” Critical Thinking” untuk DPR dan MPR Seputar Usul Pemberhentian Wapres Gibran
Oleh : Dr. Yohanes Bernando Seran, SH., M.Hum
(Ahli Hukum Alumni UGM Yogyakarta)
WARTA-NUSANTARA.COM–Â MENYUSUL surat usulan pemakzulan Wapres Gibran yang dikirim beberapa kelompok kecil orang ke DPR dan MPR dapat saya berikan pemikiran kritis ( critical thinking ) sebagai bentuk pencerahan hukum konstruktif sebagai berikut.
Pertama, bahwa sesuai ketentuan konstitusi UUD 1945 proses pemberhentian Presiden dan atau Wapres hanya dapat diproses DPR jika ada pelanggaran hukum seperti pengkianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan dan tindak pidana berat lainnya serta perbuatan tercela yang dilakukan Presiden dan atau Wapres. Dalam konstruksi demikian maka kelompok orang yang mengajukan usul ke DPR dan MPR untuk memberhentikan Wapres Gibran adalah mengada-ada dan hanya menimbulkan kegaduhan sosial politik yang praktis menguras energi berbagai elemen bangsa untuk menyukseskan program strategis Presiden Prabowo dan Wapres Gibran.
Kedua, bahwa DPR dan MPR tidak layak untuk mempertimbangkan surat usulan tersebut jika tidak hendak disebut sebagai wakil-wakil rakyat yang tidak berpihak kepada aspirasi masyarakat secara mayoritas. DPR dan MPR dapat saja menerimanya sebagai aspirasi tetapi aspirasi yang dapat di derogasi karena tidak berdasarkan hukum dan konstitusi UUD 45.
Aspirasi usulan pemakzulan Wapres Gibran inkonstitusional dan bersifat getaran politis belaka. Oleh karena itu DPR dan MPR tidak perlu membahas usulan tersebut dalam mekanisme dan atau prosedur normal melalui alat-alat kelengkapan DPR dan MPR.
Perlu dipahami adanya keputusan dalam konstitusi untuk memperberat proses impeachment Wapres dan atau Presiden dimaksudkan selain untuk menjaga stabilitas berbangsa dan bernegara juga untuk jaminan kepastian hukum untuk suatu hasil Pilpres yang legal dan legitimeted .
Jika dirunut secara metodologis disain usulan pemakzulan Wapres Gibran dapat dikualifikasi sebagai ” testing the water ” terhadap aspirasi masyarakat secara keseluruhan untuk tujuan akhir yang inkonstitutional yaitu menegasikan mayoritas keinginan masyarakat Indonesia untuk kepemimpinan Presiden Prabowo dan Wapres Gibran.
Patut dicatat di sini bahwa hasil Pilpres 2024 yang telah menghasilkan Presiden Prabowo dan Wapres Gibran adalah konstitutional apalagi dengan keputusan MK yang bersifat final and binding . Dengan demikian niat sekelompok orang yang berlabel pensiunan tersebut tidak dapat dipertimbangkan secara yuridis oleh DPR dan MPR karena fakta dan bukti usulan tersebut diperoleh secara melawan hukum dan bukti pemakzulan adalah tidak SAH ( onrechmatige ver dregen bewijs/unlawfull legal evidence )
Ketiga, bahwa untuk menjamin stabilitas dan keberlanjutan visi misi Presiden Prabowo dan Wapres Gibran diperlukan kebesaran hati dan sikap ksatria untuk semua elemen berbangsa dan bernegara untuk saling mendukung untuk menghadapi masa depan yang penuh tantangan ketimbang mempersoalkan sejarah yang post factum sekalipun karena sebagaimana ditulis Prof. Dr. Taufik Abdullah, kendati kisah sejarah bukan hanya hasil usaha merekam peristiwa masa lalu tetapi juga suatu bentuk wacana pemikiran secara serta- merta ( mutatis mutandis ) hanyalah suatu historical yang hanya terasa seakan memberi pengetahuan tentang sesuatu yang ada di sana ( something out there ) yang akan terbatas dari keprihatinan kekinian yang subyektif tetapi tidak akan mengubah post factum yang konstitutional dan legal. ***