DIKESARE : PELANGINYA KERUKUNAN DI LOMBLEN
Muh. Sulaiman Rifai Aprianus Mukin, M. Pd, CPIM
WARTA-NUSANTARA.COM– Kerukunan antar umat beragama di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, mencerminkan toleransi yang telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakatnya. Dalam peringatan Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT) ke-45 di Desa Dikesare, Kecamatan Lebatukan menyisihkan serpihan nilai-nilai kerukunan antar umat beragama yang kental dengan kelamaholotan Taan tou, Taan sare-sare” atau “Oneq udeq laleng hama, Tubun upal tawun mawu.” Dikesare merupakan pelanginya Lepanbatan “Lomblen” menjadi warna khas masyarakat dengan nilai-nilai sosial – agama. Kepatuhan pada aturan dan patuah leluhur mereka, kekerabatan, gotong-royong, serta kasih sayang, berperan besar dalam menciptakan harmoni antar umat beragama.
Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT)
Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT) ke-45 di Desa Dikesare, Kecamatan Lebatukan, sontak menghipnotis semangat kebersamaan dan toleransi kembali ditegaskan. Tradisi dan budaya lokal, seperti sumpah adat dan sejarah Lomblen, menjadi fondasi kuat dalam menjaga kerukunan tanpa sekat dan tanpa syarat.
Momentum 58 tahun lalu mengenangkan kita akan perjuangan fererendum 24 Juni 1967 dalam Musyawarah Kerja Luar Biasa lahirnya Kabupaten Lembata. Berselang tak lama “orang Lomblen” saat itu mendeklarasikan diri mereka sebagai “orang Lembata” sejak tanggal 1 Juli 1967. Sejarah ini sudah seyogyanya dapat diwariskan kepada generasi mendatang, bahwa sesungguhnya kita adalah orang Lomblen yang merupakan anak tanah Lepanbatan.
Anak tanah Lepanbatan “orang Lomblen” kini adalah Kabupaten Lembata berkedudukan di Lewoleba sebagai ibu kota memiliki makna tersendiri. Lewoleba menurut dugaan saya merupakan bingkai yang didiami orang-orang lembata “anshor” plus orang-orang mendatang “muhajirin” yang telah mengikrar diri “kami orang Lewoleba.” Sehingga Lewoleba dalam kacamata saya adalah “Berat sama dipikul ringan sama dijinjing” meminjam bahasa Lamaholot “Taan tou, Taan sare-sare” atau dalam bahasa Kedang “Oneq udeq laleng hama, Tubun upal tawun mawu”, maka tidak alasan untuk bersama-sama bahu membahu menata dan membangun Lembata lebih asri menuju Indonesia Emas 2045.
Manifesed Lembata
Secara geografis Lembata terletak pada 8°10′ – 8°11′ LS dan 123°12′ – 123°57′ BT. Pulau di gugusan kepulauan Solor dengan pulau utama Lomblen di antara Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten Alor. Batas wilayah bagian Utara dengan Laut Flores, Timur dengan Selat Alor, Selatan dengan Laut Sawu, dan Barat dengan Selat Boleng dan Selat Lamakera. Dengan jumlah penduduk 143.543 jiwa yang tersebar di 9 kecamatan, 7 kelurahan, dan 144 Desa. Menurut data BPS kabupaten Lembata, 72,84% dari penduduknya adalah Katolik (Katolik 71,53%, dan Protestan 1,31%). Sebagian besar penduduk juga memeluk agama Islam, 27,05%, dan Hindu, 0,10%, dan Budha, 0,01%. Terdiri dari suku lamahot, suku Lamalera, suku Kedang, dan suku pendatang. Sebanyak 74% orang Lembata hidup dari bertani; sisanya terdiri dari PNS, pensiunan, pengusaha, pedagang, buruh, pengrajin, anggota militer dan polisi, dan pemuka agama. Secara kumulatif 270 sekolah termasuk madrasah (wikipedia.org, 2024).
Berdasarkan kondisi tersebut, kerentanan sosial sewaktu-waktu dapat terjadi. Para ahli seperti Kaztman, Filgueira, dan Pizarro menyatakan bahwa teori kerentanan sosial menekankan pendekatan multidimensi yang menggabungkan kesejahteraan, aset, dan peluang bagi individu dan komunitas (Ramos Ojeda, 2019). Kerentanan dan ketidakmampuan sistem sosial untuk menangani peristiwa berbahaya didefinisikan dalam teori kerentanan sosial. Di antaranya adalah disposisi, paparan, kerentanan, dan ketahanan. Dengan mempertimbangkan hal ini, ada kemungkinan besar bahwa itu akan menerpa pulau Lamblean, Kabupaten Lepanbatan (baca: Lembata) hari ini.
