Oleh : LUKAS ONEK NAREK, SH.

WARTA-NUSANTARA.COM–Karl Marx mengatakan, teori konflik itu, teori yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula”, (Bernard Raho, Teori Sosial Moderen. Jakarta : Prestasi PustakaPublisher, 2007 halm.54)
Konflik kepentingan Nangahale antara PT Kristus Raja Maumere (Krisrama) milik Keuskupan Maumere dan Pemerintah di satu sisi melawan masyarakat sipil, Masyarakat Adat Tanah Ai (Nangahale) di sisi lainnya. Perseteruhan ini sesunggung terjadi karena ada gejolak ketidakadilan yang dialami masyarakat sipil, Masyarakat Adat Tanah Ai (Nangahale) berhadapan dengan kaum borjuis, PT Krisrama berkolaborasi dengan penguasa.
Dalam masa kemerdekaan, bahkan di era revormasi masih saja terlihat seolah adanya kelas-kelas. Kelas kaum borjuis selalu saja berkolaborasi dan bersekutu dengan kaum penguasa (pemerintah) di satu sisi berlawanan dengan masyarakat sipil, defakto berhadapan dengan Masyarakat Adat Tanah Ai (Nangahale) yang tak berdaya (kaum proletar). Nuansa ketidak adilan yang dialami Masyarakat adat Tanah Ai sejak penjajahan Belanda yang merampas, menguasai dan menduduki hak-hak tanah-tanah adat mereka seolah terus berlanjut. Transformasi sosial dari situasi penjajahan ke kemerdekaan Republik Indonesia, transformasi hukum represif ke hukum revormis, transformasi ekonomis dari monopoli ke ekonomi sosial koperatif dan lain-lain, sesungguhnya tidak berarti dan tidak membawah dampak signifikan bagi masyarakat adat Tanah Ai. Hal ini menjadi pemicu konflik sosial di tengah para pihak.
Konflik sosial, terutama sikap masyarakat adat Tanah Ai (Nangahale) yang boleh dibilang kelompok proletar, terus membangun perlawanan terhadap PT Krisrama yang dikategorikan sebagai kaum borjuis. Perlawanan masyarakat adat Tanah Ai ini sesungguhnya dibaca sebagai jalan menuju perundingan-perundingan untuk mendapatkan keadilan. Sebagaimana teori Konflik Karl Marx yang tercetus ketika Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan
perjuangannya.
Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke- 19 di Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas ploretar. Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial hirarkis, kaum bourjuis melakukan
eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi. Eksploitasi ini akan terus berjalan selama kesadaran semu eksis (false consiousness) dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima keadaan apa adanya tetap terjaga. Ketegangan hubungan antara kaum proletar dan kaum borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu revolusi. Ketegangan tersebut terjadi jika kaum proletar telah sadar akan eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka, (Tom Bottomore, dkk. Selected Writtings in Sociology and Social Philosphy)
Teori Karl Marx, didasarkan pada pemilikan sarana- sarana produksi sebagai unsur pokok pemisahan kelas dalam masyarakat.
Penguasaan tanah adat masyarakat Tanah Ai (Nangahale) secara berkelanjutan oleh kaum borjuis membangkitkan kesadaran kritis masyarakat sipil, Tanah Ai (Nangahale) akan warisan leluhur yang harus diambil kembali.
Masyarakat adat Tanah Ai, Nangahale memandang penguasaan sarana produksi secara represif terhadap tanah adat mereka sejak masa penjajahan Belanda tidak semestinya terus berlaku dan berlanjut hingga masa kemerdekaan apalagi di era revormasi seperti ini.
Sesungguhnya semua sektor kehidupan manusia sedang bertransgormasi mengikuti geliat zaman. Artinya, tanah adat Tanah Ai, Nangahale yang dikuasai secara sepihak dari penjajahan Belanda, beralih ke pemerintah Indonesia, yang kemudian di-HGU-kan oleh kaum borjuis sebelumnya hingga turun ke PT Krisrama semestinya harus ikut bertransformasi, dikembalikan ke pemilik dasarnya, masyarakat adat Tanah Ai (Nangahale). Transformasi akibat kemerdekaan, malah sudah berajak ke era revormasi, pun keadilan tidak mereka dapatkan. Tidak mustahil kalau Masyarakat adat Tanah Ai, Nangahale mulai membangun perlawanan-perlawanan.
Menurut teori konflik Karl Marx artinya masyarakat adat Nangahale (kaum proletan) sudah memiliki kesadaran kritis untuk bangkit berjuang dan terus bertahan dalam perjuangan mendesak pihak PT Krisrama bersama penguasa (kelompok kelas borjuis) untuk segera maju ke meja perundingan yang lebih akomodatif, dengan melibatkan para pihak yang berkepentingan. Perundingan ini harus bisa mengakomodasi dan menjawabi kepentingan masing-masing pihak. Masyarakat sipil, masyarakat adat Tanah Ai (Nangahale) tentu ingin mendapat hak yang proposional, pun pula PT Krisrama di pihak lainnya.
Dalam proses mediasi di meja perundingan, pemerintah harus kembali menempatkan fungsi tugasnya sebagai penengah yang paling bijak untuk menengarai konflik sosial ini. Artinya pemerintah harus bisa menarik diri dari lilitan kepentingan PT Krisrama yang monopoli dan beralih fungsi menjadi penengah yang netral, yang ayomi bagi kedua belah pihak. Dengan demikian, semua pihak harus legowo, melepaskan rasa egonya dan dengan rendah hati segerah kembali ke meja perundingan.
Perjuangan kepentingan Masyarakat Adat Tanah Ai (Nangahale) untuk mengambil kembali hak-hak adatnya, berhadapan dengan kepentingan hirarki gereja Keuskupan Maumere yang berpikir global, ingin mengorbankan segelintir orang untuk mengakomodasi kepentingan yang lebih besar dan lebih luas, demi kemajuan dan kemandirian gereja lokal yang juga memajukan umat keuskupan Maumere secara keseluruhan. Keputusan yang diambil bersama di meja perundingan menjadi hukum yang mengikat para pihak. Dengan demikian, konflik sosial perebutan lahan dengan prespektif kepentingan yang berbeda dapat disatukan.
Tanah yang retak akibat perseteruan kembali merekat; pesekutuan Tubuh Mistik Kristus yang tercerai-berai akibat aksi menang sendiri, kembali utuh; hati yang terluka karena ucapan menusuk kalbu, kembali dipulihkan; kasih yang hambar tercoreng kesombongan dan keangkuhan, kembali menghangat; harapan yang sirnah karena kemandekan hidup, kembali terbuka jalan harapan; tetesan dan air matan ratapan dan tangisan kembali cerah memancar suka cita dan damai sejahtera, hanya dalam bingkai perundingan dalam nuansa persaudaraan, kekeluargaan dan persatuan.
Oetalu Kupang, 2 Pebruari 2025