Oleh: Marianus Minggo, Pemerhati Sosial Kaum Pinggiran
MAJU Susah, Mundur di Tempat, untaian kalimat ini rasanya tepat sebagai ungkapan dalam goresan refleksi sederhana ini bagi para kepala daerah di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sebab hemat penulis pernyataan ini adalah sebuah tantangan bagi para Kepala Daerah pada periode 2025-2030.
Program Pembangunan yang Masih Terjebak Retorika
Program Pembangunan Kepala Daerah saat ini nampaknya belum bisa dirasakan masyarakat, apalagi jika dikaitkan dengan program 100 hari yang kerap didengungkan. Hal ini bukanlah kekonyolan karena adanya aral melintang dihadapi di daerah, tetapi lebih merupakan akibat dari Kebijakan Pusat yang membuat banyak program pembangunan terkesan sedikit berat berjalan.
Indikasi ini muncul karena pelaksanaan pembangunan di daerah sebelumnya selain andalkan PAD juga selalu arah orientasi pembangunan setiap daerah sebagian besar pembiayaan bergantung pada Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Ketergantungan ini menjadi kenyataan yang tak bisa dihindari oleh setiap kepala daerah sekarang di seluruh Indonesia.
Efisiensi Anggaran dan Tuntutan Kreativitas
Kebijakan efisiensi anggaran dari pemerintah pusat pun membuat mimpi-mimpi besar para kepala daerah bisa dikatakan goyah, dan mereka dihadapi dengan tantangan untuk konkritisasi visi dan misi dalam programnya. Mereka dituntut untuk lebih kreatif, berani mengambil sikap, dan menggali potensi-potensi lokal agar roda pembangunan bisa bergerak.
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dan 22 kabupaten/kota secara faktual selama ini juga selalu mengandalkan dukungan DAU dan DAK disamping Pendapatan Asli Daerah (PAD), tentunya untuk para Kepala Daerah sekarang akan mengalami berbagai kebijakan perubahan, karena ada penyesuaian yang bisa juga berdampak terhadap seratus hari kerja dan juga lanjutan program. Kebijakan efisiensi jelas menuntut kreativitas yang boleh dibilang mendesak Kepala Daerah punya nyali kuat menggunakan sumberdaya atau potensi di daerahnya sebagai modal agar pembangunan terealisasi. Inisiasi, koneksitas dalam berjejaring amat penting dibutuhkan sebagai bentuk kemandirian menggalang berbagai sumber daya termasuk fisikal juga menjadi andalan untuk sebuah kemajuan daerah.
Program 100 hari Ukuran dan Tantangan
Kepala Daerah, baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota, harus mulai mengantisipasi situasi ini. Program 100 hari kerja akan menjadi ukuran, pemicu suara rakyat. Rakyat mempunyai berbagai cara untuk menyoroti perjalanan kepemimpinan Kepala Daerah, sebab
rakyat punya prinsip mereka tidak boleh menjadi korban dari ketidaksiapan atau ketidakmampuan pemerintah dalam menjawab tantangan kekinian. Seperti ada daerah mewarisi beban utang dari pemerintahan sebelumnya yang wajib dicicil setiap bulan. Beban ini menambah rumit situasi dan mempersempit ruang fiskal untuk pembangunan. Di sini Kepala Daerah perlu berani dan bersikap gentleman untuk mengakomodasi setiap pemikiran dan kritik yang konstruktif.
Keterbukaan pemimpin kepada rakyat sebuah keharusan, jika ada tantangan dan hambatan dalam realisasi program agar rakyat memahami situasi tersebut, dan bisa bersama-sama mencari jalan keluar terbaik demi kelangsungan pembangunan.
Pemerintah saat ini perlu memiliki “telinga yang lebar” untuk mendengar dan “hati yang lapang” untuk menerima kritik. Dengan begitu, kehendak rakyat bisa diakomodasi melalui regulasi dan kebijakan yang lahir dari dialog bersama, bukan dari keputusan sepihak dan dapat terkesan, otoriter dan diskriminatif. Jika hal ini dilakukan, maka ketegasan dalam pelaksanaan kebijakan pun bisa diimplementasikan secara realistis dan objektif karena dari hati rakyat.
Namun sebaliknya, jika pemerintah hanya mengandalkan semangat visi dan misinya tanpa membuka diri kembali terhadap kritik dan aspirasi rakyat karena faktor kebijakan kekinian dari Pemerintah Pusat, maka boleh jadi kemungkinan muncul masalah baru. Karena itu, sekali lagi kepada kepala daerah perlu ingat rakyat harus dilihat bukanlah sebagai penghalang, apabila ada terdengar suara yang beda dan tak sejalan. Rakyat adalah mitra dan subyek dalam perjalanan pembangunan.
Penutup
Pembangunan harus melibatkan semua pihak, bukan semata-mata program dari atas untuk memenangkan simpati saat Pilkada. Situasi sekarang menuntut kemampuan untuk melihat, merasakan, dan beradaptasi. Pemerintah tidak hanya harus menyesuaikan diri dengan kebijakan pusat, tetapi juga harus peka terhadap kondisi lokal dan harapan rakyat kecil.
Jika ingin pembangunan berjalan dengan sukses dan inklusif, maka refleksi ini bisa menjadi bahan renungan dan diskusi yang penting dalam menyikapi arah kebijakan lima tahun ke depan. Jika tidak, maka ungkapan “maju susah, mundur di tempat” akan menjadi gambaran yang tepat bagi para pemimpin daerah saat ini.
Semoga refleksi ini dapat memberikan secercah optimisme bagi kepala daerah terkini agar dapat melangkah sambil merangkul semua pihak, tanpa kecuali. ***