Oleh : Germanus S. Atawuwur, Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK), Kini Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif (IFTK) Ledalero
Mal.3:1-4; Ibr. 2:14-18; Luk.2: 22-40

WARTA-NUSANTARA.COM–Bapa, ibu, saudara, saudari yang terkasih, hari ini Gereja Katolik sejagat merayakan Pesta Yesus Dipersembahkan di Bait Allah. Mempersembahan anak sulung atau hewan pertama, atau hasil bumi pertama adalah tradisi Yahudi. Tradisi ini berasal dari perintah Allah sendiri yang dapat kita baca dalam Kitab Kejadian. Tuhan berfirman kepada Abraham, “Anak yang berumur delapan hari haruslah disunat … maka dalam dagingmulah perjanjian-Ku itu menjadi perjanjian yang kekal” (Kej 17:12-13). Penyunatan dalam tradisi Yahudi menandakan bahwa bayi itu diterima dalam komunitas perjanjian. Oleh karena itu, kebiasaan ini dilaksanakan turun-temurun.
Hari keempat-puluh, sesudah melahirkan, seorang wanita Yahudi harus datang ke Bait Allah untuk menjalani upacara pentahiran, karena ibu yang melahirkan itu dianggap najis selama tujuh hari dan harus menunggu masa pentahirannya selama tiga puluh tiga hari. Ritual penyucian diri ini adalah untuk pembersihan dari darah nafis (bdk. Im 12:7) agar ibu yang telah melahirkan itu dapat kembali beribadat. Jika yang lahir perempuan, masa itu menjadi dua kali lipat. Selama masa pentahiran itu, seorang ibu tidak boleh menyentuh benda-benda kudus, tidak boleh menginjakkan kakinya di tempat ibadah atau tidak boleh menghadiri perkumpulan di Bait Allah dan tidak boleh melakukan hubungan intim (Im 12:1-5).
Upacara penyucian ditempuh dengan cara mempersembahkan kurban yang dilakukan oleh imam. Keluarga kaya biasanya menyediakan seekor domba atau kambing yang berumur setahun. Keluarga miskin cukup menyediakan seekor burung merpati atau tekukur.
Demikian pun Maria, sebagai perempuan Yahudi, karena terdorong oleh Roh Kudus, dia pun datang ke Bait Allah bersama Yusuf dan Yesus, Putranya. Menurut tradisi Yahudi Maria pun harus ikut ditahirkan. Maka Maria yang sudah empat puluh hari silam melahirkan dating untuk mentahirkan dirinya dan sekaligus menyerahkan Yesus kepada Allah, sebagaimana dikisahkah dalam injil Lukas:” Ketika genap waktu pentahiran, menurut hukum Taurat Musa, mereka membawa Dia ke Yerusalem untuk menyerahkan-Nya kepada Tuhan; seperti ada tertulis dalam hukum Tuhan: “Semua anak laki-laki sulung harus dikuduskan bagi Allah”, dan untuk mempersembahkan korban menurut apa yang difirmankan dalam hukum Tuhan, yaitu sepasang burung tekukur atau dua ekor anak burung merpati.”
Dalam tradisi penyunatan itu sudah diatur bahwa bahan persembahan untuk keperluan ritus ini adalah seekor lembu atau kambing jantan yang berumur satu tahun bagi keluarga yang mampu atau sepasang burung tekukur atau dua ekor anak burung merpati.
Pertanyaannya, mengapa Maria dan Yusuf tidak mempersembahkan seekor lembu atau kambing jantan? Maria dan Yusuf tahu diri. Mereka tidak mau memaksakan diri. Mereka juga tidak termakan gengsi. Karena mereka sadar, mereka tergolong orang miskin. (Mungkin di zaman sekarang, bila Yusuf dan Maria hidup di Indonesia, mereka termasuk keluarga tidak mampu. Karena itu “dipelihara” oleh Negara, dengan memasukan mereka sebagai keluarga penerima Bantuan Langsung Tunai alias BLT, atau penerima PKH). Yusuf hanya seorang meubeler, alias tukang kayu, – (seperti Jowokidodo dulu). Karena itu mereka tergolong keluarga tidak mampu. Untuk itu mereka hanya mempersembahkan dua ekor burung merpati yang diserahkan kepada imam untuk dikurbankan sebagai syarat pentahiran bagi Maria dan Penyerahan diri Yesus. Jadi, persembahan sepasang burung merpati menunjukkan bahwa Yusuf dan Maria itu miskin (Im 12:8). Dan karena itu sejak awal Kristus telah digolongkan dengan orang yang tidak mampu (Luk 9:58; Mat 8:20).
