidobunder). Pertama La Sinrang ditahan di rumah bersama dua orang tahanan lainnya. Seorang juru rawat putri mengobatinya sambil berbisik βBung dari TP?β yang dijawab βyaβ. Nanti saya obati keluarga saya ada di Yogya, katanya.
Sementara Maulwi Saelan, setelah anak buahnya banyak yang gugur karena kehabisan peluru ia dengan pasukannya sisanya, akhirnya berhasil mencapai markas Karanganyar.
Selamatkan Rumambi, Herman Fernandez Ditangkap Belanda
Ketika pertempuran semakin sengit Alex Rumambi terkena tembakan di dada belakang membuatnya terjatuh dan pingsan untuk beberapa lama. Saat pasukan Belanda berhasil menangkap La Sinrang dan dibawa ke Gombong, Herman Fernandez berhasil meloloskan diri. Ia menyeberangi sungai yang cukup dalam dan berhasil bergabung kembali dengan induk pasukan Perpis lainnya. Fernandez segera melaporkan kepada komandannya Maulwi Saelan tentang gugurnya La Indi dan Losung serta tertangkapnya La Sinrang. Maulwi Saelan segera mengumpulkan pasukannya yang tersisa. Ternyata Alex Rumambi tidak ada dan tidak diketahui keberadaanya. Saelan lalu memerintahkan Herman Fernandez untuk segera mencari Alex Rumambi.
Maulwi Saelan pernah mengungkapkan bahwa postur tubuh Fernandez lebih besar dan dikenal sangat disiplin. Kedisiplinan ini yang menjadi pertimbangannya untuk menugaskan Herman Fernandez kembali menyeberangi sungai yang dalam dan deras, untuk mencari Alex Rumambi. Tugas ini dijalankan oleh Herman Fernandez dengan penuh tanggung jawab. Ia berhasil menemukan Alex Rumambi yang terluka parah karena tertembak serta tersayat bayonet. Ia menyangka temannya karibnya itu sudah meninggal, namun Alex Rumambi yang sempat membuka mata membuat ia lega karena ternyata masih hidup. Herman Fernandez menggendong Alex untuk menjahuhi daerah pertempuran. Setelah sadar, Alex katakan kepada Herman Fernandez untuk meninggalkannya saja. Tapi dengan tegas dan pasti Herman Fernandez mengatakan bahwa ini atas perintah komandan dan harus dilaksanakan. Maka dipanggulah Alex Rumambi menyeberangi sungai yang sedang banjir, ke tempat yang aman, untuk dibawa ke Markas Perpis.
Namun kondisi medan berupa kebun kelapa yang terbuka membuat mereka mudah dilihat oleh pasukan Belanda. Baru beberapa meter berjalan, pasukan Belanda sudah menghadang dari depan. Alex Rumambi diletakan di atas pematang sawah. Dan kembali terjadi pertempuran yang tidak seimbang di antara pepohonan kelapa. Akhirnya kaki Herman Fernandez diterjang peluru Belanda dan ia langsung ditangkap dan dibawa oleh Belanda ke Markas Belanda di Gombong.
Menurut kesaksian dari Mad Musin (Rasikun), La Sinrang dan Herman Fernandes, anggota PERPIS, diangkut ke markas Belanda di Gombong, sementara dia sendiri dibawa ke Gombong. Di Gombong, Rasikun dan Herman dipertemukan, mereka dibawa ke Militaire Politie untuk diperiksa.
Rosario Menguatkan Rumambi
Alex Rumambi yang sedang terluka parah, tidak digubris olehBelanda, karena disangka sudah tewas. Dalam keadaan sekarat akhirnya ia ditemukan oleh seorang petani bernama Kramasentana. Tubuhnya ditutupi dengan tumpukan jerami di sawah sebelah barat jalan. Setelah Belanda pergi Alex Rumambi diambil oleh petani tersebut dari tumpukan jerami dan dibawa pulang ke rumah untuk diobati.
Prof. Dr. drh. Djokowoerjo Sastradipradja dari IPB Bogor, seorang Tentara Pelajar Seksi 321 yang ikut bertempur di Sidobunder dalam tulisannya berjudul: βKenangan Pertempuran Sidobunder 2 September 1947β tentang teman seperjuangannya yang gugur dalam pertempuran ini antara lain menulis: βTeman pertama yang kami jumpai adalah Hary Suryoharyono, komandan regu saya yang terbaring di sisi utara sungai. Tubuhnya utuh dan sangat tampan-atletis seperti orang tengah tidur saja. Luka di kepalanya menembus telinga kiri. Kepada penduduk, saya katakan bahwa yang gugur itu adalah calon pemimpin bangsa. Oleh karena itu, saya minta agar mereka membawa jenasah Hary ke Karanganyar sebagai markas komando terdekat. Tak jauh dari tempat Hary, kami menemukan jenasah Willy Hutaoeroek dari Perpis dalam posisi tertelungkup. Linus Djentamat dari Perpis yang Katholik membawa tasbih rosario berjongkok dan berdoa sejenak. Informasi terakhir yang saya tahu, jenasah Hary dibawa ke Kebumen. Sementara itu, jenasah Willy Hoetaoeroek dimakamkan di desa Bumirejo. Kemudian kami dibawa ke sebuah lumbung padi yang agak jauh dari sungai. Di sana ada Alex Rumamby dari Perpis yang terluka di bagian perutnya. Linus naik ke lumbung memberi penghiburan dan semangat agar Alex bertahan dan akan segera mengurus proses evakuasi serta pengobatannya. Kami juga meminta kepada penduduk desa itu untuk membawanya ke Karanganyar.β
Herman Fernandez akhirnya dibawa juga ke penjara di Gombong, ditahan dan menjalani pengadilan militer Belanda. Sementara itu, penyerangan Belanda terus berlangsung hingga menjelang siang hari dengan bayonet terhunus di ujung larasnya. Regu I Djokonomo (Purnomo) datang dari pos terdepan untuk bergabung dengan pasukan induknya dan terus bersama-sama mengadakan perlawanan secara sengit.
