Oleh : Germanus S. Atawuwur, Alumnus STFK Ledalero
Yes.35:4-7; Yak.2:1-5; Mrk. 7:31-37
WARTA-NUSANTARA.COM–Bapa, ibu, saudara, saudari yang terkasih, hari ini, Penginjil Markus mewartakan kepada kita bahwa:” Di tengah-tengah daerah Dekapolis.dalam perjalanan pulang Yesus dari Tirus hendak ke Galilea, di situ orang membawa kepada-Nya seorang yang tuli dan yang gagap dan memohon kepada-Nya, supaya Ia meletakkan tangan-Nya atas orang itu.”
Orang yang dibawa itu tidak hanya tuli tetapi juga gagap. Orang yang mengidap gagap selalu mengalami kesulitan untuk mengucapkan apa yang hendak disampaikan, sehingga mereka memanjangkan atau mengulang-ulang suatu kata atau susunan kata saat mereka berbicara. Dalam kasus tertentu, pengidap bahkan kesulitan mengucapkan kata-kata tertentu. Sedangkan orang tuli tidak bisa mendengarkan suara atau kata-kata. Alhasil, ia tidak bisa memahami nilai atau pesan yang dibawa suara.
Jadi, orang banyak membawa seseorang yang memiliki dua jenis penyakit sekaligus untuk meminta Yesus supaya orang ini disembuhkan. Mereka memohon kepada-Nya, supaya Ia meletakkan tangan-Nya atas orang itu.”
Yesus tidak menunggu lama-lama. Dia tidak mengulur-ulur waktu dengan alasan apapun. Bagi Dia, perbuatan ajaib yang bakal dilakukanNya adalah suatu kemendesakan. Oleh karena itu penginjil mencatat sikap Yesus yang cepat respons:”Dan sesudah Yesus memisahkan dia dari orang banyak, sehingga mereka sendirian, Ia memasukkan jari-Nya ke telinga orang itu, lalu Ia meludah dan meraba lidah orang itu. Kemudian sambil menengadah ke langit Yesus menarik nafas dan berkata kepadanya: “Efata!”, artinya: Terbukalah! Maka terbukalah telinga orang itu dan seketika itu terlepas pulalah pengikat lidahnya, lalu ia berkata-kata dengan baik.
Bila kita cermati kisah ini, tindakan Yesus menyembuhkan orang itu tidak lazim sebagaimana yang biasa dilakukan-Nya untuk orang-orang sakit yang dibawa kepada-Nya. Namun untuk pesakit yang ini, Yesus, – Sang Tabib Agung – itu, melakukan “perbuatan” unik kepada-Nya. Yesus terlebih dahulu memisahkan pesakit itu dari orang banyak, lalu Yesus memasukan jari ke langit orang itu, kemudian Ia meludah dan meraba lidah orang itu. Yesus tidak berhenti di situ saja. Dia sadar, kuasa penyembuhan yang ada pada-Nya adalah milik kepunyaan Bapa-Nya. Karena itu Yesus kemudian menengadah ke langit, kemudian menarik nafas, lalu baru Dia berkata kepada orang itu:” Efata, – artinya terbukalah!”
“Ritus” penyembuhan Yesus ini, adalah khas perbuatan Yesus yang hanya dikhususkan kepada orang ini. Pertanyaannya adalah, mengapa orang ini mendapat model penyembuhan yang begitu unik dari Yesus, Sang Tabib Agung? Ritus penyembuhan unik dengan cara istimewa dari Yesus hendak menyampaikan kepada kita bahwa setiap orang, dalam situasinya sekarang ini kini dan di sini, adalah unik. Sekalipun ada keunikan dalam setiap individu manusia, tetapi satu hal mendasar yang membuat setiap manusia itu sama adalah bahwa dia adalah Citra Allah , – Imago Dei – Karena setiap manusia itu adalah Citra Allah, – Gambar dan Rupa Allah – sendiri, maka daripada itu, Yesus hendak “meminta restu”, memohon berkat Tuhan sendiri, agar Mukjizat Tuhan sendirilah yang berkarya di dalam diri orang itu. Karena itu Yesus menengadah ke langit, sambil menarik nafas dan berkata kepada orang itu: Efata, yang artinya Terbukalah! Ritual unik penyembuhan ini juga mau menyadarkan orang tuli gagap itu bahwa apapun kondisinya, dia juga adalah Citra Allah. Karena itu diapun berharga di mata Allah.
