Oleh : Germanus S. Atawuwur, Alumnus STFK Ledalero
Kej.2:18-24; Ibr. 2:9-11; Mrk. 10:2-16, Kejadian 2:18-24
WARTA-NUSANTARA.COM–Konteks 2:18 TUHAN Allah berfirman: “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, q yang sepadan dengan dia 1 .” 2:19 Lalu TUHAN Allah membentuk dari tanah segala binatang hutan r dan segala burung di udara. s Dibawa-Nyalah semuanya kepada manusia itu untuk melihat, bagaimana ia menamainya; dan seperti nama yang diberikan t manusia itu kepada tiap-tiap makhluk u yang hidup, demikianlah nanti nama makhluk itu. 2:20 Manusia itu memberi nama kepada segala ternak, kepada burung-burung di udara dan kepada segala binatang hutan, tetapi baginya sendiri ia tidak menjumpai penolong v yang sepadan dengan dia. 2:21
Lalu TUHAN Allah membuat manusia itu tidur w nyenyak; ketika ia tidur, TUHAN Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. 2:22 Dan dari rusuk x yang diambil TUHAN Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu. 2:23 Lalu berkatalah manusia itu: “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku y . Ia akan dinamai z perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki. a ” 2:24 Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya 2 dan bersatu b dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging. c
ENOLONG … YANG SEPADAN DENGAN DIA.
Nas : Kej 2:18
Wanita diciptakan untuk menjadi rekan yang mengasihi dan menolong laki-laki. Selaku rekan ia harus bersama-sama menanggung tanggung jawab laki-laki dan bekerja sama dengannya dalam memenuhi maksud Allah bagi kehidupan laki-laki dan keluarga mereka
(lihat cat. –> Ef 5:22;
[atau ref. Ef 5:22]
lih. Mazm 33:20; 70:6; 115:9, di mana istilah “penolong” dipakai juga
untuk menggambarkan Allah).
2Full Life : MENINGGALKAN AYAHNYA DAN IBUNYA.
Nas : Kej 2:24
Sejak semula Allah menetapkan pernikahan dan kesatuan keluarga sebagai lembaga pertama dan paling penting di bumi
(lihat cat. –> Kej 1:28).
[atau ref. Kej 1:28]
Rencana Allah bagi pernikahan adalah satu orang laki-laki dan satu orang wanita yang menjadi “satu daging” (yaitu, bersatu secara jasmaniah dan rohani). Arahan ini menolak perzinaan, poligami, homoseksualitas, kehidupan tidak bermoral, dan perceraian yang tidak alkitabiah (Mr 10:7-9;
lihat cat. –> Mat 19:9).
[atau ref. Mat 19:9]
brani 2:9-11
Konteks
2:9 Tetapi Dia, yang untuk waktu yang singkat dibuat sedikit lebih rendah dari pada malaikat-malaikat, yaitu Yesus, kita lihat, yang oleh karena penderitaan maut, v dimahkotai dengan kemuliaan dan hormat, w supaya oleh kasih karunia Allah Ia mengalami maut bagi semua manusia 1 . x 2:10 Sebab memang sesuai dengan keadaan Allah–yang bagi-Nya dan oleh-Nya segala sesuatu dijadikan y –,yaitu Allah yang membawa banyak orang kepada kemuliaan, juga menyempurnakan Yesus, yang memimpin mereka kepada keselamatan, dengan penderitaan 2 . z 2:11 Sebab Ia yang menguduskan 3 a dan mereka yang dikuduskan, b mereka semua berasal dari Satu; itulah sebabnya Ia tidak malu menyebut mereka saudara,
MENGALAMI MAUT BAGI SEMUA MANUSIA.
Nas : Ibr 2:9
Kristus mengalami penghinaan dan menderita kematian bagi semua orang. Kematian-Nya bukanlah upaya “pendamaian yang terbatas”, sebagaimana dikatakan oleh kalangan tertentu. Karena Ia menanggung hukuman dosa seluruh umat manusia, maka kematian-Nya akan berfaedah bagi semua orang yang menerima Dia
(lihat cat. –> Rom 3:25).
[atau ref. Rom 3:25]
2 Full Life : MENYEMPURNAKAN … DENGAN PENDERITAAN.
Nas : Ibr 2:10
Ini tidak berarti bahwa Kristus harus disempurnakan secara moral dan rohani. Yang disempurnakan adalah peranan-Nya sebagai pemimpin — yaitu yang berjalan lebih dahulu untuk membuka jalan bagi orang lain yang hendak mengikuti. Ia hanya dapat menjadi Juruselamat yang sempurna bagi semua orang percaya, apabila terlebih dahulu menderita dan mati sebagai manusia. Ketaatan dan kematian-Nya membuat Dia berhak menjadi wakil yang sempurna dari umat manusia yang berdosa sehingga dapat menanggung hukuman dosa atas nama seluruh umat manusia.
3Full Life : IA YANG MENGUDUSKAN.