Pasukan TP berusaha menggeser pertahanannya ke sebelah selatan tetapi Belanda sudah menghadang. Anak-anak TP tetap teguh dan terus mengadakan perlawanan dengan gigih sampai akhirnya mereka benar-benar kehabisan peluru. Mereka tidak menyerah. Pertempuran berlanjut dengan perkelahian satu lawan satu menggunakan sangkur sehingga banyak berjatuhan korban. Dari 36 orang anggota seksi 321, hanya 11 orang yang hidup antara lain mereka yang bertahan di sudut desa. Ada juga yang berpura-pura mati dengan tidur di samping kawannya yang berlumuran darah. Para pasukan TP yang bergeser ke sawah sebelah selatan semuanya gugur kecuali Alex Rumambi (Mantan Duta Besar RI untuk Belgia). Ia diselamatkan seorang warga petani bernama Kramasentana.
Adapun para pejuang yang selamat adalah mereka yang bergeser ke utara termasuk di dalamnya adalah Suwarsono anggota TP Kebumen (pensiunan Kepala Puskesmas Kembaran-Kebumen) beserta enam anggota lainnya yang berada di kawasan makam di tengah sawah utara Sidobunder. Pertempuran usai sekitar pukul 11.00 Wib. Pukul 12.45 Wib TP Soemitro (Marskal) dan TP Wahyu Widodo berpapasan dengan dua bapak tani memikul usungan bambu berisikan jenazah Hary Soeryoharyono di jalan sebelum desa Tegalsari. Pukul 12.55 Wib di desa Tegalsari mereka kembali berpapasan dengan dua bapak tani memikul usungan bambu yang memuat Alex Rumambi yang terluka parah kena tembak dan sayatan.
Evakuasi Jenazah Ke Yogya, 3 September 1947
Keesokan harinya 3 September 1947 diberangkatkan satu regu pasukan dari Kompi 320 untuk mengevakuasi para korban.Regu evakuasi ini didampingi oleh beberapa TP dari Sie 321 yang berhasil menyelamatkan diri.
Jenazah para korban pertempuran baru bisa dilacak pada tanggal 3 September 1947. Proses evakuasi agak sulit dan dengan susah payah dilakukan karena kondisi desa yang banjir.Jenazah-jenazah yang berserakan di sawah dan pekarangan dikumpulkan. Kebanyakan adalah pelajar sekolah menengah di Yogyakarta.Menurut Djokoewoerjo, seorang anggota TP Sie 321 yang ikut dalam regu evakuasi, kondisi korban sangat memprihatinkan. Djokowoerjo melihat dengan mata kepala sendiri kondisi dari Suryoharyono yang tertembak di kepala, Ridwan yang tertembus tiga butir peluru, Soehapto dengan muka penuh luka pecahan mortar, dan Willy Hoetaoeroek yang gugur dalam kondisi tertelungkup. Selain itu, dia juga mengenali beberapa teman lainnya yang juga telah meninggal seperti Djokomono, Pramono, Soegiyono, Poernomo, dan Ahmad.
Jenazah anak-anak TP ini hanya ditutupi daun pisang dibawa keluar dari desa Sidobunder dan desa Bumiredjo dan Sidobunder dengan perahu lesung ke desa Sugihwaras yang juga dijadikan pertahanan TP dan basis rakyat pejuang. Dari Sugihwaras baru bisa diangkut dengan βRisban Engkrakβ , sebuah alat pak tani yang biasa untuk mengangkut tanah yang terbuat dari bambu. Lalu jenazah ditandu untuk dibawa ke Karanganyar.
Jenazah-jenazahini kemudian kemudian dengan kereta api dibawa ke Yogyakarta dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki Yogyakarta. Seorang korban yaitu Willy Hoetahoroek dari PERPIS terpaksa dimakamkan di pemakaman Bumiredjo karena luka-lukanya. Sementara itu, pak Kartowiyoto (Sekater Ponco) dan warga masyarakat yang yang turut gugur menjadi korban dalam pertempuran tersebut, dimakamkan di pemakaman Desa Sidobunder.
Korban warga tidak terlalu banyak karena pada awal pecahnya pertempuran banyak yang sudah mengungsi. Sementara para pemuda yang awalnya telah berkumpul membawa senjata seadanya untuk menghalau Belanda, berhasil dibubarkan oleh Kartowiyoto (Sekater Ponco). Ia sendiri akhirnya tertangkap Belanda dan tewas ditembak dan dimakamkan di Sidobnder.
Dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusumanegara, Yogyakarta
Dari Stasiun Karanganyar jam 10 malam semua jenazah lalu diangkut dengan kereta api menuju ke Yogyakarta. Kereta api mampir di Kebumen untuk mengambil jenazah yang dibawa. Sekitar jam 11-12, kereta api menuju Yogya dan tiba di Stasiun Tugu pukul 4 pagi.
Di stasiun Tugu Yogyakarta para penjemput dan pelayat sudah menanti dengan suasana penuh berkabung. Keluarga para korban, pelajar SMP 1 Terban Taman, SMP II, SMP Bopkri, STM Jetis, Taman Siswa, SMT Kota Baru (Keluarga Pelajar Padmanaba) yaitu asal sekolah anggota pasukan Tentara Pelajar yang gugur, dan tidak ketinggalan pula dengan penduduk ibu kota perjuangan RI tersebut ikut menjemput di stasiun Tugu. Jenazah disemayamkan di Gedung Badan Penolong Keluarga Korban Perang di Secodiningratan Yogyakarta.
