Oleh : Robert Bala
JAKARTA : WARTA-NUSANTARA.COM–Dua wanita ini mestinya tidak bisa disandingkan apalagi dibandingkan. Dari segi popularitas, tentu semua tahu Erina sebagai istri Kaesang Pangerep. Suaminya adalah anak presiden yang sekaligus juga ketua PSI sementara Onny Njo hanyalah istri seorang anggota polri.
Erina Gudiono juga hampir memiliki semuanya. Dengan berfoto sambil duduk di jendela pesawat jet dalam penerbangan Indonesia – AS, orang tahu bahwa itu pesawat Gulfstream G650ER dengan nomor registrasi N588SE. Hal itu menunjukkan siapa dirinya.
Selain itu dengan flexing beli kereta dorong bayi atau stroller bayi seharga Rp 23 juta, beli roti ssenilai US$25-US$27 Rp 400 atau sekitar Rp 400 ribu, orang merasa ‘kelas’nya. Onny Njo berada di sisi yang berlawanan. Yang ia banggakan (dalam sunyi) barangkali 10 anak yang lahir dari rahimnya (1 orang meninggal) yang dibesarkan hingga menjadi orang.
Bukan maksud tulisan untuk membuat perbandingan. Tetapi kisah ini menarik untuk diangkat sebagai bahan refleksi. Untuk Erina juga mestinya tidak perlu dibesar-besarkan karena banyak wanita yang jadi istri ASN melakukan hal yang sama: Muhammad Rizky Alamsyah, seorang pegawai Kemenhub juga istri Esha Rahmansah Abrar, pegawai Setneg. Oleh pamer harta, suami mereka ‘dicopot’ dari jabatannya sementara Kaesang bukan PNS.
Sayangnya, hal mana dilupakan Erina, bahwa mertuanya, Jokowi pernah menghardik cukup tegas melihat fenomena pejabat hedonis alias sering pamer kekayaan di media sosial. Dalam sidang Kabinet Paripurna di Istana Presiden, 2/3/23: “Saya minta kepada seluruh Menteri dan Kepala Lembaga untuk mendisiplinkan para di bawahnya, memberitahu apa-apa yang tidak boleh dan apa yang boleh dilakukan.”
Yang jadi pertanyaan, apakah yang akan ditanggapi oleh 327,590 atau 6,03 % warga di DIK yang saat ini menganggur? Tetapi jumlah ini lebih pas kalau kita kaitkan dengan jumlah pengangguran nasional yang mencapai 4,82 persen atau sebanyak 7.195.000 pada 2024. Apa yang dibayangkan oleh orang begitu banyak ketika melihat pamer harta?
Atau apakah yang terlibat flexing (khususnya Erina) bisa berpikir sedikit bahwa posisi orang tua atau suami akan ‘terganggu’ (malah dalam banyak hal dicopot dari jabatannya)? Juga apakah mereka bisa memikirkan, apakah peluang untuk flexing itu masih bisa mungkin kalau mereka bukan siapa-siapa seperti saat di mana mereka melakukan flexing?
Pertanyaan ini diharapkan menggiring orang untuk bisa memahami apa yang dikatakan oleh Napoleon Hill (1883-1970). Bagi penulis Amerika Serikat beraliran pemikiran baru yang menjadi salah satu produser genre sastra kesuksesan pribadi modern pertama dan merupakan salah satu penulis buku bertopik kesuksesan terhebat ini memberikan jawaban yang telak bahwa semuanya berawal dari disiplin diri. Baginya, “Self-discipline starts with the mastery of your thoughts. If you don’t control what you think, you can’t control what you do.” (“Disiplin diri dimulai dari penguasaan pikiran. Jika Anda tidak mengendalikan apa yang Anda pikirkan, Anda tidak bisa mengendalikan apa yang Anda lakukan”).
Itu berarti apa yang dilakukan Erina, istri Kaesang, dan mantu Jokowi (dan banyak wanita yang ‘doyan’ flexing) bersumber dari pikirannya. Ia (mereka) tidak menguasai pikiran yang berakibat pada susahnya mengendalikan perbuatan.
Onny, Sudut yang Lain
Rabu 10/9/2024 seorang wanita, Onny Njo (Veronika Wilhelmina Njo) berusia 81 wafat dalam sunyi. Ia adalah istri alm Brigjen Anton Enga Tifaona yang sudah wafat 7 tahun lalu, pada Minggu (15/10 2017). Kematian wanita yang menempati sebuah rumah sederhana di Kebon Baru Tebet sejak suaminya belum menjadi apa-apa hingga kini. Rumah seperti ini tentu tidak sebanding dengan aneka jabatan (dan aneka peluang memperkaya diri) sejak menjadi Kapolda di Maluku, Sulawesi Utara, dan terakhir Wakapolda Jawa Barat. Tetapi yang terjadi seperti itu dan ia dibaringkan di rumah yang ia tempati selama 60 tahun.
