Catatan Pojok : Benki Asan, Jurnalis TV Bekas
Pada Hari Sabtu 5 April 2025, jagat maya Lembata khususnya yang gemari sepakbola diberi kabar baru. Beredar foto sebuah surat berlogo ASKAB PSSI LEMBATA. Sedikit kutipannya begini:
“…. MEMUTUSKAN
Kedua: Terhitung sejak dikeluarkan Surat Keputusan ini, posisi pelatih kepala PERSEBATA senior, tidak lagi dijabat oleh Pelatih Hasan Haju… ”
Kabar ini hampir pasti bikin publik sepakbola Lembata terbelah reaksinya. Ada yang suka, bersorak. Tapi kelompok lain mungkin mengelus dada, menyesal dan menyayangkan. Periodisasi kepemimpinan Hasan Haju sebagai arsitek Persebata senior memang sudah berakhir.
Namun reaksi beragam ini adalah reaksi jilid III setelah sebelumnya lebih dari satu kelompok reaksi muncul saat jagat medsos diramaikan beredarnya Surat Pengunduran Diri Hasan Haju dari jabatan Pelatih Kepala Persebata senior. Ditandatangani oleh Hasan Haju. Pro dan kontra menyambutnya. Reaksi Jilid II.
Tapi yang paling heboh dan membelah publik pecinta sepakbola Lembata adalah reaksi pada malam bersejarah, Senin, 24 Maret 2025. Itu reaksi Jilid I yang reaktif emosional beranak-pinak. Dan Hasan Haju adalah salah satu atau mungkin sasaran tembak utama. Bahkan GANTI PELATIH adalah salah satu hastag yang ramai, puncak reaksi ketika hilang materi narasi dan analisa hasil final yang tak berpihak ke PPersebata
Bola bundar dan hasil selalu unpredictable. Tapi publik yang menyanjung Hasan Haju beberapa hari sebelumnya saat Persebata sukses pulangkan Perse Ende di semifinal, langsung berbalik. Hasan dipuja sebagai arsitek brilian, taktis membaca peluang memasukan Caesar di paruh akhir babak kedua yang berujung lesakan 2 gol loloskan Persebata ke final. Perse pulang ke lereng Gunung Meja. Guliran bola memang susah ditebak perhentiannya di peluit panjang partai final, seperti juga reaksi publik.
Litani dua kali meracik skuad Persebata hingga menembus final (ETMC 2022 dan 2025) tak memuaskan dahaga publik. Pecinta Persebata ingin lebih, ingin kemerdekaan dari cap spesialis runner up. Ingin juara. Podium tertinggi. Padahal ada event nasional Liga 4 yang beri 1 tiket untuk Persebata. Skuad Sembur Paus punya peluang bersama Hasan untuk raih kemerdekaan lebih bergengsi.
Hasan sudah cukup dekat dengan kemerdekaan itu. Tapi publik seolah mulai gerah. Sepertinya mulai berpikir ulang, kemanakah cinta mereka dilabuhkan, asal bukan lagi ke legenda sepakbola asal Kampung Nelayan Lamahala itu.
Bisa jadi publik mulai punya alternatif dan melupakan Hasan. Padahal Hasan sudah dekat, pintu Gerbang Kemerdekaan sudah terbuka, tinggal tantangan terakhir jua.
Di titik inilah, Hasan Haju bertemu Si Janda asal Bandung. Keduanya lahir beda generasi tapi “bertemu” karena senasib. Keduanya hanya bisa dekat, tapi menatap dari jauh Gerbang Kemerdekaan tanpa masuk dan menikmatinya.
Jika nanti suatu saat, Persebata meraih hasil lebih tinggi dari runner up (semua belum pasti e) dipastikan Hasan sudah tidak ada di sana.
Seperti Inggit Garnasih, ia hanya menatap kemerdekaan dari jauh. Tahu Inggit ka tidak? Itu, Inggit Garnasih, istri pertama Soekarno, Presiden Pertama Republik Indonesia.
Di jaman sebelum kemerdekaan, Inggit berpuluh bulan menemani, memotivasi, dampingi, bahkan mensuplai bacaan bergizi ke penjara hingga lahir Pidato Legendaris – Indonesia Menggugat.
Tapi Inggit tak temani Soekarno di Proklamasi 17 Agustus 1945. Ia istri presiden, tapi bukan Ibu Negara. Padahal aroma kemerdekaan sudah tercium, penjajah sudah ketar-ketir dengan nasionalisme yang dibangun Soekarno lewat pidato-pidato heroiknya. Hanya tiga tahun jelang kemerdekaan (1942), Inggit Garnasih memutuskan berhenti. Berpisah dengan Soekarno yang ditemaninya siang malam dalam perjuangan. Sebabnya sederhana, Soekarno pasca bebas dari penjara, ingin menikah lagi. Hatinya kepincut Gadis Sumatera, Fatmawati.