Kemudian para putra Kusuma bangsa ini dihantar menuju tempat peristirahatan terakhir di Taman Makam Pahlawan Kusumanegara, Semaki, Yogyakarta. Masyarakat Yogya berbondong-bondong berjajar di kiri-kanan jalan yang dilalui jenazah para pahlawan. Para pelajar Yogyakarta berjajar rapi berdiri di tepi jalan untuk memberi penghormatan terakhir kepada para pahlawan yang masih sangat muda yang gugur mempertahankan Kemerdekaan Bangsa Indonesia.
Putra Kusuma bangsa yang gugur di Palagan Sidobunder dihantar menuju tempat peristirahatan terakhir di Taman Makam Pahlawan Kusumanegara, Semaki, Yogyakarta
Jumlah Korban Indonesia dan Belanda
Jumlah korban anggota Tentara Pelajar yang gugur dalam pertempuran Sidobunder terhitung cukup banyak. Tercatat sebanyak sebanyak 24 orang, 17 dari Tentara Pelajar Batalion 300 dan 7 dari kesatuan PERPIS. Para anggota Tentara Pelajar yang gugur antar lain: Abunandir, Achmad Suryomiharjo, Ben Roemayar, Bayu, Djoko Pramono, Haroen, Kadarisman, La Indi, Laksoedi, Koenarso (Kampret), Losung, Djokonomo (Purnomo), Pramono, Rahmat, Ridwan, Pinanggur, Beni, Soegiyono, Soehapto, Soepadi, Soeryoharyono, Tadjoedin, Wiliy Hutahuruk.
Untuk penduduk desa Sidobunder sendiri jumlah korban jiwa diperkirakan sejumlah 10 orang, termasuk Kartowiyoto yang ditembak mati. Rumah Kartowiyoto yang merupakan Markas TP di Sidobunder dibakar habis oleh Belanda. Korban penduduk yang tewas adalah: Ny. Ardjowinangun, Damiun, Kartowiyoto (pensiunan Carik Gade, rumahnya sebagai markas TP), Madjani (mantan Polisi Desa Sidobunder), Meran alias Madkarta, Ngalimun, Sungkowo (guru SD Sidobunder), Sawal, Sawikrama, Paing alias Bajang, dari Banjareja Puring, berada di pasar Sidobunder. Di samping itu, ada juga korban luka di bibirnya hingga hilang tak berbibir (meninggal pada 1960).
Sedangkan untuk korban lainnya yaitu 14 orang dari pihak BPRI dan tidak jelas namanya serta beberapa orang dari anggota TNI. 40 Jenazah para korban pertempuran baru bisa dilacak dan dikumpulkan pada hari Rabu tanggal 3 September 1947.
Menurut kesaksian Mad Musin (Rasikun) dari anggota PERPIS ada yang tertangkap dan diangkut ke markas Belanda di Gombong, yaitu La Sinrang dan Herman Fernandez. Rasikun sendiri ikut tertangkap dan dibawa pula ke Gombong bersama La Sinran. Tetapi karena Belanda beranggapan bahwa Rasikun pemuda desa biasa maka ia dilepaskan. (Sewan Susanto, Perjuangan Tentara Pelajar dalam Perang Kemerdekaan Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press), hlm. 30-31. 79)
La Sinrang tertangkap setelah pelurunya habis, sebelumnya dia sempat menembak Kapten Belanda yang bernama Kapten Nex . La Sinrang tertangkap ketika ia mencoba melarikan diri dan bertemu dengan pasukan Belanda dari arah Puring. Setelah diketahui bahwa Stegun yang dipegangnya tidak berpeluru dan kemudian dia dihujani tembakan tetapi tidak ada yang menengenai sasaran, seorang tentara musuh memukulnya, La Sinrang kemudian diikat, diseret menyebrangi sungai dan diangkut truk menuju Gombong. Di dalam penjara tepatnya di Benteng Gombong dia dipertemukan dengan Herman Fernandez Keduanya kemudian berdua dibawa ke kantor MP (Militaire Politie) untuk diperiksa dengan disaksikan oleh seorang Pastur Belanda dan seorang yang memotret kedua tahanan TP tersebut. Setelah pemotret dan Pastur pergi mereka dipukuli dan dituduh sebagai Anjing Soekarno. Herman Fernandes dijatuhi hukuman mati. Sedangkan La Sinrang pada bulan April 1948 dipindahkan ke penjara Sumpyuh kemudian ke Banyumas dan akhirnya dapat meloloskan diri karena dibantu tentara Belanda.
Pengiriman regu untuk mengambil jenazah dipimpin oleh Wahyu Widodo anggota TP 320 yang beranggotakan sekitar 10 orang diantaranya Djoko Woerjo, Wiratno, Ramelan, Sudaryadi dari staf perhubungan dan penerangan serta Soemardjo. (http://totokaryanto.blogdetik.com/2011/10/04/mengenang-pertempuran-sidobunder-2-september-1947-selesai-oleh-djokowoerjo-sastradipraja-prof-dr-drh)
Peranan penduduk dalam mengurus jenazah sangat besar . Merekalah yang mengumpulkan, merawat dan membawa ke Karanganyar. Dari informasi yang diberikan penduduk jenazah yang berada di Bumirejo telah dibawa ke Kebumen dan ada yang telah dimakamkan ditempat kejadian. Jenazah yang dibawa ke Kebumen adalah Suryo Haryono sedang yang dimakamkan di tempat adalah Willy Hutahuruk.
