Oleh : Robert Bala
Lulusan Diploma Resolusi Konflik Asia – Pasifik Universidad Complutense de Madrid Spanyol.

WARTA-NUSANTARA.COM–Banyak orang bertanya (heran) sambil berharap kapan bisa menulis tentang Paulus Doni Ruing (PDR). Saya tidak menjawab karena soal ide itu seperti jinak-jinak merpati. Kadang dekat dan mau ditangkap tetapi kadang terasa sulit, karena ia terbang jauh. Karena itu saya hanya terdiam sambil menunggu waktu.


Pagi ini setelah kembali dari aktivitas rutin jam 05.00, segera datang ide untuk menulisnya. Saya ingin mengatakan bahwa tidak mudah menulis tentang orang yang saya kenal. Untuk orang yang saya kenal ‘pas-pasan’ lebih mudah. Tetapi untuk orang yang saya kenal cukup mendalam justru menjadi sulit.


Sulit karena kadang tidak bisa memilih dari begitu banyak hal yang saya kenal. Sulit karena seperti sebuah pandangan estetis, harus butuh jarak. Sebuah gunung yang tinggi dan indah hanya bisa dilihat dari kejauhan. Karena itu saya coba ambil jarak untuk menulis dengan harapan aura tulisan itu tidak terpengaruh oleh hal-hal sentimental.


Untuk menulis tentang “PDR”, saya lakukan setelah menulis tentang yang lain. Hal itu untuk menunjukkan bahwa tidak ada fanatisme berlebihan saat menulis tentang pria dengan kecermatan berpikir yang luar biasa ini.
Saya sudah menulis tentang TOL yang bermain politik ibarat pemain sepak bola. Tahu kerja dalam tim tetapi tiba saatnya ia bisa tampil sebagai eksekutor. Dengan Jawa, saya menyanjungnya dengan tulisan ‘Tanpa Beban’ yang merupakan salah satu tulisan terpopuler saya. Juga dengan Jimmy saya memberikan apresiasi dan sangat yakin ia akan jadi bupati di tahun 2029 bukan sekarang. Kalau sekarang hanya Tuhan dan timses yang tahu.

