Oleh : Robert Bala
WARTA-NUSANTARA.COM–Saat Paus Fransiskus tiba di Indonesia (3/9/24), semua mata tidak saja tertuju ke Paus. Tetapi pria berjubah putih dengan kancing hitam ditambah sabuk sutera berwarna hitam turut mencuri perhatian. Dia itu Markus Solo, teman kelas sejak 1984 di Seminari Hokeng hingga kini.
Banyak tentu mengenalnya sebagai doktor teologi dari Insbruck, kemudian melanjutkan studi Islamologi di Roma dan lanjut lagi ke Universitas Kairo di Mesir. Sekembalinya dari sana, Markus diharapkan bekerja di Austria tetapi Roam lebih kuat. Kini sudah 20 tahun lebih berada di Roma menjadi Penasihat Paus bidang Dialog Antaragama. Tetapi apa yang tidak diketahui publik dan hanya bisa diketahui oleh teman sekelas?
Beda Sendiri
Sejak masuk Seminari Hokeng tahun 1984, Markus menjadi beda sendiri. Ia sudah dikenal karena kakaknya alm P. Yoseph Bukubala Kwuta, SVD sudah menjadi siswa seminari beberapa tahun sebelumnya dan saat itu berada di tahun terakhir di Ledalero. Guru Seminari dengan cepat mengenal Markus karena kakaknya.
Di tahun itu, Markus harus ikut acara itu di Ledalero. Pulang dari sana ia cerita dengan begitu bersemangat. Kami lain hanya ikut angguk kepala membuat Markus semakin tambah semangat bercerita.
Tetapi Markus bukan hanya ‘nebeng’ nama. Sejak di Persiapan Bawah, ia sudah masuk anggota koor khusus malah sebagai solis. Karena suaranya itu ia tambah gaul lagi dan semakin dikenal. Guru Domi Timu, asal Bajawa yang berbadan mekar seperti Markus sangat menyayangi Markus, sementara kita yang suara antara ‘ya’ dan ‘tidak’ hanya bisa ngintip. Ingin jadi seperti Markus.
Markus menajadi menonjol saat pisah kelas karena jurusan: A2 (Biologi), A3 (Sosial), A4 (Bahasa). Markus masuk A4 sesuai dengan keahliannya dalam berbahasa. Dengan cepat ia menangkap esensi bahasa dan mulai lincah berbahasa dan menuliskan Arab. Sebagai teman sekelas (karena A3 dan A4 digabungkan untuk pelajaran umum), kami selalu berdecak kagum karena dalam kaitan dengan hafalan, kami semua tertinggal jauh.
Tendang Jauh…
Novisiat Nenuk (1988-1989) merupakan kesempatan tanpa beban akademis. Dengan demikian kami coba berkembang sesuai bakat. Banyak bakat yang tersibak justru di saat masa emas ini. Markus menemukan satu kekuatannya dalam sepak bola, hal yang tidak pernah ia tunjukkan di Semnari Hokeng.
Tetapi kekuatan Markus bukan pada cara bermain yang lincah tetapi pada kuatnya tendangannya. Ketika bola datang dan disambar oleh Markus, maka sangat berbahaya. Bagi pemain yang lincah bisa menyilihnya. Bagi yang susah mengatur gerak, sebaiknya jangan mendekat.
Cek punya cek, ternyata kuatnya tendangan itu berasal dari kakinya Markus yang sangat besar. Dia beda sendiri. Saat itu sepatu ukuran 41 terasa sangat besar, tetapi Markus bahkan sepatu 42 masih sesak. Beruntung di Nenuk ada bruder yang bisa buat sepatu dan di situlah kaki Markus diselamatkan. Dia bisa pesan sepatu yang berukuran sekitar 43 atau 44. Sepatu sang kaki besar itu pun tidak pernah ingin dipindam oleh siapapun. Sepatu itu hanya untuknya.
Tendangan jauh ini tentu bukan bertujuan untuk menjadikan Markus sebagai pemain sepak bola mengingat memilih 11 orang terbaik dari 96 novis tentu tidak mudah. Tetapi tendangan jauh dari telapak kaki ‘terbesar’ yang saya pernah temukan ini adalah sebuah simbol bahwa dia dari kaki Lewotobi di Lewouran ia akan melangkah sangat jauh. Karenanya melihatnya berada di samping Paus adalah ekspresi bahwa putera Lewotobi itu punya pijakan yang kuat yang membuatnya bisa pergi sangat jauh.
Tanda-tanda bahwa langkah sangat jauh itu sudah dimulai sejak di Ledalero. Di tingkat 3, Markus bersama Darmo dan Grace menjadi wakil STFK Ledalero untuk ikut lomba Cerdas Cermat P4 Tingkat Perguruan Tinggi. Mereka menang di Kabupaten, lalu juara di Propinsi dan melangkah ke Jakarta. Saat itu ke Jakarta naik pesawat itu seperti ke Surga dan Markus sudah mengalami hal itu sementara kami yang lain masih seperti bis Agogo lintas kabupaten.
Dari Jakarta itu, Markus sudah tidak tertahankan lagi. Ia lalu lanjutkan teologi di Austria. Dari sana Markus tulis bahwa dia sudah mulai belajar main skii di daerah salju. Kami yang di kampung hanya bisa puji-puji dan pujian itu kadang membuat Markus semakin banyak menghadirkan cerita susulannya. Kadang sebagai honor atas pujian, ia titipkan beberapa dollar yang bagi kami saat itu sangat besar.
Lalu mengapa langkah yang begitu jauh itu sekarang mendekat? Teman-teman kelas yang menonton Markus (oh ya. P. Dr Markus Solo Kwuta, SVD) saat mendampingi Paus tiba di Bandara Soetta, tentu punya kata-kata indah yang hanya bisa diungkapkan antarsesama teman. Sebuah harapan, apakah Markus yang sudah begitu dekat dengan Paus bisa dibisikkan untuk kembali ke Indonesia, ke Flores, atau ke Larantuka?
Memang jalan melanjutkan teologi di Austria dan kemudian doktorat dalam teologi itu juga yang dilalui Uskup Budi Kleden. Bedanya, setelah jadi doktor, Uskup Budi pulang Ledalero, tetapi Markus mulai pengembaraan studi Islamologi di Roma dan kemudian Kairo yang membuatnya sangat mahir berhasa Arab.
Sebagai teman tentu tidak berbuat selain berdoa agar bisa ‘dibawa ke Sion’ seperti lagu gubahan Markus yang sangat mengumat. Sebagai teman bisa berharap kalau selama 3 hari di Indonesia, ia biarkan kami teman-teman untuk mendekati Paus Fransiskus guna membisikkan sesuatu (rahasia dong…).
Tentu bisikan itu tidak disukai pria kelahiran Lewouran 4 Agustus 1968. Ia terkenal rendah hati dan tidak mau tegur teman yang nakal selain bilang: “Obe, engkau ini….”.Sebagai teman kami tahu apa maksudnya. Itu ungkapan bahwa baginya yang terbaik adalah melakukan hal yang biasa. Yang ia lakukan hanyalah tendang bola sekuatnya. Ia tidak mau ikut main apalagi bermain-main dalam tugas. Yang ia tunjukkan adalah keserisuan melangkah, menendang, dan menjadi berarti bagi banyak orang. Terima kasih Reu.
Robert Bala. Teman Kelas, Sahabat Karib, P. Dr Markus Solo Kwuta, SVD. Penulis buku MENGIRINGI KEMATIAN (73 khotbah seputar kematian).