Pertanyaannya, apakah Onny Njo sebagai istri seorang jenderal (meskipun pangkat itu baru dinikmati setahun sebelum pensiun) tidak tergoda agar bisa memanfaatkan jabatan suaminya untuk bisa memperkaya diri atau minimal membeli rumah yang jauh lebih ‘wow’ buat menampung anak-anaknya yang hampir sebuah keseblasan sepak bola itu? Apakah ia tidak bisa ‘mencolek’ sedikit saja suaminya yang saat menjadi Komtarres Khusus Timtim (setingkat Kapolda) memiliki kewenangan atas berkarung-karung uang yang digelontorkan untuk mempercepat integrasi Timtim? Kesempatan itu mengapa tidak ia manfaatkan saat menjabat Kapolda di Maluku dan Sulawesi Utara dan Wakapolda Jawa Barat?
Tetapi ia tahu mana yang harus dilakukan sebagai hal wajar dan mana yang tidak boleh dilakukan. Itu berarti wanita Ende ini mengontrol pikirannya lebih dahulu sehingga kemudian tindakan itu hanya mengikuti apa yang telah disetting oleh pikiran dan terbukti dari keberhasilan anak-anaknya.
Kepiawaiannya tidak hanya di situ. Kecemerlangan dan kebijaksan terukur dan terlihat yang menjadi ‘buah bibir’ keberhasilan Anton Enga Tifaona secara logis mestinya diapresiasi dengan pemberian kepercayaan yang lebih tinggi. Logis pula ketika kepercayaan yang diharapkan bukan saja tidak diperoleh tetapi malah diturunkan ke jenjang di bawahnya (seperti penurunan Polda Sulawesi Utara ke tipe C) sehingga pangkat Anton tetap Kolonel atau penurunan menjadi Wakapolda setelah 2 kali Kapolda harusnya ditanggapi dengan berontak. Tetapi semuanya bisa mulus dilewati karena di belakangnya ada pribadi kuat, kokoh, dan bijak, seperti Onny Njo, wanita Ende yang dinikahi Anton 1964. Dengan kecerdasan dan kesabaran yang diperoleh karena pernah jadi guru TK itu disalurkan dalam mendampingi suami dan mendidik tidak saja 9 anaknya tetapi ratuan malah ribuan anak yang sempat datang meminta bantuan.
Wanita ini tidak seperti kebanyakan wanita yang jago pamer harta. Ia berada di sisi berseberangan dengan apa yang dilakukan istri Kaesang Pangarep, Erina Gudiono. Yang Onny tahu, harta hanyalah titipan dan dirinya tidak lebih dari seorang penjaga parkiran yang tidak perlu berbangga dengan ratusan motor yang dijaga yang bukan miliknya. Yang ia tahu, ia hanya berusaha mentransformasikan apa yang ada untuk orang lain.
Hal ini mengingatkan kita akan apa yang dikatakan oleh Erich Pinchas Fromm. Bagi psikolog sosial, psikoanalis, sosiolog, dan humanis, sosial-demokrat berkebangsaan Jerman ini, ada perbedaan antara memiliki (having) dan keberadaan (being). Orang (wanita) hebat tidak akan berada pada tingkatan terendah yang membanggakan apalagi hanya memamerkan harta. Yang mestinya dilakukan, menjadikan harta untuk menjadikan dirinya semakin berada dan dihargai karena berbagi dalam ketulusan dan bukan mengumpulkan secara berlebihan.
Di sinilah letak perbedaan yang menjadi pembelajaran hal mana terjadi antara Erina Gudiono di satu pihak dan Onny Njo di pihak lain. Ia pergi menitip pesan bahwa keberadaan kita sebagai manusia jauh lebih penting dari sekadar mengumpulkan apalagi memamerkan harta. Harta yang dipamer hanyalah ekspresi bahwa manusia yang berdiri di samping harta terpamer memiliki nilai yang mirip atau malah di bawahnya. Sementara itu kasih yang ditunjukkan adalah ekspresi kejayaan karena sukses mengatasi harta. Selamat jalan Ina Onny.
Robert Bala. Penulis buku MENGIRINGI KEMATIAN (73 homili / renungan tentang Kematian). Terbit bulan November 2024.