Oleh : Robert Bala
WARTA-NUSANTARA.COM–Banyak orang untuk tidak mengatakan hampir semua orang berusaha menghindari kematian. Kalau boleh, kematian itu tidak dibicarakan. Biarkan dia membicarakan dirinya sendiri karena saya yang hidup seribu tahun lagi, kata Chairil Anwar dalam puisinya.
Hanya sedikit orang yang membicarakan kematian. Lebih sedikit lagi yang memesan kematian. Itu jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Salah satunya Siprianus Ata Wator yang wafat pada Sabtu, 12 Oktober 2024. Ia berani membicarakan kematiannya. ‘Kog bisa sih?’
Apa yang dilakukan pria kelahiran Bauraja β Atadei 19 Mei 1962 sehingga bisa memesan kematian? Ada tiga hal yang bisa menjadi penjelasannya.
Pertama, disebutkan bahwa seseorang akan masuk Surga ketika orang yang ada dalam tanggungjawabnya telah lebih dahulu masuk Surga. Itu berarti seseorang perlu melaksanakan perannya dengan baik sebagai syarat ia bisa masuk Surga. Bila yang lain sudah dibantu ke sana, maka ia tinggal tunggu waktu untuk menemani mereka yang lain.
Tanggungjawab bagi seorang SAW tentu paling utama pada keluarganya. Kalau tanggungjawab untuk dapat menyiapkan anak-anak mendapatkan pendidikan yang sesuai sudah dilaksanakan, itu hal yang penting tetapi bisa disebut biasa. Hal itu sudah dilaksanakan SAW terhadap anak-anaknya yang sudah jadi orang. Minimal dengan pekerjaan yang sudah diperoleh, masing-masing telah bisa menghidupi dirinya sendiri.
Tetapi tanggungjawab yang paling penting adalah kepada pasangan hidup, sang istri. Semua anak akan berkeluarga dan akan keluar dari rumah. Yang akan ada dan terus mendampingi adalah pasangan hidup. Hal ini yang diembaninya dalam hampir 2 tahun ini. Sejak sang istri mendapatkan kecelakaan dan nyaris bisa mengurus dirinya sendiri, di situlah SAW menunjukkan perannya.
Sebagai sesama pengurus dalam Yayasan Koker Niko Beeker, SAW yang selalu berusaha hadir dalam setiap pertemuan, kini meminta maaf karena harus mendampingi istri keluar dan masuk dari Rumah Sakit yang satu ke RS lainnya. Semuanya dijalankan atau lebih tepat diprioritaskan dari semua tugas lainnya.
SAW memberikan dirinya untuk sang istrinya setulus, semua, dan segalanya. (Segala-galanya untukmu, kira-kira begitu ungkapan yang tepat). Bahkan bisa jadi ia mengorbankan kesehatan dirinya dan lebih fokus memerhatikan istrinya.
Baginya yang paling penting adalah sang istri yang lagi sakit dan membutuhkan perhatiannya. Karena itu di tanggal 12/10, ia tentu masih ingin agar bisa menemani sang istri selama mungkin. Tetapi Tuhan memanggilnya untuk beristirahat dalam damai. “Sipri, mari, engkau istirahat sudah”, kira-kira begitu kata Tuhan dalam bahasa kita.
Ini adalah ekspresi bagaimana SAW menyiapkan dirinya dan mengapa tidak memeesan kematiannya. Kematian bisa datang kapan saja, karena itu ia harus mendekatinya. Ia tidak menghindar tetapi menjemputnya dan itulah yang ditunjukkan selama hidupnya.
Kedua, SAW memesan kematiannya lewat berbagi dengan sesama. Banyak orang berbagi dan memberi apa yang ia miliki kepada orang lain tetapi tidak banyak yang membagi hampir seluruh apa yang ada padanya dengan kurang memperhatikan dirinya. Bila banyak orang berusaha untuk mencari(cari) alasan untuk berbagi, maka SAW selalu menemukan jalan untuk berbagi.
SAW melakukan dengan cara yang paling sederhana yang barangkali banyak orang tidak melihat hal itu. SAW dengan kelincahan berkomunikasi bisa membantu orang untuk dapat memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM). Tetapi kalau orang membayar, ia tidak gunakan sedikit kelebihan untuk dirinya tetapi malah menyumbangkan kepada orang lain yang lebih membutuhkan. Selama bergabung dengan Yayasan Koker Niko Beeker, SAW selalu meminta agar kelebihan yang disumbangkan itu dialihkan ke dana Yayasan: “Opu (Om), saya langsung transfer kontribusinya ke Yayasan Koker”, demikian tulisnya setelah melakukan sebuah pelayanan.