Nas : Ibr 2:11
“Ia yang menguduskan” manusia itu adalah Kristus (bd. Ibr 10:10,14,29; 13:12) dan “mereka yang dikuduskan” adalah orang-orang yang telah diselamatkan dari kesalahan dan kuasa dosa serta dipisahkan sebagai umat Allah. Pengabdian Kristus untuk mati karena kita membuka jalan bagi pengudusan kita
(lihat art. PENGUDUSAN).
Perceraian
10:1 Dari situ Yesus berangkat ke daerah Yudea dan ke daerah seberang sungai Yordan i dan di situpun orang banyak datang mengerumuni Dia; dan seperti biasa Ia mengajar mereka j pula. 10:2 Maka datanglah orang-orang Farisi, k dan untuk mencobai Yesus mereka bertanya kepada-Nya: “Apakah seorang suami diperbolehkan menceraikan isterinya?” 10:3 Tetapi jawab-Nya kepada mereka: “Apa perintah Musa kepada kamu?” 10:4 Jawab mereka: “Musa memberi izin untuk menceraikannya l dengan membuat surat cerai.” 10:5 Lalu kata Yesus kepada mereka: “Justru karena ketegaran m hatimulah maka Musa menuliskan perintah ini untuk kamu. 10:6 Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan, n 10:7 sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, 10:8 sehingga keduanya itu menjadi satu daging. o Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. 10:9 Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” 10:10 Ketika mereka sudah di rumah, murid-murid itu bertanya pula kepada Yesus tentang hal itu. 10:11 Lalu kata-Nya kepada mereka: “Barangsiapa menceraikan isterinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinahan 1 terhadap isterinya p itu. 10:12 Dan jika si isteri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zinah. q “
IDUP DALAM PERZINAHAN.
Nas : Mr 10:11
Orang yang menceraikan pasangannya karena alasan yang bukan alkitabiah lalu menikah kembali, ia berdosa kepada Tuhan karena melakukan perzinahan (Mal 2:14;
lihat cat. –> Mat 19:9;
[atau ref. Mat 19:9]
1Kor 7:15). Dengan kata lain, surat perceraian belum tentu diakui sebagai benar atau sah oleh Allah hanya karena pemerintah (atau hukum manusia) mengesahkannya.
2 Full Life : KERAJAAN ALLAH.
Nas : Mr 10:14
Markus menggunakan istilah “Kerajaan Allah” sedangkan Matius pada umumnya memakai ungkapan yang lebih disenangi oleh orang Yahudi yaitu “Kerajaan Sorga”. Sekalipun demikian, artinya sama saja. Bandingkan ayat-ayat berikut yang sama:
(Lihat art. KERAJAAN ALLAH).
3 Full Life : SEPERTI SEORANG ANAK KECIL.
Nas : Mr 10:15
Menerima Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil berarti menerimanya dengan sikap yang polos, rendah hati, penuh keyakinan dan sungguh-sungguh sehingga meninggalkan dosa serta menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat dan Allah selaku Bapa sorgawi
(lihat cat. –> Mat 18:3).
[atau ref. Mat 18:3]
4 Full Life : LALU … MEMBERKATI MEREKA.
Nas : Mr 10:16
Kristus sangat memperhatikan keselamatan dan pembinaan rohani anak-anak. Orang-tua Kristen harus menggunakan setiap sarana yang tersedia untuk menuntun anak mereka kepada Kristus, karena Ia rindu untuk menerima, mengasihi, dan memberkati mereka (ayat Mr 10:13-16;
lihat art. ORANG-TUA DAN ANAK-ANAK).
5 Full Life : ORANG YANG BERUANG.
Nas : Mr 10:23
Lihat art. KEKAYAAN DAN KEMISKINAN).
6 Full Life : MENERIMA … SERATUS KALI LIPAT.
Nas : Mr 10:30
Pahala yang dijanjikan di sini jangan ditafsirkan secara harfiah. Sebaliknya, berkat-berkat dan sukacita yang terkandung dalam hubungan-hubungan yang tercatat di sini akan dinikmati oleh seorang murid yang setia berkorban demi Kristus.
7 Full Life : YANG TERDAHULU MENJADI YANG TERAKHIR.
Nas : Mr 10:31
Lihat cat. –> Mat 19:30.
[atau ref. Mat 19:30]
8 Full Life : BARANGSIAPA INGIN MENJADI BESAR.
Nas : Mr 10:43
Kebesaran yang sejati bukanlah soal kepemimpinan, kekuasaan, atau prestasi perorangan yang tinggi (ayat Mr 10:42), melainkan sikap hati yang dengan sungguh-sungguh ingin hidup bagi Allah dan bagi sesama manusia. Kita harus sedemikian mengabdi kepada Tuhan sehingga kita menyatu dengan kehendak-Nya di dunia tanpa menginginkan kemuliaan, kedudukan atau pahala kebendaan. Melaksanakan kehendak Allah, menuntun orang kepada keselamatan di dalam Kristus serta menyenangkan hati Allah merupakan upah dari mereka yang betul-betul besar
(lihat cat. –> Luk 22:24-30;
[atau ref. Luk 22:24-30]
mengenai kebesaran di Luk 22:24-30).