Patut dicatat bagaimana Kabupaten Lembata menunjukkan dinamika sosial yang beragam, ditandai dengan keragaman etnis dan agama yang merupakan bagian integral dari kehidupan penduduknya. Demografi Katolik yang dominan, di samping kehadiran komunitas Muslim, Hindu, dan Buddha, menggarisbawahi pentingnya harmoni sosial sebagai komponen penting dari keberadaan sehari-hari.
Dalam klidor ini, Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT) berfungsi sebagai platform penting yang memperkuat keterkaitan antara berbagai komunitas agama. Melalui berbagai inisiatif keagamaan dan sosial, BKMT memfasilitasi budidaya solidaritas dan toleransi di dalam masyarakat. Selanjutnya, kerangka kerja multidimensi dalam teori kerentanan sosial yang diusulkan oleh Kaztman, Filgueira, dan Pizarro berpendapat bahwa kesejahteraan, aset, dan peluang yang tersedia bagi individu dan komunitas harus dipertimbangkan untuk mengurangi risiko sosial.
Kabupaten Lembata menghadapi tantangan yang berbeda dalam mengatasi kerentanan sosial, terutama terkait faktor ekonomi dan akses pendidikan. Dengan 74% penduduknya bergantung pada sektor pertanian, ketahanan ekonomi muncul sebagai penentu penting untuk mempertahankan stabilitas sosial. Akibatnya, upaya yang bertujuan untuk meningkatkan pendidikan lokal dan menambah akses ke sumber daya ekonomi dapat berfungsi sebagai strategi yang layak dalam menghadapi tantangan ini.
Kabupaten Lembata telah melakukan langkah-langkah signifikan untuk mengatasi masalah stunting, yang merupakan perhatian kritis dalam ranah kemajuan kesehatan masyarakat. Pemerintah Kabupaten Lembata bertujuan untuk zero stunting pada 2024, dengan daerah tertentu seperti Central Lewoleba dan Desa Waimatan disorot sebagai contoh keberhasilan dalam pengurangan prevalensi stunting.
Inisiatif ini telah melibatkan banyak pemangku kepentingan, termasuk Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT), yang telah berkontribusi pada pendidikan masyarakat mengenai pentingnya nutrisi yang tepat dan perawatan anak. Selanjutnya, pemerintah telah menerapkan strategi KAIROS (Community Zero Stunting), yang melibatkan pembentukan kelompok rumah tangga kecil tanpa memanfaatkan dana Anggaran, melainkan mengandalkan kerangka orang tua asuh melalui jaringan desa dan PKK Dasawisma.
Selain itu, Wakil Bupati Lembata “Natsir Laode” menegaskan bahwa mitigasi stunting bukan semata-mata kewajiban Dinas Kesehatan, melainkan tanggung jawab kolektif yang dimiliki oleh semua sektor masyarakat. Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur juga telah berkolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan untuk bersama-sama mengatasi masalah mendesak ini.
Dengan pendekatan multifaset dan upaya kerjasama antara pemerintah, BKMT, dan masyarakat, Kabupaten Lembata menyatakan keyakinan akan kapasitasnya untuk mewujudkan tujuan zero stunting.
Dentum BKMT di Desa Dikesare.
Peringatan BKMT ke-45 di Desa Dikesare, Kecamatan Lebatukan, menonjolkan pentingnya kolaborasi antar umat beragama. Kegiatan ini tidak hanya berfokus pada aspek keagamaan, tetapi juga memperkuat nilai-nilai sosial seperti “Taan tou, Taan sare-sare” atau “Oneq udeq laleng hama, Tubun upal tawun mawu”, menggambarkan kerja sama masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan. Keterlibatan lintas agama dalam kegiatan ini menunjukkan bahwa kerukunan di Lembata bukan sekadar konsep, tetapi praktik nyata yang terlihat dalam kerja sama, saling menghormati, dan solidaritas. Pesan utama dari BKMT adalah mempertahankan persatuan sebagai landasan kehidupan bermasyarakat di tengah kemajemukan.
Kegiatan ini tidak hanya menjadi ajang refleksi spiritual, tetapi juga wadah untuk memperkuat hubungan antar umat beragama. Keterlibatan lintas agama dalam acara ini menunjukkan bahwa toleransi bukan sekadar teori, melainkan praktik nyata yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Lembata. Dialog antar komunitas, kerja sama dalam kegiatan sosial, serta dukungan terhadap program-program kesejahteraan menjadi bukti bahwa keberagaman dapat menjadi kekuatan, bukan sekat.
