Oleh: Tarwan Stanis , Pemimpin Redaksi ReportaseNTT.Com
WARTA-NUSANTARA.COM–Dari sudut pandang filsafat politik dan etika, calon pemimpin daerah seperti Yohanes Vianey K. Burin dan Paulus Doni Ruing (Vian-Polce) membawa harapan yang dapat dianalisis secara mendalam berdasarkan konsep kepemimpinan, kebajikan, dan legitimasi kekuasaan.
- Kepemimpinan Berdasarkan Pengalaman Hidup: Dalam filsafat Aristotelian, kebajikan (virtue) adalah hasil dari pengalaman dan tindakan nyata yang ditempa dalam kehidupan sehari-hari. Vianey dan Paulus digambarkan sebagai sosok yang datang dari latar belakang “orang susah,” yang berarti mereka telah mengalami langsung kesulitan yang dialami oleh masyarakat. Dalam filsafat politik, hal ini bisa memberi mereka “phronesis’, atau kebijaksanaan praktis.
Pengalaman hidup seperti ini dapat membentuk kepemimpinan yang lebih empatik, memahami realitas kehidupan sehari-hari, dan lebih berfokus pada penyelesaian masalah masyarakat yang konkret, daripada berorientasi pada keuntungan pribadi atau kelompok elit.
- Simbolisme Nomor dan Tanda-Tanda Alam: Dalam budaya lokal dan pandangan spiritual, angka 3 sebagai simbol ‘Likat Matan Telo’ mengandung makna yang mendalam tentang kesatuan, keseimbangan, dan stabilitas. Dari perspektif filsafat simbolisme, angka ini bisa mencerminkan ‘triadik’ kepemimpinan: eksekutif yang kuat, rakyat yang didengar, dan kebijakan yang seimbang.
Nomor ini dapat dianggap sebagai ekspresi dari keteraturan kosmos, di mana kepemimpinan yang baik dipandang sebagai refleksi dari harmoni universal.
- Koalisi Nasionalis-Religius:
Dari sudut pandang filsafat politik kontemporer, koalisi nasionalis-religius yang mendukung pasangan ini bisa dilihat sebagai upaya untuk menyelaraskan nilai-nilai kebangsaan dengan nilai-nilai spiritual.
Dalam tradisi filsafat politik seperti ‘komunitarianisme’ , kesatuan nilai nasional dan agama dapat menciptakan solidaritas sosial yang lebih kuat. Namun, tantangan dari pandangan ini adalah bagaimana memastikan bahwa kepemimpinan tidak menjadi terlalu sektarian atau eksklusif, melainkan tetap menjaga inklusivitas untuk semua lapisan masyarakat.
- Legitimasi dan Kesejahteraan Rakyat:
Jean-Jacques Rousseau dalam karyanya tentang kontrak sosial menekankan bahwa legitimasi kekuasaan berasal dari persetujuan rakyat, serta pemenuhan kesejahteraan mereka.
Jika kepemimpinan Vianey dan Paulus didasarkan pada keinginan kuat untuk memperbaiki kondisi sosial-ekonomi Lembata, maka hal ini bisa memenuhi kriteria legitimasi politik dalam pandangan Rousseau. Kepemimpinan yang berakar pada ” keinginan untuk memperbaiki nasib rakyat” akan dianggap sah jika memenuhi janji kesejahteraan dan keadilan sosial.
- Tantangan Moral dan Praktis:
Dalam pandangan filsafat moral Kantian, seorang pemimpin harus bertindak sesuai dengan ‘imperatif kategoris’, yaitu bahwa tindakan mereka harus dapat diterima sebagai prinsip universal.
Tantangan bagi pasangan Vian- Polce adalah bagaimana mereka dapat membangun pemerintahan yang adil, tidak hanya bagi mereka yang mendukung, tetapi juga bagi seluruh masyarakat Lembata, tanpa diskriminasi. Mereka harus menjaga ‘integritas moral’ dalam kebijakan dan tindakan mereka agar tidak terjebak dalam pragmatisme politik yang merugikan prinsip etis.
Secara keseluruhan, pasangan calon Vianey dan Paulus menawarkan harapan perubahan berbasis empati sosial dan keterhubungan dengan kondisi nyata rakyat. Namun, dari perspektif filsafat, mereka harus memastikan bahwa janji-janji politik mereka tidak hanya berlandaskan simbolisme dan retorika, melainkan juga diwujudkan melalui kebijakan yang etis, inklusif, dan berpihak pada kesejahteraan umum. *Salam Paket 7 Maret 99″