9 Full Life : MENJADI TEBUSAN.
Nas : Mr 10:45
Lihat cat. –> Mat 20:28; dan
lihat cat. –> Rom 3:25
[atau ref. Mat 20:28; Rom 3:25]
mengenai makna kematian Kristus bagi umat manusia.
“Tidak Baik, Kalau Manusia Itu Seorang Diri”
Perceraian pada abad pertama merupakan bagian kehidupan yang diterima secara umum, baik di kalangan orang Yahudi maupun mungkin lebih diterima dalam budaya Yunani-Romawi yang lebih luas. Beberapa penulis dan pemimpin publik menentang perceraian karena dianggap buruk bagi masyarakat, tetapi sebagian besar orang hanya memperdebatkan rincian dasar hukumnya. Di antara para ahli hukum Yahudi, Ulangan 24:1-4 merupakan teks utama, yang mengasumsikan bahwa perceraian akan terjadi dan melarang prosedur untuk melaksanakannya. Namun, kitab suci lainnya mempertanyakan kebolehan perceraian (lihat Maleakhi 2:13-16; Kejadian 2:24).
Ujian
Orang Farisi yang bertanya kepada Yesus tentang perceraian melakukannya “untuk menguji” Dia. Oleh karena itu, adegan tersebut, melalui 10:9, berlanjut sebagai konfrontasi di mana Yesus menunjukkan bahwa orang Farisi telah salah memahami Kitab Suci. Lebih tepatnya, mereka salah memahami rancangan Tuhan dan menyalahgunakan Kitab Suci dan tradisi interpretatif untuk membenarkan kesalahan mereka (bandingkan 7:6-13). Mengenai niat orang Farisi, mereka mungkin berharap pertanyaan mereka akan mengungkap Yesus sebagai orang yang berbahaya bagi keluarga, mengingat komentar-komentarnya yang memalukan dalam 3:31-35 (bandingkan 10:29-30; 13:12-13).
Yesus mengalihkan pembicaraan dengan orang Farisi dari dasar hukum perceraian ke rancangan Allah untuk pernikahan. Yaitu, Ia menolak hukum (Ulangan 24:1-4) sebagai konsesi terhadap kelemahan manusia dan menawarkan perspektif berbeda yang berakar pada ciptaan (mengutip Kejadian 1:27; 2:24). Argumen singkat-Nya menggambarkan pernikahan sebagai ikatan yang kuat dan (secara harfiah) menyatukan antara dua orang. Karena Ia memandang pernikahan sedemikian rupa, maka Ia menentang perceraian seperti yang Ia lakukan.
Secara teknis, Yesus menyiratkan bahwa Ia tidak menyetujui perceraian. Lebih jelasnya, Ia mengatakan bahwa perceraian bertentangan dengan rencana Allah sebagaimana dinyatakan dalam Kejadian 1-2. Kemudian, bersama para murid-Nya, Ia mengungkapkan hal-hal yang lebih spesifik, dengan mengatakan bahwa seseorang yang mengajukan perceraian untuk menikahi orang lain berarti berzinah. Dalam semua ini, Yesus meradikalkan tuntutan Kitab Suci ke titik yang mungkin jauh melampaui apa yang akan dipahami oleh orang Farisi. Untuk menyelidiki makna dari bagian ini, kita perlu mempertimbangkan bagaimana Yesus menyampaikan pendapat-Nya dan apa yang ingin Ia capai melalui hal itu.
Melihat Lebih Dalam
Yesus tidak mengatakan apa yang dilakukannya karena ia menentang hukum Musa. Jauh dari itu. Rincian teks dan konteks budaya menjelaskan tujuan dan asumsi argumennya.
- Dalam 10:4, orang Farisi mengutip Ulangan 24:1-4, yang mengizinkan seorang pria menceraikan istrinya jika ia “menemukan sesuatu yang tidak menyenangkan tentangnya.” Pertama, ini mengingatkan kita bahwa bagian hukum ini, seperti perdebatan hukum “resmi” di antara orang-orang sezaman Yesus (lihat 10:2), mengandaikan sudut pandang seorang pria. Kedua, perdebatan terkenal yang berfokus pada ayat-ayat tersebut, dengan mazhab juru tulis Hillel menganggapnya mengizinkan perceraian dengan alasan apa pun dan mazhab Shammai menganggapnya mengizinkan perceraian hanya dalam kasus perzinahan. Yesus tidak menunjukkan minat untuk terlibat dalam perdebatan itu, dan Ia juga tidak melanjutkan dengan mengasumsikan hak prerogatif seorang suami dalam masalah tersebut. 1
- Pernikahan di dunia kuno, setidaknya di antara sebagian besar strata sosial, pada dasarnya merupakan sarana untuk memastikan stabilitas ekonomi dan hak istimewa sosial keluarga (dengan menciptakan keturunan dan aliansi antar-keluarga). Seksualitas seorang wanita pada dasarnya adalah milik ayahnya, kemudian milik suaminya.