Selain aspek keagamaan, peringatan BKMT juga menyoroti peran perempuan dalam membangun harmoni sosial. Majelis Taklim sebagai wadah pembelajaran dan penguatan nilai-nilai keagamaan bagi perempuan turut berkontribusi dalam membentuk generasi yang menjunjung tinggi toleransi dan persatuan.
Dengan semangat kebersamaan ini, Kabupaten Lembata terus menjadi contoh bagaimana keberagaman dapat dikelola dengan baik melalui nilai-nilai budaya dan agama yang saling mendukung dalam menjaga harmoni sosial di Lembata
Peran Generasi Muda
Generasi muda di Lembata didorong untuk aktif dalam kegiatan BKMT sebagai bagian dari regenerasi dan kelanjutan nilai-nilai kerukunan. Sebagai tongkat estafet, mereka diharapkan tidak hanya melestarikan tradisi, tetapi juga mengembangkan inovasi dalam memperkuat toleransi dan kerja sama antar umat beragama. Pendidikan multikultural dan dialog lintas agama, seperti yang disarankan dalam berbagai studi, menjadi kunci untuk membekali generasi muda dengan pemahaman tentang pentingnya harmoni sosial. Kegiatan seperti diskusi, pelatihan, dan keterlibatan dalam acara keagamaan dapat menjadi sarana efektif untuk menanamkan nilai-nilai ini sejak dini.
Pada kanal ini demografi pemuda memainkan peran penting dalam menegakkan dan memperkuat kohesi dan keragaman sosial di Kabupaten Lembata. Dengan energi yang melimpah, kemampuan inovatif, dan kemampuan beradaptasi, mereka memiliki potensi untuk bertindak sebagai agen transformatif, menanamkan nilai-nilai toleransi di berbagai aspek kehidupan.
Beberapa tindakan yang mungkin menjadi pekerjaan rumah pemerintah Kabapaten Lembata yang diberikan kepada pemuda, adalah:
- Pendidikan dan Sosialisasi
Pemahaman yang komprehensif tentang sejarah lokal, warisan budaya, dan nilai-nilai seperti “Taan tou, Taan sare-sare” atau “Oneq udeq laleng hama, Tubun upal tawun mawu”, meningkatkan kapasitas mereka untuk menghargai keragaman. Mereka dapat mengatur diskusi, seminar, atau memanfaatkan platform media sosial untuk menyebarkan pengetahuan tentang pentingnya toleransi dan upaya kolaboratif.
- Kegiatan Sosus dan Relasional
Partisipasi dalam inisiatif masyarakat seperti BKMT, organisasi pemuda antaragama, atau kelompok sosial dapat memperkuat solidaritas komunal. Terlibat dalam kegiatan seperti layanan sosial, penggalangan dana, atau membantu mereka yang membutuhkan dapat memperkuat hubungan interpersonal di antara kelompok yang beragam.
- Pemanfaatan Teknologi dan Media Sosial
Media sosial berfungsi sebagai media ampuh untuk menyebarkan pesan afirmatif. Generasi muda dapat mengembangkan kampanye digital yang bertujuan mempromosikan toleransi dan harmoni, menyebarkan narasi yang membangkitkan semangat, dan melawan penyebaran informasi yang salah dan provokasi yang dapat memecah masyarakat.
- Keterlibatan dalam Pemerintahan dan Kebijakan
Keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan, baik melalui organisasi pemuda, diskusi desa, atau partisipasi dalam inisiatif pemerintah, memungkinkan mereka untuk mengartikulasikan aspirasi mereka dan berkontribusi pada perumusan kebijakan yang lebih inklusif.
- Ekonomi Kreatif dan Kewirausahaan Sosial
Membangun perusahaan berorientasi masyarakat yang mendukung ekonomi lokal merupakan jalan lain untuk mendorong kemakmuran bersama. Dengan memberdayakan individu dari berbagai latar belakang, kesenjangan sosial dapat dikurangi dan hubungan antarkelompok dapat diperkuat.
Generasi muda tidak hanya mewujudkan penerus masa kini tetapi juga calon pemimpin yang mampu menumbuhkan masyarakat yang lebih harmonis dan inklusif.
Tantangan Kerukunan antar Umat Beragama di Lembata
Meskipun Lembata dikenal dengan kerukunan antar umat beragamanya, beberapa tantangan yang perlu disikapi, adalah:
- Faktor Sosial dan Ekonomi: Ketimpangan ekonomi dan persaingan sumber daya dapat memicu ketegangan, yang kadang-kadang dikaitkan dengan perbedaan agama.