Belanda Kehilangan Kapten Nex dan Puluhan Pasukannya
Mengenai korban dari pihak Belanda tidak dapat diketahui jumlahnya secara pasti. Namun mereka kehilangan seorang Kapten yang ditembak oleh La Sinrang, saat Kapten Nex akan menembak Herman Fernandez. Belanda sangat marah dan gusar karena telah kehilangan Kaptennya. Namun kemudian kabar resmi dari Belanda mengatakan 686 orang tentaranya menjadi korban sejak cease fire order tanggal 4 Agustus sampai dengan 25 September 1947, yaitu dalam fase pembersihan sisa-sisa TNI di pinggir-pinggir kota dan sepanjang jalan raya. (M.C. Ricklefs. 1995. Sejarah Indonesia Modern. Terj. Dharmono Hardjowidjono. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. hlm. 338. 91) Jumlah korban mereka menurut pengumuman resminya meningkat dengan 170 orang dalam tempo dua minggu berikutnya. (A. H. Nasution. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia jilid 6. Bandung: Angkasa. hlm. 18.)
Bila ditarik garis penghubung dengan pengumuman resmi ini, maka dapat disimpulkan bahwa jumlah korban tentunya bertambah banyak setelah ditambah dengan jatuhnya korban di daerah Sidobunder. Dan pasukan Belanda yang jadi korban, kemungkinan besar juga adalah tentara bayaran KNIL yang adalah orang Indonesia, seperti yang juga ditembak oleh La Sinrang daan Herman Fernandez yakni orang Ambon, Flores dan dan Timor.
Tampaknya jumlah korban yang meningkat tersebut tidak menyurutkan niat Belanda untuk meneruskan aksi pembersihannya. Belanda menyadari bahwa RI berada dalam posisi yang lemah, sehingga mereka dapat menguasai dengan mudah tempat-tempat yang mereka serbu, seperti Sidobunder. Belanda tahu bahwa kekuatan RI penuh dengan keterbatasan, baik itu strategi, senjata maupun pejuangnya, sehingga mereka tidak ragu untuk meneruskan aksinya.
Namun perlu dicatat bahwa pejuang RI tidaklah menyerah, mereka melakukan gerakan perang gerilya dan pada kenyataannya Belanda menjadi lelah dan frustrasi dengan taktik perang gerilya ini.
Dari seluruh catatan di atas, penulis mencatat sejumlah nama yang ikut serta terlibat aktif dalam Palagan Sidobunder yang kemudian menjadi tokoh nasional. Antara lain, Martono yang kemudian menjadi Menteri Transmigrasi. Letjen TNI AD Ali Said kemudian menjadi Jaksa Agung, Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman. Nani Soedarsono kemudian menjadi Menteri Sosial. Rusmin Nuryadin kemudian menjadi Kepala Staf Angkatan Udara RI, Anton Sujarwo kemudian menjadi Kapolri, Alex Rumambi kemudian menjadi Duta Besar dan Maulwi Saelan.
Ali Said Nani Soedarsono Rusmin Nuryadin
Anton Soedjarwo Martono Maulwi Saelan
Terman Seperjuangan Herman Fernandez di Palagan Sidobunder
Melihat proses Pertempuran Sidobunder ini, satu hal yang perlu dicatat, yaitu semangat juang para pelajar yang begitu besar walaupun usia mereka sangat belia. Para pelajar masih memiliki jiwa yang polos dan mempunyai keberanian yang kadang-kadang kelewat batas. Pertempuran ini menunjukkan bahwa Tentara Pelajar merupakan elemen penting dalam perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Keberanian mereka yang besar membuktikan betapa besar rasa cinta tanah air dan rela berkorban para pelajar terhadap kemerdekaan bangsa dan negaranya. Semangat juang para pelajar dan sifat idealisme mereka merupakan modal besar bagi pergerakan para pemuda selama revolusi kemerdekaan .
Pertempuran Sidobunder pada tanggal 2 September 1947 merupakan salah satu dari sekian banyak pertempuran yang terjadi dengan pihak Belanda dalam kurun waktu Agresi Militer Belanda I. Pertempuran tersebut menunjukkan, bahwa perjuangan mempertahankan kemerdekaan dilakukan dengan pengorbanan yang sangat besar. Juga memperlihatkan betapa mahalnya kemerdekaan itu. Korban terlalu banyak untuk sebuah kemerdekaan. Pertanyaan yang muncul, apa dampak pertempuran Sidobunder bagi pihak-pihak yang terlibat di dalamnya yaitu bagi Tentara Pelajar, Belanda dan bagi Kesatuan Perjuangan Republik Indonesia?
Dampak Pertempuran Bagi Tentara Pelajar
Bagi Tentara Pelajar ( TP) selaku pelaku utama yang ikut terjun langsung ke medan perang dalam peristiwa pertempuran Sidobunder untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia, dampak lansung yang dirasakan adalah bahwa Tentara Pelajar mengalami kerugian yang sangat besar. Banyak anggota nya gugur dalam pertempuran tersebut.
Jatuhnya banyak korban TP ini, juga menunjukkan bahwa dari pihak TP masih terdapat banyak kelemahan. Antara lain, karena TP kurang memiliki pengetahuan tentang strategi peperangan. Mereka bukan tentara dalam arti sesungguhnya. Latihan yang mereka lakukan masih latihan sederhana, seperti baris berbaris. Selain itu mereka masih mengemban tugas belajar sebagai pelajar. Mereka yang ikut berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan, umumnya mereka masih sangat muda, berusia antara 14 dan 22 tahun. Mereka masih remaja dan belum waktunya terjun langsung dalam suatu pertempuran dahsyat. Bahwa mereka ikut terjun pada masa revolusi, lebih masih dipengaruhi spirit dan semangat juang dengan sentimen yang menggelora.
Namun dampak baiknya bagi Tentara Pelajar, selain mendapat pengetahuan dari materi yang diajarkan, mereka juga mendapatkan pengalaman yang jauh lebih berharga yakni terlibat langsung dalam kancah perang kemerdekaan (Kuswono, 2018: 117).