Calon bupati lain, Kanis Tuaq dan Simeon Odel saya membaca tentang mereka tetapi belum berkesempatan mengenal mereka secara priabdi. Inilah kesulitan untuk membuat tulisan dengan melibatkan rasa yang menjadi ciri khas saya dalam menulis. Kini saya berkesempatan menulis tentang PDR yang saya kenal dengan bahaya bahwa karena terlalu banyak hal yang saya tahu maka kadang saya justru kesulitan. Ini pula yang jadi alasan mengapa baru sekarang saya bisa menulis.
Strategis – Eksekutor
Saya mengenal PDR jauh sebelumnya. Tetapi pengenalan yang intens baru terjadi dalam 8 tahun terakhir saat kami bersama-sama berada dalam Yayasan Koker Niko Beeker. Kehadiran PRD di Yayasan itu sangat terasa. Ada perbedaan ketika PDR hadir dalam meeting atau tidak. Kalau tidak hadir maka terasa ada yang kurang. Orang Spanyol mengungkapan dalam bahas ayang indah: ia bercahaya ketika absen (briilla por su ausencia).
Ia mendengarkan, mencermati, dan kemudian memetakan persosalan. Sebagai Ketua Yayasan saya sangat terbantu oleh pemikiran yang strategis seperti ini. PDR lalu mengajak dan memberanikan kami yang lain untuk ekseusi. Tentu saja ia berikan gambaran yang mencerahkan dan penuh optimisme sehingga tidak ada pilihan selain jalankan apa yang sudah direncanakan.
Saya bertanya, mengapa PDR sampai begitu strategik dan jadi eksekutor? Jawabannya karena ia sudah makan asam-garam dalam berorganisasi. Ia bekerja dengan pola manajerial tingkat tinggi seperti ‘ISO’ (International Organization for Standardization).
Tetapi itu saja tidak cukup. PDR memulai dari dapurnya. Saat kami memulai Yayasan ia ingatkan bahwa sebuah Yayasan perlu punya nilai sehingga kuat secara ke dalam. Atas inspirasinya, kemudian kami mendalami hingga menemukan 5 K sebagai nilai (Kejujuran, Komitmen, Kepedulian, Kontribusi, dan kolaborasi). Nilai ini sangat diingat oleh semua pengurus sampai kini.
Semau nilai di atas bukan ‘asal disebut’. Nilai itu kami gali dan coba (bukan coba-coba) hidupi. Ia sudah mulai berbuah dengan kehadiran sekolah dengan bangunan (rencananya) 3 lantai dan kini bisa berdiri megah. Itu semuanya tidak bisa dilepaskan dari seorang pemikir, visioner, ahli strategis, dan ekskutor sekelas PDR.
Gagasan lain dari PDR tentang ekonomi kerakyatan menjadi sangat menarik. Dari Jakarta ia sudah bisa memetakan tentang gagasan ekonomi kerakyatan. Antara lain ia melihat bagaimana menjadikan bumdes sebagai sokoguru perekonomian rakyat. Ia membayangkan bagaimana orang Lembata bisa menguasai hasil buminya dan bukan hanya ‘timbang kasih baba dorang bawa entah ke mana’.
Dengan kualitas seperti itu saya tentu sangat meyakini kalau bisa menjadi salah satu pertimbangan pemilih. Tetapi politik itu tidak semudah yang dibayangkan. Kepada PDR saya sempat bertanya jauh sebelumnya apakah bisa menerima jadi ‘orang nomor 2’ di Lembata yang dijawabnya tidak (saat itu). Tetapi politik memang tidak setegas itu. Bahwa ia kemudian menjadi orang ‘nomor dua’ bersama Vian, saya rasa tidak jelek-jelek amat. Berpasangan dengan Vian, saya melihat justru PDR melengkapi apa yang selama ini kurang pada Vian. Minimal dengan aura politik di negeri ini di bawah Prabowo, PDR akan memainkan jaringannya hanya demi membawa berkah kepada Lembata yang masih hidup dari menadah tangan.
Konsep ‘Dwi Tunggal’ yang dilandirkan untuk Vian-PDR hemat saya selain positif menjadi ide tetapi juga menutup celah kekurangan yang ditemukan dalam Vian. Kegagalan Vian beberapa kali dalam tingkat legislatif – eksekutif dengan mudah dan cerdas bisa diisi oleh PDR yang bisa memberikan visi yang lebih meyakinkan.
Tapi ini semuanya tentu akan kembali kepada pemilih. Tapi itu katanya yang ‘dulu-dulu’. Dulu, waktu itu, dan ‘tempo hari’, masih ada yang berprinsip: moe soreng goe pi’ra (kamu kasih berapa). Sekarang (katanya) orang Lembata tidak seperti itu lagi, sudah cerdas. Mereka bisa berjoget ria, ikut dalam kampanye akbar dengan sewa tenda agar semua pemilih bisa ‘duduk manis’ menunggu para pengemis datang jual bibir manis, tetapi ketika hari ‘h’ mereka dengan bangga bilang: “kering kah mayak…”.
Itu semuanya tentu akan kembali ke pemilih Lembata. Mereka punya hak dan hak itu harus dihargai. Bagi mereka yang belum terlibat dalam fanatisme politik yang asal mendukung karena ada ‘embel-embel’ maka masih mudah untuk memperkenalkan orang-orang baik (termasuk di dalamnya PDR). Tetapi bagi yang sudah terpapar fanatisme berlebihan apapun yang kita sampaikan tetap tidak masuk di akal. ***
Robert Bala. Diploma Resolusi Konflik Asia – Pasifik Universidad Complutense de Madrid Spanyol.