Saudara-saudara, menurut adat istiadat Yahudi, penyunatan seorang anak sulung haus dilakukan di rumahnya. Orang yang akan menyunat bayi itu atau imam dipanggil untuk melakukan ritual itu di rumah. Namun Maria dan Yusuf justru “melanggar” tradisi itu dengan membawa Yesus untuk disunat di Bait Allah – Kenisah Yerusalem -. Apakah karena rumah mereka termasuk kategori rumah sangat sederhana, – alias RSS?- Tentu bukanlah demikian.
Maria dan Yusuf didorong oleh Roh Kudus membawa kanak-kanak Yesus ke Yerusalem untuk menyerahkanNya kepada Tuhan guna memenuhi hukum Taurat. Jadi tindakan ini mengandung pesan teologis, yakni sebagai pemenuhan nubuat nabi Maleakhi, sebagaimana kita dengar hari ini:” Lihat, Aku menyuruh utusan-Ku, supaya ia mempersiapkan jalan di hadapan-Ku! Dengan mendadak Tuhan yang kamu cari itu akan masuk ke bait-Nya!”
Yusuf dan Maria tidak melakukan penyunatan putra mereka di rumah mereka bukan karena mereka malu rumah mereka sangat sederhana tetapi Yesus dibawa Maria dan Yusuf untuk dipersembahkan di Bait Allah untuk menyatakan ke publik bahwa Yesus adalah Putra Allah. Di Bait Suci itulah Yesus datang sebagai Penyelamat, yang sudah dinanti-nantikan, sebagaimana nubuat para nabi perjanjian lama. “Ketika Yesus, Anak itu, dibawa masuk oleh orang tua-Nya untuk melakukan kepada-Nya apa yang ditentukan hukum Taurat, Simeon menyambut Anak itu dan menatang-Nya sambil memuji Allah, katanya: “Sekarang, Tuhan, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai sejahtera, sesuai dengan firman-Mu, sebab mataku telah melihat keselamatan yang dari pada-Mu, yang telah Engkau sediakan di hadapan segala bangsa, yaitu terang yang menjadi penyataan bagi bangsa-bangsa lain dan menjadi kemuliaan bagi umat-Mu, Israel.”
Lalu Simeon memberkati mereka dan berkata kepada Maria, ibu Anak itu: “Sesungguhnya Anak ini ditentukan untuk menjatuhkan atau membangkitkan banyak orang di Israel dan untuk menjadi suatu tanda yang menimbulkan perbantahan –dan suatu pedang akan menembus jiwamu sendiri–,supaya menjadi nyata pikiran hati banyak orang.”
Perkataan Simeon di atas sangat mendalam isinya. Konsekwensinya adalah bahwa Maria yang telah melahirkan Yesus sebagai Penyelamat dunia harus ikut mengambil bagian dalam pengorbanan diri puteranya. Sebilah pedang akan menembus jiwa Maria. Sesuatu yang luar biasa menyakitkan, namun karena demi keselamatan banyak orang, dia berani mereguk empedu itu. Dia ikut rela dan bersedia menerima tembusan pedang.
Saudara-saudara, ketika kita merayakan pesta Yesus dipersembahkan di Bait Suci, kita hendaknya turut pula mempersembahkan diri. Kita datang ke Rumah Tuhan untuk mempersembahkan diri kita dengan segenap anggota keluarga/komunitasnya dengan segala kegembiraan dan harapannya, dengan segala duka dan kecemasan, dengan segala adanya diri kita, tetapi serentak itu pula kita seperti Simeon berjumpa dengan Yesus yang datang untuk menyelamatkan kita. Karena itu kita boleh mengulangi kata-kata Simeon:”Sekarang, Tuhan, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai sejahtera, sesuai dengan firman-Mu,sebab mataku telah melihat keselamatan yang dari pada-Mu.” ***