Seketika itu juga terbukalah telinga orang itu dan seketika itu terlepas pulalah pengikat lidahnya, lalu ia berkata-kata dengan baik. Pesakit itu akhirnya tersembuhkan dari penyakit tuli dan gagap. Tentu hal ini menimbulkan sukacita besar di dalam dirinya. Sukacita besar itu, tidak hanya dialami oleh pesakit itu tetapi juga dialami oleh semua orang yang membawanya datang kepada Yesus. Mereka bersukacita bukan saja karena orang itu bisa terbebaskan dari belenggu penyakit itu, tetapi bahwa usaha untuk memulihkan martabat kemanusiaan orang ini benar-benar berhasil. Mereka semua bergembira ria dan bersukacita, juga, oleh karena karya agung Allah. Sukacita itu mustinya mereka wartakan, namun sayang, justru dilarang Yesus sendiri, sebagaimana yang kita dengar dalam injil tadi:” Jangan menceriterakannya kepada siapapun juga.” Tetapi ternyata pesan Yesus tidak digubris. “Tetapi makin dilarang-Nya mereka, makin luas mereka memberitakannya.”
Orang-orang yang berinisiatif membawa orang tuli dan gagap kepada Yesus dan memohon agar Yesus menyembuhkannya, menunjukkan bahwa orang-orang ini memiliki empaty yang tinggi. Mereka punya sikap berbela rasa dan peduli bersesama yang kuat. Mereka sadar, bahwa penderitaan yang dialami oleh pesakit itu, adalah juga penderitaan mereka. Maka, tanpa ada intrik apapun, tanpa ada pretensi macam-macam, tanpa ada perhitungan apapun, dengan mengabaikan prinsip do ut des, – saya memberi supaya engkau memberi -, mereka benar-benar jauhkan. Bagi mereka, yang terpenting adalah kebahagiaan dan keselamatan pesakit itu. Jadi, perbuatan yang dilakukan bersama-sama oleh orang banyak itu berangkat dari kesadaran kolektif, bahwa kemanusiaan itu jauh melampaui apapun. Sehingga perbuatan itu mereka lakukan dari hati yang tulus ikhlas. Tiada pamrih tertentu. Tiada pula intrik, apalagi perhitungan untung rugi. Maka begitu pesakit sembuh dan mengungkapkan ekspresi kebahagiaannya penuh sukacita, mereka juga ikut bersukacita:” Mereka takjub dan tercengang dan berkata: “Ia menjadikan segala-galanya baik, yang tuli dijadikan-Nya mendengar, yang bisu dijadikan-Nya berkata-kata.”
Apa yang dilakukan Yesus dalam injil tadi, merupakan pemenuhan nubuat nabi Yesaya dalam bacaan I:” Ia sendiri datang menyelamatkan kamu!” Pada waktu itu mata orang-orang buta akan dicelikkan, dan telinga orang-orang tuliakan dibuka. Pada waktu itu orang lumpuh akan melompat seperti rusa, dan mulut orang bisu akan bersorak-sorai.”
Saudara-saudara, sikap orang banyak yang membawa pesakit kepada Yesus sejatinya adalah wujud dari empaty dan sikap berbela-rasa yang mustinya kita tiru dan praktekan. Untuk mempraktekan peduli bersesama ini, Yakobus jauh-jauh hari dalam suratnya pada bacaan II tadi, sudah mengingatkan kita semua:” Janganlah iman itu kamu amalkan dengan memandang muka.” Pandang muka sama artinya tidak boleh pilih kasih, atau dalam bahasa sehari-hari jangan pilih bulu.
Bila kita memiliki sikap empaty dan peduli bersesama, lakukan kepada semua orang. Tidak boleh pilih-pilih, apalagi pilah-pilah. Karena setiap orang adalah Imago Dei, – Citra Allah -. Peduli kepada sesama, berarti peduli kepada Tuhan. Jika kita peduli bersesama dan peduli kepada Tuhan maka Tuhan juga akan peduli kepada kita, Anda dan saya.
Maka Efata, terbukalah hemat saya adalah seruan moral altruis untuk kita peduli bersesama. Tetapi pertanyaan untuk mengakhiri kotbah ini adalah apakah kita berempaty dan berbela-rasa masih pilih-pilih dan pilah-pilah orang-orang? ***