Cambuk Peringatan dan Pelatuk Pemicu
Bagi TP, pertempuran Sidobunder juga merupakan semacam cambuk peringatan sekaligus pelatuk pemicu, bahwa perjuangan mempertahankann NKRI, masih berlangsung lama. Untuk itu harus siaga dan terus memperbaiki kelemahan yang ada, seperti sistem pertahanan.
Perlu dicatat bahwa setelah peristiwa pertempuran Sidobunder, Martono sebagai Komandan Batalyon 300 dipanggil oleh Panglima Besar Sudirman dan mendapat peringatan keras. Agar dalam menempatkan pasukan TPnya sebagai pasukan pembantu TNI, tidak bergerak di pertahanan terdepan, mengingat pasukan TP masih sangat muda usianya.
TP cukup ditempatkan sebagai pasukan pembantu TKR. Bukan sebagai pasukan di garis terdepan yang jadi sasaran empuk tembak musuh. Langkah selanjutnya adalah menghindari pertempuran frontal dan pertempuran jarak dekat dengan Belanda, mengingat dari segala hal Belanda lebih unggul. Titik berat tugas Kesatuan TP agar lebih fokus pada tugas penunjang pertahanan seperti mencukupi kebutuhan perbekalan dan persenjataan, memutus atau merusak jembatan dan membuat rintangan di jalan-jalan.(Sewan Susanto, op. cit., hlm. 23.).
Tugas ini tentu bukanmerupakan pola yang kaku, karena pada praktik berlangsungnya perang kemerdekaan, segala sesuatunya sangat tergantung pada keadaan yang dihadapi. Maksudnya, meskipun sudah ada garis kebijaksanaanbahwa TP sifatnya hanya membantu TKR, namun dalam praktik kontak senjata dengan Belanda di lapangan, terkadang sulit dihindari.
Bagi anggota TP, peristiwa pertempuran Sidobunder jelas timbul rasa penyesalan mendalam. Namun demikian tidak larut dalam kesedihan yang mematahkan semangat dan mental mereka. Peristiwa pertempuran Sidobundar justru jadi pelatuk pemicu semangat mereka menjadi lebih membara dan ingin membalas dendam pada Belanda. Partisipasi TP tidak lantas kendor atau malah berhenti, bahkan semakin aktif membantu TKR dan laskar rakyat bahu membahu berjuang mempertahankan kemerdekaan.
Perang Gerilya, Politik Non-kooperasi & Politik Bumi Hangus
Saat terjadi Agresi Militer Belanda, RI jadi pihak yang diserang dan terdesak, dan tampak hanya mampu membela diri. Perjuangan RI selama perang kemerdekaan, tidaklah untuk mengalahkan musuh dalam arti membinasakan atau mengenyahkannya dari bumi Indonesia. RI hanya membela diri dalam arti defensif atau bertahan. Strategi dan siasat perangnya diganti dengan menerapkan perang gerilya dengan politik non-kooperasi serta politik bumi hangus.
Dengan prioritas tugas sebagai pembantu TKR, sistem perang gerilya ini Tentara Pelajar termasuk melakukan infiltrasi ke daerah-daerah musuh. Walau tujuan TP hanya menggagalkan dan bukan mengalahkan Belanda, justru tugas bantuannya, membuat pihak Belanda sulit tidur dan buntu pikirannya menghadapi TKR dan gerilyawan yang ofensif, maju menyerang mendadak dan hilang sekejap.
Kekuatan TKR , laskar rakyat dan TP bergerak untuk melelahkan Belanda dengan sistem perang gerilya sambil melakukan politik bumi hangus. Dan Belanda terus direcoki dan diganggu dengan aktivitas penyusupan, penghadangan dan pengacauan dadakan, dan sebagainya, yang membuatnya lelah dan frustrasi.
Peristiwa pertempuran Sidobunder memang merupakan gerakan operasi pembersihan Belanda yang memaksa TP untuk mundur dari daerah tersebut. Kecamatan Puring serta Kecamatan Kuwarasan dapat dikuasai, diduduki dan dijaga ketat oleh Belanda hingga kurang lebih tiga bulan berturut-turut dengan menempatkan pasukannya. Namun kondisi ini tidak lantas menghentikan tugas TP ke front barat. Pasalnya, markas TP Karanganyar tetap bertahan. Sementara TP bergerak menghindari pertempuran frontal dengan Belanda. Belajar dari pengalaman sebelumnya TP umumnya menjadi lebih berhati-hati dalam menjalankan tugasnya, didukung dengan perbaikan strategi agar tidak makan lagi banyak korban.
TP terus berpartisipasi aktif dalam kancah perjuangan mempertahanan kemerdekaan sampai akhir dari perjuangan itu sendiri. Termasuk menghadapi masa Agresi Militer II yang dijalani dengan perjuangan yang cukup berat. Mereka tidak hanya bertempur, tetapi terus berjuang sesuai dengan kemampuan mereka sampai tujuan tercapai.
Jelas bahwa pertempuran Sidobunder bukan merupakan penghambat gerak TP, tetapi sebagai cambuk agar tetap aktif ikut serta dalam gelora api revolusi kemerdekaan. Peristiwa tersebut adalah alat untuk mengoreksi agar mereka lebih berhati-hati dalam menjalankan tugas dan meningkatkan kemampuan mereka terutama dalam strategi pertahanannya.
Atas desakan dan di bawah pengawasan PBB diadakan perundingan Renville yang didahului dengan gencatan senjata, penghentian tembak-menembak dari kedua belah pihak. Namun hal ini tidak berlangsung lama, karena Belanda kembali melakukan serangan-serangan seperti misalnya di Madura dan Priangan Selatan. Jadi meskipun telah tercapai persetujuan gencatan senjata masih terjadi ketegangan antara Pemerintahan RI dan Belanda.