Ada alasan klasik lelaki. Saya ingin punya anak. Inggit memang diberkahi Sang Pencipta dengan rahim yang tak bisa berbuah. Tapi seluruh dirinya yang lain menghasilkan banyak buah. Ia sabar, telaten dan setia menemani plus sosok hebat mengantar calon proklamator dekat Detik-detik Proklamasi. Bisa jadi ini juga alasan publik hendak berucap juga pada Hasan. “Kami ingin punya anak (juara).Nomor satu. Podium tertinggi. Bukan runner up”
Soal kemiripan kisah Hasan dan Inggit, saya pakai karyanya Ramadhan Karta Hadimaja (Ramadhan KH). Soal loyalitas Inggit temani Soekarno untuk kemerdekaan, Ramadhan KH menyebut Inggit bahkan nekad sembunyi-sembunyi menyuplai buku bacaan ke dalam penjara, agar Soekarno tetap garang dengan narasi membakar nasionalisme. Itu baru secuil kisah heroiknya selain kisah hidup berpindah, dikejar, teror, bersembunyi dan kawal agar Soekarno kelak sungguh jadi Proklamator.
Kisah Inggit Garnasih oleh Ramadhan KH dalam “Ku Antar ke Gerbang” (terbitan perdana 1981) mengkonfirmasi: Inggit dilepas tepat di dekat gerbang kemerdekaan yang sudah dilihat dan siap dimasukinya. Indonesia Merdeka 1945, dan 1942 ia dan Soekarno berpisah. Juga Hasan, mengalami kondisi serupa. Sama-sama hantar kekasihnya hingga ke gerbang jo. Tidak masuk.
Nekad masuk? Paksa diri meski dimadu? Mau jadi alternatif?
Tidak. Baik Inggit maupun Hasan sama-sama memilih sikap tegas. Ada benar juga beberapa reaksi publik. “Dimanapun diletakan, dalam lumpur sekalipun, emas tetaplah emas”.
Inggit memilih cerai, pulang ke Bandung dan membiarkan Soekarno masuk Gerbang Kemerdekaan bersama pendamping yang lain. Inggit tak jadi Ibu Negara. Dari kejauhan ibukota, ia simak kisah sang mantan digandeng pemilik hati yang lain, berjalan di karpet merah kemerdekaan.
Serupa Inggit, Hasan menyadari cinta Soekarno-nya (baca: pecinta PERSEBATA) sudah tak lagi kuat berakar bersamanya. Gairah cinta Persebata yang membara saat meminangnya 2022 silam, sudah redup. Padahal tempo itu, Hasan dipinang hanya seminggu sebelum Persebata bertarung di tanah sendiri, cinta kilat ajaib berbuah manis juga dekat gerbang kemerdekaan. Seluruh dirinya diberdayakan hingga sepakbola Lembata penuh gairah. Lembata kala itu, ujung pukul ujung jadi keblingsatan si kulit bundar. Lihat saja mereka nekad kerubuti Stadion GOR 99 bahkan rela bergelayut di pepohonan lamtoro di kebun nenek seputar GOR.
Tapi cinta itu mulai redup dan Hasan tak ingin bertahan. Seperti Inggit, Hasan mungkin punya kepuasan batin, kebanggaan personal bisa menghantar ke gerbang. Hasan tahu diri, ia bukan lagi pilihan. Sebelum ASKAB umumkan akhir masa kontraknya, Hasan sudah kirimkan signal ke publik. Saya sampai di sini, jo!
Pada Jumad, 28 Maret 2025, Persebata anak asuhan Hasan Haju, naik kapal pulang ke Lewotanah Lembata. Pulang dengan gemilang. Runner up kompetisi bergengsi ETMC adalah capaian akbar.
Hari masih pagi pada esok Sabtu 29 Maret. Kepada seorang jurnalis yang juga pulang bersama Persebata, saya kirimkan pesan Whatsapp.
“Reu, Pak Hasan Haju tadi malam pulang juga dengan Persebata ka?
Tak lama berselang, pesan dibalas.
” Tidak, beliau di Kupang”
Serupa Inggit, lagi-lagi, Hasan mungkin tahu diri. Ia bukan lagi yang dirindu. Arak-arakan bergerak ramai, jalanan Kota Lewoleba membiru sewarna Jersey kebanggaan skuad sembur paus di siang itu. Hujan lebat pagi baru usai, sembunyi di parit lalu terus ke laut jika tidak diresapkan di tanah pekarangan. Keliling hingga Waikomo, arakan lalu ke timur untuk disambut Bupati Lembata, Petrus Kanisius Tuaq dan Wakil Bupati Muhamad Nasir. Saya menunggu hingga motor terakhir. Benar, Saya tidak menemukan Hasan Haju. Ia tak ada. Menonton dari jauh pesta yang sukses juga salah satu karenanya.
Oh iya, ternyata ada tanggal yang mirip. Inggit dan Soekarno menikah pada 24 Maret 1923. Dan 102 tahun kemudian di tanggal yang sama, Hasan Haju hantar Persebata ke dekat gerbang Juara ETMC Kupang. Final. Hanya ke gerbang, karena hanya runner up.
Terima kasih ama. Takdirmu sampai disini. Kalau saya tanya, pasti engkau akan jawab, “Saya hanya hantar ke gerbang”.
Tapi selaku emas, engkau mungkin punya takdir berkilau di singgasana lain. Selamat berkarya untuk sepakbola, bikin anak muda berprestasi di manapun. Bikin warga pulau ini tak hanya populer dengan mamalia besar si paus, atau aneka ikan yang murah, enak bergizi tetapi juga populer sebagai negeri pencetak pesepakbola. Sampai bertemu di lapangan, Coach Hasan. Saya juga masih di sini, dengan cinta pada bola meski di bangku Calon Pemain Cadangan. ***