- Orang Farisi lalai menyebutkan bagian penting dari Ulangan 24:1-4, yang mengharuskan seorang suami memberikan surat cerai kepada mantan istrinya. Dokumen semacam itu dapat menjadi pembelaan bagi wanita yang bercerai terhadap rumor dan fitnah. Bagi sebagian besar wanita dalam budaya itu, kelangsungan hidup bergantung pada menjadi anggota rumah tangga. Seorang wanita, mungkin dengan anak-anak, tanpa suami dan tanpa cara untuk menjelaskan mengapa dia tidak menikah, dapat menghadapi risiko besar. Ketentuan hukum tentang surat cerai berusaha mengurangi risiko itu, tetapi tampaknya orang Farisi menganggap detail itu tidak perlu diperhatikan.
- Ketika Yesus berbicara dengan murid-murid-Nya dalam 10:10-12, Ia tidak mengatakan apa pun tentang pasangan yang ditolak dalam perceraian dan pernikahannya kembali. Ia tampaknya berbicara secara khusus menentang mereka yang meninggalkan pasangannya demi orang lain. Maksud-Nya adalah bahwa perceraian tidak menawarkan celah hukum untuk membenarkan perzinahan. Artinya, kata-kata-Nya yang paling keras ditujukan kepada mereka yang memulai perceraian sebagai sarana untuk mendapatkan sesuatu yang lain, mengorbankan pasangannya untuk memuaskan keinginan atau ambisi seseorang.
Dalam 10:10-12, Yesus memberi wanita tempat yang lebih setara dalam hubungan pernikahan, sama sekali tidak melihat mereka sebagai objek pasif. (hubungan kesederajatan. Tidak ada superioritas dan dominasi kaum lelaki/suami terhadap sang istri. Hubungan harus bersifat egaliter. Setara dan sederajat). Hubungan model itulah yang diharapkan Allah bagi manusia, maka dari itu, Allah menciptakan Hawa dari tulang rusuk Adam.
Maka begitu Adam tersadar bangun, yang dikatakannya adalah:” Inilah tulang dari tulang rusukku, daging dari dagingku.” Lebih jauh, hubungan yang egaliter itu, adalah hubungan ke-esa-an. Relasi intim mesra tak terpisahkan, entah dengan alas an apapun. Karena itu dengan tegas Yesus menolak perceraian! Dia kemudian menyadarkan orang-orang yang tegar hatinya, untuk kembali memahami maksud Allah dalam konteks Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam.
Pertama-tama, larangan 10:12, mengenai wanita yang menceraikan suami mereka, sejajar dengan 10:11. (Injil Matius menegaskan sifat skandal dari saran tersebut: ia menghilangkannya! Lihat Matius 19:9.) Kedua, dengan berbicara tentang seorang pria yang melakukan perzinahan terhadap seorang wanita (dan bukan terhadap ayahnya atau mantan atau suaminya saat ini), Yesus menyiratkan bahwa perzinahan melibatkan lebih dari sekadar pelanggaran hak milik pria lain. Itu menyangkut pertanggungjawaban kepada pasangan, sama seperti pernikahan.
Rincian ini menyoroti perbedaan budaya antara kita dan Injil, tentu saja. Tentu saja saat ini, setidaknya dalam budaya industri, pernikahan telah banyak berubah, tidak lagi tentang ekonomi dan lebih tentang orang-orang yang mencari kepuasan bersama. Dan sementara perceraian masih sering membawa orang (terutama wanita) ke dalam kesulitan keuangan, wanita yang bercerai saat ini tidak selalu mendapati diri mereka ditakdirkan untuk menghadapi bahaya sosial yang sama seperti yang dihadapi banyak rekan mereka di zaman dahulu. Namun, poin-poin ini tidak membuat bagian ini tidak relevan. Sebaliknya, kekhususan budaya dan tekstual menjelaskan bagaimana ajaran Yesus dapat melindungi wanita pada zamannya dari pria yang menggunakan perceraian untuk keuntungan mereka sendiri dan dengan demikian membahayakan wanita.
Ini bukanlah satu-satunya tempat di mana Yesus mengatakan bahwa rencana Allah berarti menyediakan keutuhan dan perlindungan bagi mereka yang rentan (lihat 2:23-3:6). Bukanlah suatu kebetulan bahwa Markus selanjutnya menceritakan sebuah kisah tentang Yesus yang memberkati anak-anak (10:13-15). Anak-anak di dunia kuno memiliki sedikit hak dan pada dasarnya tidak memiliki status sosial. Oleh karena itu para murid menghalangi orang-orang yang membawa anak-anak kepada Yesus. Yesus memberkati mereka, bukan karena mereka membayangkan gambaran manis tentang kepolosan malaikat, tetapi karena Ia peduli terhadap mereka yang rentan dan dicemooh, terhadap mereka yang siap untuk dieksploitasi.
Yesus menggambarkan pernikahan dengan sangat serius, sebagai sesuatu yang melampaui kewajiban kontraktual dan manfaat ekonomi, sebagai sesuatu yang berakar pada identitas manusia. Ini memberikan teguran tajam kepada siapa pun yang akan menafsirkan pernikahan sebagai kontrak yang dibuat dengan santai dan dilanggar dengan santai. Ini mendorong gereja untuk mempromosikan dan membina pernikahan yang sehat, dan dalam kasus perceraian dan pernikahan ulang untuk memberikan belas kasih dan memfasilitasi penyembuhan.
