Ketika Gunung Bicara, Dengarkan Suara Dari Selatan
Oleh : Nikolaus Hukulima
WARTA-NUSANTARA.COM– Gunung Lewotobi kembali meletus. Abu vulkanik menyelimuti langit Flores Timur, memaksa warga setempat mengungsi dari rumah dan tanah yang mereka cintai. Peristiwa ini bukan sekadar gejala alam biasa. Ia adalah peringatan keras, bahwa wilayah ini berada di zona rawan dan tak bisa diperlakukan semena-mena atas nama pembangunan. Ia menjadi pengingat bagi masyarakat setempat akan dinamika bumi yang menyimpan potensi bahaya, terlebih di wilayah yang berada di jalur cincin api (ring of fire) seperti Nusa Tenggara Timur.
Suara letusan itu menggema hingga ke selatan, ke wilayah Atadei di Kabupaten Lembata, di mana rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) terus mendapat penolakan dari masyarakat adat setempat terutama masyarakat desa Atakore. Mereka telah lama menyuarakan kekhawatiran mereka terhadap eksplorasi panas bumi di wilayah yang mereka anggap sakral, serta rawan secara geologis. Penolakan itu bukan sikap anti-pembangunan, tapi cerminan kesadaran mendalam bahwa proyek ini membawa risiko besar bagi keberlanjutan hidup mereka.
Bagi mereka, tanah bukan hanya tempat berpijak tetapi juga tempat hidup leluhur, sumber air, dan pusat kehidupan budaya. Mereka khawatir bahwa pengeboran panas bumi akan merusak kesucian alam, menyebabkan kerusakan lingkungan, dan meningkatkan risiko bencana geologi, seperti yang mereka saksikan dari letusan Gunung Lewotobi.
Kembali meletusnya Gunung Lewotobi memperkuat alasan penolakan mereka: bahwa wilayah NTT bukanlah tempat yang netral secara geologis. Aktivitas pengeboran yang dilakukan tanpa pemahaman mendalam atas struktur bumi dan tanpa melibatkan suara masyarakat lokal, dapat memperbesar risiko bencana. Dalam konteks ini, PLTP bukan hanya soal energi, tetapi juga soal kelangsungan hidup, budaya, dan keselamatan warga.
Penting bagi pemerintah dan investor untuk tidak hanya melihat proyek pembangunan dari sisi teknis dan ekonomi, tetapi juga dari perspektif sosial, kultural, dan ekologis. Letusan Lewotobi adalah sinyal alam yang harus dibaca dengan hati-hati. Di wilayah seperti Atadei, mendengar suara rakyat bukanlah pilihan, tapi keharusan.
Mereka tak bicara tanpa dasar. Pengalaman yang telah terjadi di wilayah barat dan tengah Flores, seperti Soa di Kabupaten Ngada, Poco Leok di Manggarai, dan Nagekeo di mana masyarakat juga mengalami dampak langsung dari proyek-proyek panas bumi dan menghadapi ancaman terhadap ruang hidup mereka, menunjukkan betapa eksplorasi geotermal bisa menyebabkan perubahan lingkungan yang merugikan masyarakat: air bersih tercemar, suhu tanah berubah yang menyebabkan kehidupan terganggu. Bukti-bukti ini bukan sekadar cerita, melainkan pengalaman pahit yang seharusnya menjadi bahan pertimbangan serius yang diantisipasi sejak awal.
Jika Projek ini tetap dilaksanakan dan kekhawatiran masyarakat setempat benar-benar terjadi maka seluruh sumber daya masyarakat bisa hilang seketika. Lebih dari itu, masyarakat bisa tercerabut dari akar mereka dan terpaksa meninggalkan tanah adat, makam leluhur, sumber air, dan ruang hidup yang telah mereka rawat selama ratusan tahun.
Pertanyaannya: mengapa memaksakan pilihan yang berisiko tinggi, padahal NTT kaya akan potensi energi terbarukan lain yang lebih aman dan ramah lingkungan?
Angin yang berhembus kuat sepanjang pesisir, bukit-bukit dan gunung, sinar matahari yang melimpah hampir sepanjang tahun, serta gelombang laut yang stabil, semuanya adalah sumber energi bersih yang belum dikembangkan secara optimal. Potensi ini dapat dikembangkan tanpa menggali perut bumi, tanpa mengorbankan air, tanah, dan jiwa.
Suara masyarakat dari Selatan adalah suara dari akar. Akar yang menolak untuk dicabut, bukan karena takut perubahan, tetapi karena tahu bahwa perubahan yang dipaksakan seringkali membawa kerusakan. Mereka mengingatkan kita semua: bahwa pembangunan harus manusiawi, partisipatif, dan menghormati batas-batas alam dan budaya.
Letusan Lewotobi adalah isyarat. Dan isyarat ini hanya bisa dimengerti oleh mereka yang bersedia mendengar. Maka mari kita dengarkan, sebelum alam berbicara dengan cara yang lebih keras dan tak bisa ditawar.
“Mengabaikan potensi bencana adalah membuka pintu bagi tragedi yang sebenarnya bisa dicegah.” ***