Penulis: Kia Mangu, Putra Asli Ile Boleng.

ADONARA : WARTA-NUSANTARA.COM–Dalam perspektif filsafat, kita dapat memandang persoalan janji politik dan proyek publik yang gagal bukan hanya sebagai masalah teknis, tetapi juga sebagai gejala dari krisis moral dan etika dalam kepemimpinan. Proyek Air Ile Boleng, yang awalnya dijanjikan sebagai solusi bagi kebutuhan dasar masyarakat Flores Timur, menjadi simbol dari kegagalan politik yang lebih mendasar: kegagalan pemimpin dalam mengaktualisasikan tanggung jawab moral terhadap rakyatnya.

Andai kita meminjam konsep Immanuel Kant tentang ‘imperatif kategoris’, yang menyatakan bahwa tindakan harus didasarkan pada prinsip yang dapat dijadikan hukum universal, maka janji politik yang tidak ditepati adalah pelanggaran terhadap prinsip tersebut. Janji yang diucapkan selama kampanye seharusnya diperlakukan sebagai komitmen etis, yang tidak hanya mengikat secara moral, tetapi juga menjadi dasar legitimasi kekuasaan. Namun, kenyataannya, janji seperti penyediaan air bersih di Ile Boleng dan proyek-proyek lain di bawah kepemimpinan Bereun tampak tidak lebih dari sekadar alat manipulasi politik.

Proyek Air Ile Boleng yang didanai Rp13 miliar oleh APBD Kabupaten Flores Timur adalah contoh nyata dari bagaimana proyek politik tidak selalu didasarkan pada pertimbangan rasional atau survei yang matang. Proyek ini, yang sejak awal terhambat oleh masalah sumber mata air di Adonara Tengah, menunjukkan bahwa perencanaan yang kurang matang dapat menyebabkan mubasirnya anggaran publik. Dari perspektif filsafat utilitarianisme, yang menekankan bahwa tindakan harus diukur berdasarkan seberapa besar manfaat yang dihasilkan bagi banyak orang, proyek ini jelas gagal mencapai tujuannya. Uang rakyat yang begitu besar dikeluarkan tanpa memberikan hasil yang signifikan bagi kesejahteraan masyarakat.
Kritik ini tidak hanya berhenti pada proyek air. Proyek-proyek lain, seperti penjarangan jambu mete, pengembangan hijauan makanan ternak, hingga proyek tembakau, menunjukkan pola yang sama: penggunaan anggaran besar tanpa hasil yang jelas dan berdampak langsung bagi masyarakat. Dari perspektif filsafat keadilan sosial John Rawls, distribusi sumber daya publik yang tidak merata dan proyek-proyek yang gagal ini mencerminkan ketidakadilan struktural. Kepemimpinan yang baik seharusnya memprioritaskan kebutuhan paling mendasar dari masyarakat yang paling rentan, tetapi alih-alih itu, yang terjadi adalah pemborosan anggaran dan ketidakjelasan dalam pelaksanaan proyek.

Masalah yang lebih mendalam adalah adanya keengganan untuk bertanggung jawab secara moral atas kegagalan ini. Banyak proyek bermasalah, tetapi tidak ada tindakan nyata yang diambil untuk mengatasi akar persoalannya. Tokoh yang sebelumnya terlibat dalam skandal dan proyek-proyek gagal kini kembali maju sebagai calon dalam pilkada, seolah-olah masa lalu politik yang buruk dapat begitu saja dilupakan. Dari sudut pandang filsafat Nietzsche, fenomena ini mencerminkan kehendak untuk berkuasa’ yang mengabaikan moralitas, di mana para pemimpin hanya terobsesi pada kekuasaan tanpa memedulikan konsekuensi dari tindakan mereka terhadap masyarakat.

Pertanyaan filosofis yang penting di sini adalah: apakah masyarakat Flores Timur masih akan mempercayai janji yang sama dari pemimpin yang sama? Masyarakat perlu berpikir secara kritis dan mempertimbangkan kembali kepada siapa mereka akan memberikan mandat politik. Dalam pandangan filsuf politik seperti Hannah Arendt, tanggung jawab politik tidak hanya berada di tangan pemimpin, tetapi juga di tangan rakyat. Apatisme politik masyarakat yang terus-menerus memilih pemimpin yang sama meskipun ada rekam jejak buruk, berpotensi memelihara siklus kegagalan yang terus berulang.

Akhirnya, janji-janji yang tidak ditepati adalah refleksi dari krisis moral dalam politik kita. Ini bukan sekadar soal kegagalan teknis atau anggaran, tetapi kegagalan dalam memenuhi tanggung jawab etis seorang pemimpin. Jika masyarakat Flores Timur tidak mengubah sikap kritisnya, mereka akan terus terjebak dalam lingkaran janji manis yang tak pernah terwujud. Filsafat mengajarkan kita untuk mempertanyakan segalanya, termasuk janji-janji politik yang tampak begitu menggiurkan tetapi sering kali penuh dosa dan kekecewaan. ***