Foto : Ilustrasi
Catatan Redaksi : Kronologi Penangkapan, Intimidasi dan Penganiayaan Pemred Floresa Oleh Oknum Aparat Termasuk Oknum Wartawan (buyil/indonesiadaily.co.id) Kronologi Penangkapan, Intimidasi dan Penganiayaan Pemred Floresa Oleh Oknum Aparat Termasuk Oknum Wartawan (buyil/indonesiadaily.co.id). Kronologi ini ditulis sendiri oleh Pemimpin Redaksi Floresa, Herry Kabut yang ditangkap polisi pada 2 Oktober saat meliput aksi protes warga Poco Leok menentang proyek geotermal. ***
MANGGARAI : WAARTA-NUSANTARA.COM–Pada 2 Oktober, saya berangkat menuju Poco Leok, Kecamatan Satar Mese, Kabupaten Manggarai setelah mendapat informasi bahwa tiga orang warga adat Poco Leok ditangkap aparat keamanan dalam aksi unjuk rasa menolak proyek geotermal. Informasi itu menggerakkan saya untuk meliput aksi itu. Warga dari 10 kampung adat atau gendang di wilayah itu melakukan aksi yang mereka sebut sebagai “jaga kampung”.
Aksi itu berlangsung di titik pengeboran atau wellpad D, di Lingko Tanggong, yang juga menjadi bagian dari tanah ulayat Gendang Lungar. Saya berangkat dari Ruteng sekitar pukul 13.10 Wita dan tiba sekitar pukul 14.00 Wita tiba di Lingko Tanggong.
Saat saya tiba di lokasi, situasi sudah tenang di mana warga tidak lagi berkonfrontasi dengan aparat keamanan.
Saat itu warga tampak duduk santai selesai makan siang. Beberapa warga menyapa saya dan saya membalas sapaan mereka. Tampak mobil-mobil aparat, termasuk mobil keranjang Polres Manggarai dengan tiga orang warga dan empat polisi wanita [polwan] di dalamnya.
Beberapa saat kemudian, saya mulai memotret situasi di lokasi itu. Saat itu, tidak satupun aparat keamanan, PT PLN maupun pemerintah yang menegur atau mengimbau untuk tidak mengambil foto dan video.
Saya mengambil 10 gambar di lokasi itu dengan foto terakhir menampilkan tiga orang warga dan dua polwan yang sedang duduk di dalam mobil keranjang polisi.
Saat saya mengambil gambar itu, seorang polwan memanggil dan meminta saya naik ke dalam mobil itu.
Polwan itu menanyakan tujuan saya mengambil gambar itu. Saya menjawab, “saya seorang jurnalis.” Polwan itu lalu bertanya, “jurnalis dari media apa,?” yang saya jawab, “dari media Floresa.”
Merespons jawaban itu, polwan itu kembali bertanya, “mana ID card?,” katanya mengacu pada kartu pers.
Saya menjawab bahwa saya tidak membawa kartu pers, melainkan surat tugas dan “bisa menunjukan kepada Anda bahwa saya benar-benar merupakan jurnalis sekaligus Pemimpin Redaksi Floresa.”
Sembari saya memberikan penjelasan itu, tiba-tiba beberapa anggota polisi, baik yang mengenakan seragam maupun yang memakai baju bebas, mendatangi mobil keranjang itu dan meminta saya untuk turun dari mobil itu.
Mereka menuding saya sewenang-wenang naik ke mobil itu, mengatakan seolah-olah itu adalah mobil saya.
Kepada para aparat itu, saya berkata “saya naik ke mobil ini karena diminta polwan.” Para aparat itu lalu memotong pembicaraan saya dan menyuruh saya turun dari mobil itu.
Saat saya turun, mereka langsung mencekik saya. Mereka menggiring saya sejauh kurang lebih 50 meter dari mobil keranjang itu dan sekitar 60 meter dari tempat warga, sambil menanyakan kartu pers saya.
Kepada mereka, saya mengulangi penjelasan saya kepada polwan itu dan meminta mereka mengecek web Floresa karena di situ terdapat pengakuan dan penegasan bahwa saya adalah jurnalis sekaligus Pemimpin Redaksi Floresa.
“Silakan kalian memeriksa web Floresa, di situ ada foto saya dan status saya. Bandingkan muka saya dengan foto itu apakah ada perbedaan atau tidak,” kata saya.
Saya juga berkata, “ID card hanya salah satu item yang bisa menunjukkan identitas saya. Masih ada item lain yang bisa dipakai untuk menunjukkan identitas.”
Tanpa menghiraukan penjelasan itu, mereka terus-terusan menuntut saya menunjukkan kartu pers dan mulai memukul saya, sambil menggiring saya ke samping mobil milik TNI. Di samping mobil itu, sambil tetap mencekik saya, mereka mulai meninju muka dan kepala saya, menarik tas saya.*** (ICHA-WN BIRO SIKKA)