Khotbah Khotbah
harus membahas perkataan Yesus tentang perceraian untuk membantu orang memperoleh perspektif teologis tentang hal itu. Ini tidak berarti bahwa bagian itu memulai permainan “jebakan” eksegetis di mana orang-orang meninggikan dosa-dosa tertentu di atas dosa-dosa lain atau mencoba menguraikan dengan tepat di mana Yesus menyalahkan. Karena khotbah adalah bentuk kepedulian pastoral, dan karena perceraian telah menyentuh hampir setiap keluarga, para pengkhotbah harus memikirkan tentang bagaimana khotbah dapat mendorong penyembuhan sambil bergumul dengan alasan teologis bagian itu tentang pernikahan dan perceraian.
Meskipun satu khotbah tidak seharusnya ditujukan untuk membahas semua isu yang diangkat dalam bagian ini, khotbah tersebut dapat mempertimbangkan beberapa poin yang diperoleh dari studi kita terhadap teks tersebut:
- Jika pernikahan adalah seperti yang Yesus katakan, maka kita lebih memahami mengapa pernikahan yang gagal mendatangkan begitu banyak penderitaan bagi pasangan, keluarga besar, dan masyarakat. Yesus memperlihatkan luka dan kehancuran yang datang, bahkan ketika perceraian tampaknya menjadi yang terbaik di antara semua pilihan yang tersedia. Kepedulian khusus Yesus terhadap anak-anak seharusnya mengingatkan kita bahwa mereka sering menjadi korban ketika orang tua bercerai.
- Asumsi dalam bagian ini mengharuskan kita untuk memperhatikan perbedaan antara konteks budaya kita dan Yesus, jika kita ingin memahami dan menghormati sebagian alasan di balik larangan Yesus. Seperti yang telah dipelajari dengan susah payah oleh gereja selama beberapa generasi terakhir, memaksakan kata-kata ini tanpa berpikir kritis sebagai perintah yang tidak dapat diganggu gugat dapat mengakibatkan gereja menolak perlindungan dan kasih karunia bagi mereka yang membutuhkannya.
- Namun, kita tidak berani menganggap perkataan Yesus kuno dan ketinggalan zaman. Bagian ini juga mendesak kita untuk memandang pernikahan secara kontras dengan kecenderungan budaya kita yang menganggap komitmen dan cinta sebagai sesuatu yang bersyarat.
1 Para cendekiawan terlibat dalam perdebatan sengit tentang sejauh mana wanita Yahudi pada abad pertama dapat mengajukan gugatan cerai. Yesus mungkin mengakui hal ini dalam 10:12, tetapi pada akhirnya menyelesaikan masalah tersebut bukanlah hal yang penting untuk menafsirkan bagian ini.
Tidak ada keluarga yang sempurna. Kita tidak punya orang tua yang sempurna. Kita tidak menikah dengan orang yang sempurna atau punya anak yang sempurna. Kita saling mengeluh tentang satu dan lainnya. Kita saling membuat kecewa.
Namun, hanya sesuatu inilah yang membuat keluarga itu sempurna. Sesuatu itu yang membuat orang tua sempurna. Sesuatu itulah yang membuat anak-anak menjadi sempurna. Sesuatu itu adalah pengampunan yang terus-menerus tanpa henti di dalam keluarga.
Karena menurut Paus Fransiskus:” Pengampunan itu sangat penting bagi kesehatan emosi, ketahanan jiwa, dan spritualitas kita. Tanpa pengampunan keluarga akan menjadi arena konflik dan tempat bagi semua hati yang terluka. Tanpa pengampunan, keluarga akan sakit. Pengampunan adalah pelindung jiwa, pembersih pikiran dan pembebasan hati.
Siapapun yang tidak mengampuni tidak akan mendapatkan kedamaian jiwa atau pun bisa bersatu dengan Tuhan. Rasa sakit/luka adalah racun yang sangat berbahaya dan bisa membunuh. Mempertahankan rasa sakit di hati adalah tindakan penghancuran diri.
Pengampunan adalah sebuah pembersihan diri. Siapa pun yang tidak mengampuni maka baik secara fisik, emosi, dan spiritual ia sakit. Itu sebabnya keluarga haruslah jadi tempat kehidupan, bukan kematian. Keluarga adalah wilayah untuk pengobatan dan bukan untuk saling menyebarkan firus penyakit. Keluarga pada akhirnya menjadi arena pengampunan tanpa henti.”
Karena keluarga adalah duplikasi kerahiman Allah tanpa berkesudahan. Keluarga adalah tempat pertama kita untuk belajar mencintai, belajar mengampuni dan belajar untuk saling memaafkan.”
Pesan Paus Dalam perayaan Ekaristi pertemuan Keluarga se Dunia ke 10, Sabtu (25/6/2022) di Vatikan.