- Pengaruh Eksternal: Isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) yang disebarkan melalui media sosial atau provokasi eksternal berpotensi mengganggu harmoni.
- Regulasi dan Birokrasi: Perizinan pendirian rumah ibadah sering kali menjadi sumber konflik, seperti yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia, dan dapat menjadi tantangan di Lembata jika tidak dikelola dengan baik.
- Kurangnya Keterlibatan Pemuda: Minimnya partisipasi generasi muda dalam kegiatan keagamaan lintas agama dapat menghambat regenerasi nilai toleransi.
Solusi yang Harus dibangun oleh Pemda dan Kementerian Agama
Untuk mengatasi tantangan tersebut, Pemerintah Daerah (Pemda) Lembata dan Kementerian Agama dapat menerapkan solusi berikut:
- Penguatan FKUB: Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) harus diperkuat sebagai mediator dalam dialog lintas agama dan pencegahan konflik. FKUB dapat mengadakan kegiatan rutin, seperti dialog dan pelatihan toleransi, dengan melibatkan tokoh masyarakat dan pemuda.
- Pendidikan Multikultural: Pemda dan Kementerian Agama perlu mendorong pendidikan yang menekankan toleransi dan keberagaman sejak dini, baik melalui sekolah formal maupun kegiatan komunitas.
- Peningkatan Infrastruktur Keagamaan: Memastikan proses perizinan rumah ibadah yang transparan dan adil untuk mencegah konflik, dengan melibatkan Pemda dalam fasilitasi lokasi alternatif jika diperlukan.
- Pemberdayaan Ekonomi Berbasis Kerukunan: Program ekonomi syariah atau koperasi lintas agama dapat diterapkan untuk mengurangi ketimpangan ekonomi dan memperkuat kerja sama antar umat.
- Pemanfaatan Media dan Teknologi: Kementerian Agama dapat menggunakan media sosial untuk menyebarkan pesan toleransi dan melawan hoaks yang memecah belah. Strategi komunikasi berbasis kearifan lokal, seperti yang dilakukan FKUB Sleman, dapat diadopsi.
- Keterlibatan Pemuda: Mengadakan kegiatan seperti Sekolah Kerukunan Lintas Agama atau festival budaya yang melibatkan generasi muda untuk membangun kesadaran akan pentingnya kerukunan.
Simpul
Peringatan BKMT ke-45 di Desa Dikesare, Lembata, menjadi cerminan nyata dari kerukunan antar umat beragama yang diperkuat oleh semangat Taan tou, Taan sare-sare” atau “Oneq udeq laleng hama, Tubun upal tawun mawu dan persatuan. Namun, tantangan seperti ketimpangan sosial, pengaruh eksternal, dan kurangnya keterlibatan pemuda perlu diatasi melalui upaya kolaboratif antara Pemda, Kementerian Agama, dan masyarakat.
Dengan mengedepankan dialog, pendidikan multikultural, dan pemberdayaan ekonomi, Lembata dapat terus menjadi “Pelangi kerukunan” yang menginspirasi. Generasi muda harus menjadi garda terdepan dalam melanjutkan estafet toleransi ini, memastikan bahwa harmni sosial tetap terjaga menuju Indonesia Emas 2045. ***
Daftar Pustaka :
Ramos Ojeda, D. (2019). Entendiendo la vulnerabilidad social: una mirada desde sus principales teóricos. Estudios del Desarrollo Social: Cuba y America, 7(1), 139–154. https://www.redalyc.org/journal/5523/552364016005/552364016005.pdf
wikipedia.org. (2024). Kabupaten Lembata. id.wikipedia.org. https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Lembata#Penduduk
BIODATA PENULIS : Muh. Sulaiman Rifai Aprianus Mukin. Lahir di Ende, 27 April 1970, merupakan ASN pada Kantor Kementerian Agama Kabupaten Lembata, Provinsi NTT, saat ini sebagai Pengawas Sekolah Tingkat Menengah. Menyelesaikan studi S1 Fakultas Tarbiyah pada Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Muhammadiyah Kupang Tahun 1995, menyelesaikan studi S2 Magister Pendikan Agama Islam di Univesitas Muhammadiyah Malang Tahun 2025. Selain memperoleh gelar akademik, penulis pun memperoleh gelar non akademik Certified Planning and Inventory Management (CPIM). Penulis saat ini sedang merintis Taman Baca Savana Iqra (TBSIq), selain itu bergabung dalam “Komunitas Penulis Lembata” juga sebagai “Penakar Literasi”. Penulis juga menulis opini/headline di beberapa media online, penulis dapat ditemui di akun Facebook @RifaiAprian, IG @Rifai_mukin ***