Oleh: Muh. Sulaiman Rifai Aprianus Mukin, M.Pd. C.PIM
Refleksi Sosial
WARTA-NUSANTARA.COM–Di dusun kecil yang biasanya ditandai dengan ketenangan, ketenangan, dan rasa kehangatan, kejadian yang meresahkan terjadi yang sangat mempengaruhi kepekaan moral banyak individu. Seorang remaja, yang konon terlibat dalam pencurian barang dari tempat tinggal salah satu penduduk setempat, mengalami perlakuan yang sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan. Alih-alih menerima nasihat atau bimbingan yang sesuai dengan seorang anak yang masih dalam proses pematangan dan pembelajaran, ia menjadi sasaran perlakuan yang sangat menyedihkan dan merendahkan. Sekelompok warga, mengabaikan norma-norma kekitaan, memutuskan untuk melakukan pertunjukan hukuman di depan umum dengan mengarahkannya ke seluruh ruas jalan desa.
Tindakan ini tidak hanya menimbulkan kerugian fisik dan psikologis pada anak tetapi juga merusak esensi perlindungan yang harus diberikan kepada demografis yang lebih muda. Secara hukum dan etis, anak di bawah umur memiliki hak yang melekat untuk dilindungi, dipelihara, dan diberi kesempatan untuk pengembangan pribadi, daripada menjadi sasaran pengawasan publik atau penghinaan.
Kejadian ini memberikan pesan refleksi bagi masyarakat luas. Ketika seorang anak di bawah umur melakukan kesalahan, adalah kewajiban kita sebagai komunitas untuk memberikan bimbingan daripada memaksakan tindakan hukuman yang merusak martabat anak. Tindakan mengarahkan seorang anak melalui ruas jalan desa tidak mencerminkan niat baik justru menggambarkan runtuhnya tatanan akhlak, hal itu akan menimbulkan trauma yang mungkin bertahan seumur hidup. Perlindungan anak-anak melampaui retorika belaka, peristiwa ini merupakan tugas kolektif untuk memastikan bahwa anak dibesarkan dalam lingkungan yang aman, pengasuhan, dan perlindungan. Bukankah pada anak-anak inilah masa depan masyarakat kita pada akhirnya bergantung?
Perspektif Hukum
Insiden yang melibatkan anak di bawah umur yang ditampilkan di depan umum di Desa Normal Kecamatan Omesuri hanya atas tuduhan pencurian merupakan masalah yang sangat memprihatinkan tetapi juga mencontohkan pelanggaran mendalam terhadap perlindungan anak dan undang-undang Hak Asasi Manusia. Dari sudut pandang hukum, anak di bawah umur memiliki status berbeda yang menjamin perlindungan tambahan, baik di bawah naungan kerangka hukum domestik dan internasional. Tindakan kolektif semacam itu dapat diklasifikasikan sebagai jenis pelanggaran kolektif terhadap anak di bawah umur, yang tidak hanya melanggar hak-hak intrinsik anak tetapi juga menggambarkan ketidakmampuan masyarakat (baca Pemerintahan Desa) untuk memahami dan menegakkan prinsip-prinsip supremasi hukum.
Perlindungan Hukum Anak di Bawah Umur
Di Republik Indonesia, perlindungan hukum anak di bawah umur diabadikan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, yang mengubah UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 1 (1) undang-undang ini menggambarkan seorang anak sebagai individu yang belum mencapai usia 18 tahun, termasuk bahkan mereka yang belum dilahirkan. Kerangka kerja legislatif ini menegaskan bahwa anak-anak memiliki hak yang melekat untuk perlindungan dari tindakan kekerasan, diskriminasi, dan perlakuan apa pun yang merusak martabat bawaan mereka. Sehubungan dengan kasus spesifik yang dihadapi, dapat dipahami bahwa anak di bawah umur jelas bertentangan dengan Pasal 4, yang mengartikulasikan bahwa setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh, dan berkembang bebas dari kekerasan dan diskriminasi.
Selain itu, sistem peradilan anak di Indonesia, sebagaimana diartikulasikan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, menggarisbawahi paradigma keadilan restoratif dan berusaha untuk mencegah kriminalisasi yang tidak perlu terhadap anak di bawah umur. Anak di bawah umur yang diduga terlibat dalam perilaku kriminal, seperti pencurian, harus diproses melalui prosedur hukum yang ditetapkan, daripada tunduk pada penilaian sewenang-wenang atau tindakan hukuman yang diberlakukan oleh norma-norma sosial. Pengarakan yang dikaitkan dengan anak di bawah umur mencerminkan pengabaian terang-terangan terhadap prinsip-prinsip proses hukum yang sah dan menandakan pelanggaran prinsip dasar proses hukum yang mendasari supremasi hukum.
Dalam skala internasional, Konvensi Hak-Hak Anak, yang diratifikasi Indonesia melalui Keputusan No. 36 tahun 1990, juga menjamin hak-hak anak untuk dilindungi dari perlakuan yang merendahkan (Pasal 19) dan menikmati hak atas privasi (Pasal 16). Mempermalukan seorang anak secara terbuka merupakan pelanggaran yang jelas terhadap hak-hak ini dan menempatkan anak dalam keadaan berbahaya yang membahayakan kesejahteraan fisik dan psikologis anak.
Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Dari perspektif HAM, tindakan pengarakan anak yang dimaksud dapat dicirikan sebagai pelanggaran terhadap Pasal 28B ayat (2) Konstitusi 1945, yang mengartikulasikan bahwa setiap anak memiliki hak yang melekat untuk bertahan hidup, berkembang, dan berhak untuk melindungi diri dari tindakan kekerasan dan diskriminasi. Selanjutnya, Pasal 28G ayat (1) menegaskan kembali hak setiap individu untuk membela diri, kehormatan pribadi, dan martabat. Dengan membuat anak mengalami degradasi publik tanpa mematuhi prosedur hukum yang diperlukan, masyarakat (baca Pemerintahan Desa) yang bertanggung jawab atas tindakan ini, selanjutnya disebut sebagai masayarakat (baca Pemerintahan Desa), telah secara sistematis mengikis martabat yang melekat pada anak tersebut.
Perilaku ini lebih lanjut bertentangan dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR), khususnya Pasal 5, yang dengan tegas melarang perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan. Kekerasan terhadap anak di bawah umur, terlepas dari tuduhan yang berkaitan dengan pencurian, merupakan manifestasi biadab dari hukuman publik yang sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar kemanusiaan yang diartikulasikan dalam wacana hak asasi manusia.
Kejahatan Kolektif terhadap Anak
Pernyataan bahwa tindakan ini mewakili manifestasi kejahatan kolektif terhadap anak di bawah umur didukung oleh alasan yang kuat. Kejahatan kolektif ditandai dengan pelaksanaan pelanggaran hukum atau pelanggaran HAM secara simultan oleh entitas kolektif, termasuk kelompok atau komunitas, terhadap seorang individu, dalam hal ini, anak di bawah umur. Dalam skenario ini, masyarakat (baca Pemerinthan Desa) secara sadar, mau dan tahu dengan mengparade anak di bawah umur berfungsi sebagai pelaku kolektif, menunjukkan ketidakpedulian terhadap kerangka hukum yang mapan dan memilih varian “keadilan jalanan.” Perilaku seperti itu tidak hanya menunjukkan kedangkalan kesadaran hukum tetapi juga menggambarkan bagaimana norma sosial yang salah arah dapat berfungsi untuk merasionalisasi tindakan kekerasan terhadap anak di bawah umur.
Konsekuensi dari kejahatan kolektif ini sangat mendalam, terutama bagi anak yang menjadi sasaran viktimisasi. Secara psikologis, anak dapat mengalami trauma yang bertahan lama, penghinaan, dan penurunan harga diri. Secara sosial, anak menghadapi tekanan psikoligi dan bahaya atau distigmatisasi, anak merasa terpinggirkan karena dicap sebagai “pencuri,” meskipun kurangnya bukti yang kuat untuk tuduhan tersebut. Seiring waktu, tindakan ini dapat menghalangi lintasan perkembangan anak dan memperkuat pelestarian kekerasan dalam konteks masyarakat yang lebih luas.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Insiden yang melibatkan penculikan anak di bawah umur yang diduga terlibat dalam pencurian berfungsi sebagai ilustrasi pedih pelanggaran terhadap perlindungan anak dan HAM. Baik kerangka hukum nasional maupun internasional dengan tegas mengutuk perlakuan semacam itu, dan tanggapan kolektif masyarakat dalam hal ini menggarisbawahi kekurangan dalam kepatuhan pada prinsip-prinsip keadilan dan kemanusiaan. Akibatnya, langkah-langkah definitif sangat penting untuk memperbaiki masalah ini.
1. Investigasi Hukum: Adalah penting bahwa lembaga penegak hukum segera memulai penyelidikan menyeluruh terhadap insiden tersebut dan mengambil tindakan yang tepat terhadap penyerang sesuai dengan standar hukum yang berlaku.
2. Pendidikan Publik: Adalah kewajiban pemerintah dan organisasi masyarakat sipil untuk meningkatkan literasi hukum dalam masyarakat, terutama mengenai hak-hak anak dan pentingnya proses hukum yang adil.
3. Rehabilitasi Korban: Anak yang terkena dampak berhak menerima dukungan psikologis dan sosial untuk memulihkan martabat dan kesejahteraan mereka secara keseluruhan.
Kejadian seperti itu harus dicegah agar tidak terulang kembali. Menjaga anak-anak adalah kewajiban kolektif, dan supremasi hukum harus dipertahankan untuk mencegah pelanggaran sistemik yang membahayakan generasi mendatang. Seorang anak bukanlah objek hukuman belakan, melainkan, mereka adalah individu yang layak mendapat perlindungan, keadilan, dan kasih sayang. ***
BIODATA PENULIS : Muh. Sulaiman Rifai Aprianus Mukin. Lahir di Ende, 27 April 1970, merupakan ASN pada Kantor Kementerian Agama Kabupaten Lembata, Provinsi NTT, saat ini sebagai Pengawas Sekolah Tingkat Menengah. Menyelesaikan studi S1 Fakultas Tarbiyah pada Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Muhammadiyah Kupang Tahun 1995, menyelesaikan studi S2 Magister Pendikan Agama Islam di Univesitas Muhammadiyah Malang Tahun 2025. Selain memperoleh gelar akademik, penulis pun memperoleh gelar non akademik Certified Planning and Inventory Management (CPIM). Penulis saat ini sedang merintis Taman Baca Savana Iqra (TBSIq), selain itu bergabung dalam “Komunitas Penulis Lembata” juga sebagai “Penakar Literasi”. Penulis juga menulis opini/headline di beberapa media online, penulis dapat ditemui di akun Facebook @RifaiAprian, IG @Rifai_mukin