(“Keluarga adalah tempat pertama kita untuk belajar mencintai,” pesan Paus Fransiskus dalam kotbahnya.
Paus kemudian merenungkan bacaan liturgi hari itu terkait berbagai aspek cinta perkawinan dan keluarga.
Kepada pasangan yang sudah menikah, Paus memuji keputusan untuk membangun sebuah keluarga dan menggunakan kebebasan bukan untuk diri sendiri. Tetapi untuk mencintai orang-orang yang telah Tuhan berikan.
“Anda menjadi pelayan untuk saling melayani satu sama lain Tidak ada planet atau satelit yang bergerak masing – masing. Begitu juga keluarga adalah tempat perjumpaan dan berbagi,” kata Paus seperti dilansir dalam Vatican News.
Oleh karena itu Paus berharap agar jangan membiarkan Keluarga diracuni oleh racun keegoisan, individualisme, acuh tak acuh dan pemborosan. Karena akan berakibat kehilangan jati diri dalam semangat saling menerima dan melayani.
“Anak-anak tidak akan dapat menemukan jalan mereka sendiri ditengah kondisi masyarakat saat ini yang membuat orang tua cemas dan over protektif,” tambahnya.
Sehingga diharapkan peran orang tua agar tidak cemas dan terlalu protektif. Namun Paus berharap agar orang tua terus membangkitkan semangat mereka dalam menemukan panggilannya.
“Jika anda membantu anak-anak menemukan dan menerima panggilan mereka. Maka anda akan melihat bahwa mereka menemukan kekuatan yang dibutuhkan untuk menghadapi dan mengatasi tantangan kesulitan hidup,” tukasnya.
Paus juga mengajak agar setiap keluarga Kristen agar dapat terus menunjukkan kesetiaan dan kesabaran meskipun ada kesulitan seperti kesedihan serta pencobaan.
Karena menurutnya akan ada saat-saat pertengkaran, saling tidak menerima serta kesalahpahaman yang lahir dari hati manusia. Tetapi itu merupakan kasih karunia Kristus dengan cara memanggil kita untuk saling menerima.
“Dengan menerima panggilan pernikahan dalam keluarga, pasangan telah memulai perjalanan hidupnya,” Perjalanan keluarga yang brsifat romantika dan dinamika yang diwarnai dengan perjalanan bersama untuk saling membahagiakan. Perjalanan bersama untuk saling memerdekakan dalam untung dan malang, dalam suka dan duka, dalam susah dan senang dan dalam sehat dan sakit. Perjalanan bersama untuk terus menerus menumbuh-kembangkan rasa cinta dan kasih saying. Pada akhirnya perjalanan bersama untuk tetap sehati dan sejiwa memegang kesetiaan perkawinan. Panggilan untuk saling menguduskan. .
Paus juga mengajak keluarga untuk terus melihat kedepan, seperti Yesus selalu mendahului kita dalam cinta dan pelayanan. (Fransiskus)
Berdua lebih baik dari pada seorang diri, karena mereka menerima upah yang baik dalam jerih payah mereka. Karena kalau mereka jatuh, yang seorang mengangkat temannya, tetapi wai orang yang jatuh, yang tidak mempunyai orang lain untuk mengangkatnya! (Pengkotbah 4:9-10 TB)
Pada awalnya Tuhan menciptakan seorang penolong bagi Adam karena Tuhan melihat tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja. Oleh karena itu Tuhan menciptakan seorang penolong baginya, yang sepadan dengan dia (Kejadian 2:18). Adam memberi nama Hawa kepada isterinya, sebab dialah yang menjadi ibu semua yang hidup (Kejadian 3:20). Jadi konsep pernikahan itu dimulai oleh Tuhan ditaman Eden agar kedua manusia yang hidup sebagai suami dan isteri tersebut dapat hidup saling melengkapi, saling membantu, saling berbagi dan saling membahagiakan.
Pada saat dua orang berjanji untuk menikah untuk membangun sebuah rumah tangga, pusat perhatian berubah dari diri sendiri pada saat masih lajang menjadi perhatian yang ditujukan kepada pasangan hidup dan anak-anak dimasa yang akan datang. Sudah menjadi kewajiban pasangan hidup untuk mengangkat teman hidupnya pada saat teman hidupnya jatuh; memberikan dorongan pada saat kandas; menghibur pada saat sedih; memberikan masukan pada saat alam pikiran sedang kusut, dan seterusnya.
Hidup pernikahan dapat menjadi sangat indah jika kedua pasangan siap saling berbagi kasih; berbagi solusi pada saat masalah timbul dalam mengarungi bahtera kehidupan seperti kata pepatah berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Kehidupan berumah tangga tidak pernah akan membosankan jika masing-masing pasangan hidup dapat memainkan peran sertanya sebagai suami atau isteri, seperti sebuah warna yang memberikan kesegaran pada mata yang memandangnya, seperti alunan musik yang menyejukkan hati bagi telinga yang mendengarkannya, dan seperti sebuah pelangi yang membawa pengharapan setelah hujan berlalu.