Melihat gelagat dan sifat kelicikan Belanda, dapat diramalkan bahwa Perjanjian Renville tidak akan dipatuhi sepenuhnya oleh Belanda. Keadaan ini menuntut Pemerintah RI berusaha meningkatkan bidang pertahanan. TP yang memang sudah lebur ke dalam sistem pertahanan RI menjadi aktif kembali dalam mendukung usaha Pemerintah.
Pada 14 Mei 1948 oleh Pemeritah RI dikeluarkan Ketetapan Presiden No. 14 tahun 1948 yang mengatur reorganisasi dalam tubuh angkatan perang RI. Reorganisasi tersebut berakibat disatukannya semua Batalyon TP dalam suatu brigade TKR. Semua Batalyon pelajar yakni TP, TRIP, CM dan TGP dikelompokkan dalam Kesatuan Reserve Umum (K. R. U. W) jadi semua Batalyon pelajar diorganisasikan dalam satu Brigade TKR tersendiri yaitu Brigade 17, yang merupakan Brigade terakhir dari TKR. Sebagai komandannya oleh Pemerintah RI diangkat Let. Kol. Sudarto dan kedudukan Brigade 17 ini berada di Yogyakarta.
Dampak Pertempuran Sidobunder bagi Belanda
Bagi pihak Belanda, sebagai pihak yang menguasai pertempuran Sidobunder, mereka kehilangan seorang kapten,yakni Kapten Nex. Perang Sidobunder bagi pihak Belanda juga memberi fakta bahwa kekuatan Indonesia di Front Barat lemah. Oleh karena itu mereka berusaha meningkatkan aktivitasnya dalam gerakan pembersihan, terbukti dengan penyerbuan-penyerbuan berurutan setelah pertempuran di Sidobunder .
Belanda Kehilangan Kapten Nex dan Puluhan Pasukannya.
Dalam pertempuran Sidobunder korban dari pihak Belandatidak dapat diketahui jumlahnya secara pasti. Namun mereka kehilangan seorang Kapten yang tertembak oleh La Sinrang. Belanda sangat marah dan gusar karena telah kehilangan Kaptennya dan cukup banyak pasukannya. Jumlah korban mereka menurut pengumuman resminya meningkat dengan 170 orang dalam tempo dua minggu berikutnya. Dan pasukan Belanda yang jadi korban, kemungkinan besar juga adalah tentara bayaran KNIL yang adalah orang Indonesia, seperti yang juga ditembak oleh La Sinrang yakni orang Ambon dan Timor.
Tampaknya jumlah korban yang meningkat tersebut, tidak menyurutkan niat Belanda untuk meneruskan aksi pembersihannya. Belanda sangat menyadari bahwa RI berada dalam posisi yang lemah, sehingga dengan mudah dapat mereka serbu, seperti halnya daerah Sidobunder. Belanda tahu bahwa kekuatan RI penuh dengan keterbatasan, baik itu strategi, senjata maupun pejuangnya. Maka mereka tidak ragu untuk meneruskan aksinya.
Namun perlu dicatat bahwa pejuang RI tidaklah menyerah. Mereka melancarkan perang gerilya yang membuat Belanda menjadi lelah dan frusrasi dengan taktik perang gerilya ini. Sementara itu, Belanda terus menduduki banyak wilayah Indonesia. Van Mook dan Spoor berpendirian, bahwa setiap daerah yang sudah diduduki akan tetap dipertahankan. Namun gerak agresi Belanda terhambat oleh kekuatan kantong-kantong gerilya sehingga sulit menguasai RI sepenuhnya. Betul Belanda telah menduduki beberapa daerah penting untuk siasat politik, militer dan ekonomi, serta posisi yang sangat baik untuk menghancurkan RI. Tapi gerakan gerilya RI dengan politik bumi hangus dan gerakan non kooperasi itu rupanya membuntukan dan melelahkan Belanda.
Selain itu, campur tangan luar negeri menambah rumit perhitungan Belanda yang hendak merampungkan hasil-hasil aksi militernya dengan segera. Belanda dan Van Mook ingin melanjutkan merebut Yogyakarta dan membentuk suatu Pemerintahan Republik di bawah kekuasaan Belanda. Tapi pihak Amerika Serikat dan Inggris tidak menyukai aksi polisionil Belanda dan memaksa Belanda untuk segera menghentikan penaklukan sepenuhnya terhadap Republik Indonesia. Ketelibatan PBB dalam konflik antara Belanda dan Indonesia Republik, akhirnya menjebak pihak Belanda pada posisi diplomatik yang sulit. India dan Australia sangat aktif mendukung Indonesia termasuk Uni Sovyet Republik di PBB. Mereka mendesak negeri Belanda supaya mengambil sikap yang tidak begitu kaku dan PBB menjadi forum umum untuk memeriksa tindakan-tindakan Belanda.
Kembali ke Pertempuran Sidobunder, ternyata pertempuran ini bagi Belanda memberi fakta sebenarnya kekuatan RI di Front Barat sebenarnya lemah. Sebenarnya pula mereka telah menguasai Front Barat di saat mereka telah menduduki kota Gombong. Mereka merasa gusar karena kekuatan mereka jauh di atas Republik, tetapi sulit sekali untuk mengalahkan RI secara tuntas. Oleh karena itu mereka berusaha meningkatkan aktivitasnya dalam gerakan pembersihan, terbukti dengan penyerbuan-penyerbuan yang berurutan setelah pertempuran di Sidobunder. Namun ternyata mereka hanya berkuasa di kota saja, dan daerah-daerah pedalaman masih merupakan wilayah RI, wilayah luas untuk gerilya yang nantinya akan sangat melelahkan Belanda.
