Basreng Seribu dan Rayuan Pagi
Oleh : Rifai Mukin
WARTA-NUSANTARA.COM– Pagi itu, sinar mentari lembut menyapa halaman Sekolah Dasar Islam Terpadu Lembata, tepat di depan rumahku. Suasana ceria khas anak-anak memenuhi udara. Teriakan riang, tawa, dan langkah kecil berlarian ke sana kemari menghidupkan pagi. Depan sekolah, aku meletakkan dua toples Basreng seribuan dan dua ribu, ada juga piscok dan beberapa makanan cemilan seribuan sesuai keuangan anak-anak sekolahan, sudah ramai dikerubungi bocah-bocah dengan seragam cokelat pramuka yang sedikit kusut. Aroma basreng yang khas menggoda hidung siapa saja yang lewat.
Di antara keramaian itu, ada Ram, bocah kelas lima yang selalu jadi pusat perhatian karena tingkahnya yang usil tapi lucu. Dengan rambut sedikit acak-acakan dan tas ransel yang miring di pundaknya, Ram berdiri di depan meja jualan. Di tangannya, selembar uang seribu yang sudah sedikit lecek. “Pak, basreng satu!” katanya sambil menyodorkan uang itu. Aku dengan cekatan memasukkan basreng ke dalam plastik kecil dan menyerahkannya pada Ram.
Tiba-tiba, dari arah gerbang sekolah, muncul Rani, teman sekelas Ram yang dikenal karena senyumnya yang manis dan kepintarannya merayu. Jilbanya yang meliliti tubuh kecilnya, dan rok coklatnya sedikit bergoyang saat ia berlari kecil mendekati Ram.
“Ram, beli apa kamu?” tanyanya dengan nada ceria, matanya langsung tertuju pada plastik basreng di tangan Ram.
“Basreng,” jawab Ram singkat, sambil membuka plastik itu dan memasukkan sebutir basreng ke mulutnya.
Rani mendekat, memasang wajah memelas yang sudah jadi senjatanya. “Belikan aku satu dong, sayang,” katanya dengan suara manja, sengaja menekankan kata ‘sayang’ sambil tersenyum lebar.
Ram mengerutkan kening, pura-pura tak acuh. “Ah, ogah!” katanya, lalu berbalik sambil mengunyah basrengnya dengan santai.
Tapi Rani bukan tipe yang mudah menyerah. Ia melangkah mendekat, tangannya sedikit menyenggol lengan Ram. “Abang, ayolah, belikan aku satu saja!” pintanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih memohon. Matanya berkilat-kilat, seolah tahu betul cara meluluhkan hati Ram.
“Ogah!” Ram masih bersikeras, meski sudut bibirnya mulai menunjukkan senyum kecil. Ia tahu Rani tak akan berhenti begitu saja.
Rani mendengus, tangannya kini bertopang di pinggang. “Ah, kamu pelit! Abang ganteng masa sama Rani cantik ini gak mau sih!” rayunya, sambil mengedipkan mata dan memasang senyum termanisnya. Beberapa anak di sekitar mereka mulai memperhatikan, ada yang terkikik melihat tingkah Rani yang tak pernah kehabisan akal.
Ram menoleh, wajahnya sedikit memerah. “Apaan sih, Rani!” katanya, tapi nadanya sudah tak sekokoh tadi. Rani tahu, ia hampir menang. Dengan satu tarikan napas, Ram akhirnya mengalah.
“Yah, sudah deh! Pak, basreng satu lagi!” serunya sambil mengeluarkan selembar seribu lainnya dari saku celananya.
Aku tersenyum kecil, sudah terbiasa dengan drama pagi anak-anak ini. Ia menyerahkan plastik basreng pada Ram, yang kemudian dengan sedikit canggung menyerahkannya pada Rani.
“Nih, jangan minta lagi ya!” kata Ram, berusaha terlihat cuek meski wajahnya masih sedikit merona.
Rani menerima basreng itu dengan wajah berbinar. “Naa, gitu dong sama Rani-mu!” katanya sambil terkikik. Ia membuka plastik basreng dan memakan satu, lalu menoleh pada Ram dengan senyum lebar. “Rani tambah sayang sama abang Ram, deh!”
Ram hanya menggumam, “Iih, apaan sih,” tapi tak bisa menyembunyikan senyum kecil di wajahnya. Di sekitar mereka, anak-anak lain mulai berteriak dan menggoda, “Wih, Ram sama Rani! Ciee!” Suasana semakin riuh, dan lonceng sekolah akhirnya berbunyi, menandakan waktu masuk kelas.
Rani berlari kecil menuju gerbang, masih memegang basrengnya, sambil berteriak, “Makasih, abang Ram! Besok lagi ya!” Ram hanya menggelengkan kepala, tapi ada tawa kecil yang keluar dari mulutnya.
Pagi itu, di depan Sekolah Dasar Islam Terpadu Lembata, canda dan tawa anak-anak mengisi udara, bersama aroma basreng seribuan yang entah bagaimana bisa jadi awal cerita manis di antara mereka.
TAMAT
Lamahora, 26 April 2025