Itu semua diberikan karena ia memberi dari waktu, memberi dari ketulusan berkomunikasi sehingga mendaptkan jalan. Hari ini seorang teman dosan yang dibantu mengurus SIM, saat saya beritahukan bahwa bapak yang membantu mengurus SIM meninggal, ia langsung menyebutnya: βPak WAtor ya Pakβ. Saya terdiam dan merasakan bahwa bantuan dengan tulus diingat dan dihargai.
Bantuan kepada orang lain ini tentu tidak dilakukan secara pribadi tetapi kepada sebuah entitas yakni budaya. Yang saya maksud, istri SAW yang berasal dari Sumatera Utara (Batak), memiliki budaya yang sanga tinggi dan sangat terkenal dengan kerjasama dan pengorbanan tanpa hitung (kadang melampaui kemampuan).
Di sini, SAW menjadi seperti orang Batak. Ia memberi apa yang ia miliki dan berkorban sampai sehabis-habisnya. Tetapi budaya Batak tidak hanya mencatat pemberian. Mereka sangat kuat mencatat bahwa apa yang didapatkan akan dikembalikan dalam pengorbanan yang bahkan melampaui.
Semangat rela berkorban inilah yang ia tunjukkan di Yayasan Koker Niko Beeker. Kami pengurus Yayasan kadang menjadi malu hati karena SAW selalu menjadi terdepan seperti iklan Yamaha: Selalu di depan. SAW selalu menemukan alasan untuk berbagi, berbeda dengan kami yang lain yang selalu menemukan alasan untuk tidak berbagi.
Dengan model kasih seperti ini, SAW hanya menghidupkan apa yang dikatakan Sang Guru tentang kasih tanpa batas: βTidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnyaβ (Yoh 15: 13). Ia memberikan dirinya tanpa batas. Hari ini kata-kata Yesus itu begitu hidup dan berarti. Dengan menghidupi hidup seperti ini maka sebenarnya ia memeesan tentang kematiannya. Selama hidup ia berusaha mematikan egonya dan memberi ruang pada orang lain untuk bisa menjadi bermakna.
Saat mewakili Yayasan untuk peletakkan batu pertama di SMA SKO SMARD Lembata, ia menunjukkan komitmennya. Di depan orang yang hadir ia mengatakan akan menyumbnagkan 100 sak semen untuk proses pembangunan SMARD. Gedung lt 1 yang sekarang sudah rampung itu adalah bekas tangan SAW.
Yang terakhir, ia sendiri memesan kematiannya melalui hal yang sangat sederhana yang mau saya kisahkan. Tanggal 22/09/2024 saat mengetahui bahwa akan terbit buku MENGIRINGI KEMATIAN, 73 Renungan untuk Ibadat Kematian, ia langsung meminta hal ini: βπΊπππ πππππ 4 ππ π¬ππβ, demikian pesannya singkat. Tidak tunggu lama. Beberapa menit kemudian ia langsung transfer dengan membayar harga buku serta ongkos kirim yang jauh lebih besar dari biasanya. Ia seakan mau katakana bahwa ia tidak menunda karena kematian itu begitu dekat dengannya.
Mendapatkan kabar dan bukti transfer, saya informasikan bahwa buku itu baru akan selesai cetak dan akan didistribusikan pada pertengahan malah akhir Oktober. Yang terjadi memang sesuai pemesanan. Buku itu tiba di rumah pada Sabtu malam 12 Oktober, hari yang sama, pada sorenya ia menghembuskan napasnya yang terakhir di rumahnya sendiri karena serangan jantung.
Sesuatu yang terjadi secara kebetulan? Ataukah memang SAW memesan kematiannya sendiri? Buku 4 ex saya kirimkan ke alamatnya di Universitas Buddhi Darma, persis pada 2 hari setelah kematiannya. Rasanya berarti mengirimkan buku itu, tetapi saya rasa apakah memang 4 ex yang dipesan itu untuk 3 anaknya dan istrinya sehingga 4 ex? Apakah ini kebetulan saja atau memang ia tahu dan memesan semuanya itu? Tidak semua orang bisa mengalami hal yang seperti dilewati oleh SAW, yang memesan kematiannya.
Robert Bala. Penulis buku MENGIRINGI KEMATIAN, 73 Renungan untuk Ibadat Kematian (Penerbit Ledalero, Oktober 2024).