Pada saat Anda melihat pasangan hidup Anda yang berbaring disamping Anda disaat Anda membuka mata dipagi hari dan mendengar tangisan bayi dimalam hari, apakah Anda merasa terganggu atau kebahagiaankah yang muncul dipikiran Anda? Pada saat Anda pulang kerumah dipetang hari setelah bekerja sepanjang hari, apakah Anda merasa berbahagia karena Anda tahu ada orang yang Anda kasihi sedang menunggu dan merindukan kehadiran Anda dirumah setelah berpisah sepanjang hari? Firman Tuhan dalam Amsal 18:22 (TB) berkata, “Siapa mendapat isteri, mendapat sesuatu yang baik, dan ia dikenan TUHAN”. Sebaliknya siapa yang mendapat suami juga mendapat sesuatu yang baik, dan ia juga dikenan Tuhan.
Sadar bahwa Anda menikah dengan orang pilihan Anda sendiri, sesungguhnya Anda adalah orang yang paling berbahagia karena Anda mendapat sesuatu yang baik dan Anda dikenan Tuhan. Karena menikah itu merupakan pilihan yang Anda ambil, tidak seharusnya Anda merasa jengkel, kesal atau marah terhadap pasangan hidup Anda karena sesungguhnya Anda telah mengenal pasangan hidup Anda, sebagian besar dari karakter dan kebiasaan-kebiasaannya juga Anda kenal jauh sebelum Anda menikah. Jika Anda tidak suka dengan kebiasaannya merokok, berjudi atau nonton hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai kehidupan Anda, kebiasaannya yang selalu marah sekalipun terhadap hal-hal yang sepele, Anda tidak perlu menikah dengannya. Tidak ada satu orangpun yang dapat memaksa Anda menikah dengan orang yang Anda tahu karakter, sikap dan perilakunya tidak sesuai dengan nilai-nilai kehidupan Anda.
Jika memilih teman hidup didasarkan pada penampilan luar, kekayaan, kedudukan sosial dalam masyarakat dengan mengabaikan karakter, maka penyesalan akan muncul dikemudian hari. Jika Anda terlanjur membuat kesalahan, penulis menganjurkan Anda untuk proaktif dalam mencari solusi dengan menghubungi konselor pernikahan dengan mengajak pasangan hidup Anda untuk turut berperan serta.
Penulis yakin air laut tidak dapat menenggelamkan kapal yang berlayar kecuali air laut tersebut masuk memenuhi kapal tersebut, jika ada kebocoran pada kapal yang ditemukan saat berlayar, kebocoran tersebut harus segera diperbaiki. Demikian juga dengan bahtera pernikahan yang Anda berdua arungi, jika ada masalah yang muncul, maka masalah tersebut harus segera diatasi tanpa menunggu sampai masalah tersebut menjadi besar dan menenggelamkan bahtera pernikahan Anda. Semoga bermanfaat dan boleh menjadi berkat
Tidak Baik, Kalau Manusia Itu Seorang Diri Saja.
Bapa, ibu, saudara, saudari yang terkasih dalam Kristus, Minggu Biasa ke-27 hari ini, terasa hari sedang melangsungkan sebuah pernikahan suci. Sebab bacaan-bacaan hari ini mengetengahkan kepada kita tentang Allah sebagai inisiator utama dalam hidup perkawinan. Karena itulah maka Allah adalah aktor utama dalam hidup dan kehidupan sebuah keluarga. Sebagai inisiator Allah sejak awal manusia itu diciptakan, Tuhan sudah tahu bahwa tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Karena itu, Dia membuat Adam tertidur lelap sebagaimana cerita Kitab Kejadian.
“Lalu TUHAN Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, TUHAN Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk yang diambil TUHAN Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu. Lalu berkatalah manusia itu: “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki.” Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.”
Perempuan itu tidak diciptakan Allah tidak hanya sebagai pelengkap bagi Adam. Tetapi dia memiliki peran istimewa. Dalam konteks kehidupan berkeluarga. Peran itu tak tergantikan oleh siapapun. Oleh Allah, perempuan yang diciptakanNya itu hadir dan ada sebagai “Penolong yang Sepadan.”
Penolong yang sepadan dimaknai sebagai wanita diciptakan untuk menjadi rekan yang mengasihi dan menolong laki-laki. Selaku rekan ia harus bersama-sama menanggung tanggung jawab laki-laki dan bekerja sama dengannya dalam memenuhi maksud Allah bagi kehidupan laki-laki dan keluarga mereka. Kerjasama laki-laki dan perempuan itu, hanya untuk memenuhi maksud Allah. Maksud Allah itu adalah menjadikan pria dan wanita itu sebagai con creator Allah, – sebagai rekan pencita Allah -, yakni menciptakan manusia baru. Maka pada bagian lain dari kitab ini, kepada manusia Allah bersabda:”Berkembangbiaklah dan beranakcuculah, penuhilah muka bumi seperti pasir di laut dan bintang-bintang di langit.”