Dampak Pertempuran bagi Kesatuan Republik Indonesia
Dampak dari Perang Sidobunder terhadap kesatuan Republik Indonesia dalam hal ini adalah dampak bagi kesatuan TKR, laskar pendukung TKR serta rakyat yang saling bahu-membahu dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sama halnya dengan pasukan Tentara Pelajar, terjadinya Perang Sidobunder juga memukul mental para prajurit baik dari TKR maupun dari laskar-laskar perjuangan serta membuat rakyat takut dan panik. Kepanikan rakyat ini bisa dilihat dari tindakan mereka untuk mengungsi ke daerah lain. Gugurnya para pasukan TKR dan laskar-laskar perjuangan didepan mata anggota yang lain menimbulkan trauma dan kesedihan bagi anggota lain. Dengan terjadinya Perang Sidobunder, kesatuan perjuangan di front barat menjadi semakin terdesak dan mengacaukan pembagian tugas dari masing-masing kesatuan .
Kesatuan perjuangan RI maksudnya adalah kesatuan TKR laskar-laskar pendukung TKR dan rakyat yang saling bahu-membahu dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Jadi dampak dari pertempuran Sidobunder terhadap TKR, laskar-laskar pendukung TKR dan rakyat justru semakin menyatukan mereka sebagai teman seperjuangan.
Memukul Moral Prajurit, Nama TKR Merosot
Sama halnya dengan pasukan TP, peristiwa pertempuran Sidobunder pada dasarnya memukul moral para prajurit baik itu BKR ataupun laskar-laskar lain dan membuat rakyat panik. Rakyat Desa Sidobunder dan sekitarnya panik lalu memutuskan untuk mengungsi. Dan dengan pertempuran Sidobunder, kesatuan perjuangan di Front Barat menjadi semakin terdesak dan kacau.
Selain itu, setelah Pertempuran Sidobunder, nama TKR merosot, karena tidak mampu menahan serangan musuh. Secara berangsur-angsur musuh meneruskan gerakan pembersihan dan memaksa kekuatan RI di front Karanganyar mundur ke daerah pegunungan seperti misalnya Gunung Candi, Gunung Pukul dan daerah Clapar. Setelah beberapa lama berada dalam keadaan terpukul lahir bathin, maka kekuatan kesatuan perjuangan dapat kembali terkumpul kembali. Kesatuan perjuangan tidak hancur dan tidak dapat dihancurkan. Kelesuan moral dapat dihapuskan dengan inspeksi pasukan di Kebumen oleh Jendral Oerip Soemohardjo pada 9 September 1947.
Jenderal Besar Sudirman Letjen Urip Sumoharjo Jend. Abdul Haris Nasution
(Sumber foto: Google)
Dalam bulan ini pula, Konsul Jendral Australia dan rombongan yang merupakan anggota tim penengah pertikaian antara Indonesia dan Belanda yang ditunjuk oleh PBB datang ke Kota Kebumen. Hal tersebut memberi semangat baru bagi para pejuang untuk menghimpun kembali kekuatan pertahanan di Front Barat. Sistem pertahanan RI diganti dengan perang gerilya.
Siasat perang gerilya ini memaksa musuh tersebar ke mana-mana, menggerakkan pasukannya keluar sebanyak-banyaknya, dan terpaksa mengadakan stelsel perbentengan yang tetap. Musuh disebar, dipecah, sementara itu gerilyawan mampu menerobos daerah kekuatan musuh. Musuh yang besar dihindari atau diganggu, musuh yang kecil dikepung atau dihancurkan serta dirampas senjatanya. Sasaran yang penting adalah konvoi-konvoi, kereta api, telepon-telepon, pengrusakan jembatan yang diperlukan oleh musuh di belakang garis pertahanannya. Siasat gerilya adalah mengikat musuh untuk melelahkannya tidak sampai mengalahkan. Pasukan gerilya tidak bisa berhadapan terbuka kecuali hanya menggempur sekonyong-konyong dan selekas mungkin menghilang kembali. Teknik gerilya selalu muncul kemudian menghilang, mondar-mandir di mana-mana, sehingga musuh sulit menemukan tetapi dirasakan menggempur dimana saja.
Jenderal Sudirman, memimpin perang gerilya dari Tandu. (Sumber foto: Hardjanto/commons.wikimedia.org)
Sesungguhnya perang gerilya adalah suatu hal yang teramat berat. Karena ia butuh kesanggupan, kesadaran dan keikhlasan yang sebesar-besarnya baik dari para gerilyawan maupun dari rakyat yang membantunya. Kesanggupan bukan hanya karena diwajibkan oleh negara, tapi perlu didukung oleh kesanggupan dari diri para gerilyawan sendiri. Hanya kesadaran suci yang mampu mengikat para gerilyawan memanggul senjata, semata-mata atas panggilan hati sanubari dan keteguhan jiwa yang sebesar-besarnya dalam membela tanah air
Rakyat Dukung Perjuangan Gerilyawan Tercipta Total People Defence
Dengan terbentuknya kantong-kantong gerilya terajut kembali kesatuan perjuangan di Front Barat. Pertempuran telah membuat rakyat panik dan terpaksa harus mengungsi, membuat rakyat desa benci dan dendam terhadap Belanda. Penganiayaan dan siksaan dialami rakyat serta perampokan harta miliknya oleh pasukan Belanda. Penghancuran pembakaran kampung serta penembakan masal penduduk oleh Belanda, kian menambah dendam kesumat untuk membalasnya. Maka pada saat pasukan TKR, Laskar Rakyat serta Tentara Pelajar menyambangi rakyat di desa-desa, masyarakat desa setempat selalu dengan senang hati dan ikhlas menerima kembali putra-putranya dengan penuh perngertian, perlindungan dan dukungan. Memang dukungan rakyat sangat dibutuhkan. Lewat rakyat para pejuang kita dapat mengetahui peta kekuatan musuh. Dengan demikian prajurit kita dapat bergerak menerobos di sela-sela jaringan kedudukan Belanda sambil mengobrak – abriknya.
