Cinta di Bawah Naungan Madrasah
Oleh: Rifai Mukin
Di kota kecil Lewoleba yang sejuk, Shofah, seorang guru madrasah yang berdedikasi, menjalani hari-harinya dengan penuh semangat. Madrasah tempatnya mengajar, yang berada di bawah naungan Kementerian Agama, sedang gencar-gencarnya menerapkan “Kurikulum Cinta”.
Program ini bukan sekadar jargon belaka, melainkan semangat untuk memulai setiap kerja dengan kasih sayang, dari pusat ditularkan ke kantor wilayah hingga madrasah-madrasah di pelosok. “Cinta adalah energi yang menular,” begitu kata Menteri Agama, dan Shofah sepenuh hati menghayati dan mempercayainya.
Sore itu, setelah seharian mengajar, Shofah pulang ke rumah sederhananya. Bersama Shofian, suaminya, mereka duduk di beranda, menikmati angin sepoi dan segelas copi hangat. Sambil bersantai, Shofah bercerita tentang program Kurikulum Cinta di madrasahnya.
“Jadi, setiap sapaan harus penuh rasa cinta, Kang. Kami di grup madrasah bahkan sepakat menyapa dengan ‘cinta’ setelah salam,” ujarnya sambil tersenyum.
Shofian mengangguk, setengah mendengar, setengah tenggelam dalam pikirannya. Tiba-tiba, ponsel Shofah berdering. Tanpa melihat nama penelepon, ia langsung mengangkat. “Halo?”
“Hay… cintaku,” sebuah suara laki-laki lembut terdengar dari seberang. “Assalamu’alaikum, cinta.”
Shofah, dengan santai, menjawab, “Wa’alaikumussalam, cinta. Ada yang bisa dibantu, ko?”
Belum selesai kalimatnya, wajah Shofian langsung memerah. Ia bangkit dari kursi, suaranya meninggi. “Kamu selingkuh, ya?
Jadi selama ini diam-diam kamu main belakang sama orang lain?!” “Oooo beginikah kamu selama ini?
Shofah menatap suaminya dengan tenang, tak sedikit pun terpancing. “AKang,” katanya lembut, “kalau aku selingkuh, masak iya terang-terangan begini? Ini bukan selingkuh.
Di madrasah, kami sudah sepakat menyapa dengan ‘cinta’ setelah salam. Ada cinta kecil, cinta sedang, cinta besar. Tapi untuk akang, cintaku ini…” ia berhenti sejenak, lalu tersenyum nakal, “cintaku sama akang sangat dahsyat.”
Shofian terdiam, dia kehilangan keseimbangan dan kehilangan kata-kata. Shofah melanjutkan, nadanya kini sedikit menggoda. “Akang ingat, kan, waktu pulang kampung? Akang dipeluk-peluk, dipanggil ‘sayang’ sama istri rumah akang? Akang kira aku nggak cemburu sebagai istri?”
Wajah Shofian kini berubah merah seperti rebusan udang, antara malu dan tersentuh. Ia sadar, Shofah sedang mengingatkannya dengan cara yang penuh kasih. “Maafkan aku, sayang,” ujar Shofian pelan, nyaris tidak terdengar, suaranya penuh penyesalan.
“Ogah,” sahut Shofah, pura-pura merajuk.
“Cinta, maafin aku, ya,” Shofian berkata lagi, kali ini lebih mantap dan tegas, matanya penuh kehangatan.
Shofah tersenyum kemenangan, lalu memeluk suaminya erat. Dalam diam, ia berbisik, “Akang, aku sayang kamu.”
Hari pun menjelang malam, mereka hanyut dalam kebersamaan yang hangat, ditemani angin sepoi-sepoi, Lewoleba malam itu semakin dingin saja dan sejuknya merasuk sum-sum tulang. Di balik Kurikulum Cinta madrasah, Shofah dan Shofian menemukan kembali cinta mereka sendiri, cinta yang sederhana, tulus, dan dahsyat.
TAMAT
Biodata Penulis : Muh. Sulaiman Rifai Aprianus Mukin. Lahir di Ende, 27 April 1970, merupakan ASN pada Kantor Kementerian Agama Kabupaten Lembata, Provinsi NTT, saat ini sebagai Pengawas Sekolah Tingkat Menengah.
Menyelesaikan studi S1 Fakultas Tarbiyah pada Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Muhammadiyah Kupang Tahun 1995, menyelesaikan studi S2 Magister Pendikan Agama Islam di Univesitas Muhammadiyah Malang Tahun 2025.
Selain memperoleh gelar akademik, penulis pun memperoleh gelar non akademik Certified Planning and Inventory Management (CPIM).
Penulis saat ini sedang merintis Taman Baca Savana Iqra (TBSIq), selain itu bergabung dalam “Komunitas Penulis Lembata” juga sebagai “Penakar Literasi”. Penulis juga menulis opini/headline di beberapa media online, penulis dapat ditemui di akun Facebook @RifaiAprian, IG @Rifai_mukin ***