Untuk bisa memenuhi maksud Allah itu, satu-satunya lembaga yang terhormat dan dikuduskan Allah sendiri adalah:” Keluarga.” Hanya di dalam keluarga itu sajalah, maksud Allah dipenuhi oleh seorang perempuan dan seorang laki-laki yang sudah dikuduskan dalam ikatan perkawinan suci.
Karena itu maka sejak semula Allah menetapkan pernikahan dan kesatuan keluarga sebagai lembaga pertama dan paling penting di bumi. Di dalam kehidupan keluarga itu rencana Allah bagi pernikahan adalah satu orang laki-laki hanya untuk satu orang wanita yang menjadi “satu daging.” Kebersatuan daging ini berarti menolak perzinaan, poligami, poliandri, homoseksualitas, perkawinan sesama jenis alias LBGT,perkawinan kontrak dan perceraian.
Dalam konteks inilah kemudian Yesus menjawab pertanyaan orang –orang Farisi yang hendak mencobai-Nya:
“Maka datanglah orang-orang Farisi, dan untuk mencobai Yesus mereka bertanya kepada-Nya: “Apakah seorang suami diperbolehkan menceraikan isterinya?” Tetapi jawab-Nya kepada mereka: “Apa perintah Musa kepada kamu?” Jawab mereka: “Musa memberi izin untuk menceraikannyal dengan membuat surat cerai.” Lalu kata Yesus kepada mereka: “Justru karena ketegaran hatimulah maka Musa menuliskan perintah ini untuk kamu. Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan,sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging.Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.”
Kata-kata Yesus “Barangsiapa menceraikan isterinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinahan terhadap isterinya itu. Dan jika si isteri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zinah,” sejatinya menggambarkan sikap Yesus yang dengan tegas menolak perceraian.
Maka dalam pengajaran Yesus khusus kepada para murid-Nya itu, Yesus hendak memberikan wanita tempat yang lebih setara dalam hubungan pernikahan, sama sekali tidak melihat mereka sebagai objek pasif. Jadi Yesus melihat hubungan kesederajatan. Tidak ada superioritas dan dominasi kaum lelaki/suami terhadap sang istri. Jadi Yesus mengajarkan hubungan harus bersifat egaliter. Hubungan yang setara dan sederajat. Hubungan model itulah yang diharapkan Allah bagi manusia, maka dari itu, Allah menciptakan Hawa dari tulang rusuk Adam.
Saudara-saudaraku yang terkasih, dari ajaran Yesus bahwa apapun tidak boleh menjadi alasan perceraian, dapat kita tafsir bahwa karena relasi ke-esa-an yang bersifat egaliter itu maka bila ada sesuatu hal yang hendak menggagal-ceraikan perkawinan yang sudah dikuduskan Allah itu, hal-hal itu harus segera diatasi dengan pengampunan dan saling memaafkan.
Karena itu, bila ada keluarga yang sedang di ambang kehancuran, ingat baik-baik pesan Paus Fransiskus yang saya kutip berikut ini:” Pengampunan harus berangkat dari kesadaran bahwa kita tidak menikah dengan orang yang sempurna. Tidak ada keluarga yang sempurna. Kita tidak punya orang tua yang sempurna atau punya anak yang sempurna. Namun, hanya sesuatu inilah yang membuat keluarga itu sempurna. Sesuatu itu yang membuat orang tua sempurna. Sesuatu itulah yang membuat anak-anak menjadi sempurna. Sesuatu itu adalah pengampunan yang terus-menerus tanpa henti di dalam keluarga.
Pengampunan itu sangat penting bagi kesehatan emosi, ketahanan jiwa, dan spritualitas kita. Tanpa pengampunan keluarga akan menjadi arena konflik dan tempat bagi semua hati yang terluka. Tanpa pengampunan, keluarga akan sakit. Pengampunan adalah pelindung jiwa, pembersih pikiran dan pembebasan hati.
Siapapun yang tidak mengampuni tidak akan mendapatkan kedamaian jiwa atau pun bisa bersatu dengan Tuhan. Rasa sakit/luka adalah racun yang sangat berbahaya dan bisa membunuh. Mempertahankan rasa sakit di hati adalah tindakan penghancuran diri.
Pengampunan adalah sebuah pembersihan diri. Siapa pun yang tidak mengampuni maka baik secara fisik, emosi, dan spiritual ia sakit. Itu sebabnya keluarga haruslah jadi tempat kehidupan, bukan kematian. Keluarga adalah wilayah untuk pengobatan dan bukan untuk saling menyebarkan firus penyakit. Keluarga pada akhirnya menjadi arena pengampunan tanpa henti. Karena keluarga adalah duplikasi kerahiman Allah tanpa berkesudahan. Keluarga adalah tempat pertama kita untuk belajar mencintai, belajar mengampuni dan belajar untuk saling memaafkan.”
Putra Amsa mengatakan:” Siapa mendapat isteri, mendapat sesuatu yang baik, dan ia dikenan TUHAN”. Sebaliknya siapa yang mendapat suami juga mendapat sesuatu yang baik, dan ia juga dikenan Tuhan. Karena itu, tidak baik bila manusia itu seorang diri saja! ***