Pada saat itu rakyat betul-betul mendukung perjuangan gerilya. Rakyat menyiapkan perbekalan, menyiapkan makanan, menyiapkan tempat tinggal dan bersedia menjadi suruhan sebagai tenaga penghubung. Saat terjadi pertempuran, rakyat dengan cepat menyimpan dan mengamankan barang-barang pejuang, menyembunyikan pejuang-pejuang, menghapus jejak-jejak kehadiran pejuang, agar musuh tidak menemukan pasukan. Dengan cara itu rakyat terhindar dari penyiksaan tentara musuh, manakala mengetahui rakyat membantu pejuang. Karena gerilyawan berperang melindungi rakyatnya, selalu berada di tengah-tengah rakyatnya dan di dalam wilayah tanah airnya sendiri. Rakyat desa akhirnya menjadi teman seperjungannya bahkan anggota keluargaya sendiri yang siap dibela.
Dengan demikian tercipta Total People Defence yaitu pertahanan rakyat semesta. Maksudnya seluruh rakyat ikut serta dalam sistem pertahanan, menjalankan tugas atau pekerjaan masing-masing dalam kebersamaan.
Sementara itu, menghadapi kemajuan pesat dari gerakan Belanda, Panglima Tertinggi APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia) menyampaikan amanat pada peringatan hari ulang tahun ke-2 TNI tanggal 5 Oktober 1947.Beliau memperingatkan bahwa perjuangan yang dilakukan oleh tentara dan rakyat adalah untuk meniadakan kesempatan bagi musuh memetik kemenangannya.
Belanda Balik Dibikin Bingung
Pertempuran Sidobunder, memang sempat menimbulkan kebingungan dan kelesuan dalam tubuh kesatuan perjuangan Indonesia, baik TP, TKR, laskar rakyat maupun bagi rakyat. Namun keadaan ini tidak berlangsung lama.Karena sebelum tahun 1947 berakhir, secara berangsur-angsur terjadi konsolidasi dan ketahanan moril, saling bahu-membahu berhasil membuntukan serangan pasukan Belanda.
Belanda yang awalnya mulai melancarkan perang untuk kembali menjajah negeri ini, berbalik bingung oleh strategi gerilya yang sulit dideteksi Belanda dan memandang semua medan rawan terhadap serangan gerilyawan RI.( Bersambung ke Seri 3)
*)Penulis adalah peneliti,penulis dan pemerhati sejarah,tinggal di Bogor
Pustaka Pilihan:
1. Wirjopranoto, dkk. 2003. Gelegar Di Bagelan, Perjuangan Resimen XX Kedu Selatan 1945- 1949 Dan Pengabdian Lanjutannya. Jakarta: Ikatan Keluarga Resimen XX Kedu Selatan,2003.
2.Peran Pelajar dalam Perang Kemerdekaanβ diterbitkan oleh Pusat Sejarah dan Tradisi Angkatan Bersenjata R.I, cetakan I 1985.
3.Prof. Dr. drh. Djokowoerjo Sastradipradja dari IPB Bogor, βKenangan Pertempuran Sidobunder 2 September 1947β. Tentara Pelajar Seksi 321 yang ikut bertempur di Sidobunder
4.Sewan Susanto, Perjuangan Tentara Pelajar dalam Perang Kemerdekaan Indonesia, (Yogyakarta:Gadjah Mada University Press), hlm. 23. p.cit.,hlm. 33
5.Retno Yuni Dewantis, Wasino, Bain Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
6.Perjuangan dan Purwokerto (lktisar Kisah Rakyat Kebumen dan Sekitarnya, 1947-1949)
7.Kisah Beberapa Pertempuran Dalam Perang Mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia di Daerah Kabupaten Kebumen, 1998:5).
8.TB. Simatupang, Laporan dari Banaran, Penerbit PMK HKBP Jakart 2019.
9.Harnoko, Darto dan Poliman. 1986. Perang Kemerdekaan Kebumen Tahun 1942-1950. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisi Yogyakarta.
10.Nasution, A.H. 1984. Sekitar Perang Kemerdekaan Jilid VI. Bandung: Dinas Sejarah Militer
11.Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI. 1985. Peranan Pelajar dalam Perang Kemerdekaan. Jakarta: Pusat Sejarah ABRI.
12.Widiyanta, Danar dan Djumarwan. 2015. “Gerakan Tentara 1947-1948: Tentara Pelajar Di Sidobunder Dan Pasukan Siliwangi Di Surakarta”. Mozaik, Volume 7 hlm. 17-32.
13.A. H. Nasution, Pokok-Pokok Perang Gerilya dan Pertahanan RI di Masa Lalu dan Masa Yang Akan Datang, (Jakarta: Bagian Penerbitan Buku Ketentaraan, 1953), hlm. 6.5
14.Panitia Yayasan Bhakti TP Kedu. 1987. Sejarah Perjuangan TP Kie. III Det. III Be. 17. Jakarta: Yayasan TP Kedu. hlm. 19.7
15.M. C. Ricklefs. 1995. Sejarah Indonesia Modern. Terj. Dharmono Hardjowidjono. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. hlm. 338.10.
16. Catatan penulis dalam penelitian lapangan ke Gombong,Sidobunder,Kebumen,Yogya,Sleman dan Muntilan 0ktober2023. ***
*) Penulis adalah peneliti, penulis dan pemerhati sejarah, tinggal di Bogor.