Maksi Massan Kia, “Si Tangan Kasar”
Oleh : Robert Bala
WARTA-NUSANTARA.COM– Di dunia maya, hampir begitu sering bertemu. Pertemuan itu menarik saat melihatnya berjibaku membagi buku ke kampung-kampung. Ia (Maksimus Massan Kian/ MMK) ternyata Ketua Asosiasi Guru Penulis (Agupena). Organisasinya menarik banyak perhatian terutama yang mengambil garis sebagai ‘penulis’, seperti penulis.
Dari situ saya mengenalnya dan setiap saat selalu bertambah pengenalan sejalan dengan banyaknya postingan yang ia buatkan. Postingan berkelas membuat siapapun bisa membayangkan kualitas ide yang dimiliki.
Tetapi petemuan secara fisik baru terjadi hari itu: Senin 23/6/2025 di Larantuka Karena pertemuan pertama maka saya menggunakan sedikit kesempatan itu untuk memerhatikannya. Banyak hal yang menarik secara fisik tetapi kali ini hanya menulisnya tentang satu hal: jari-jemarinya yang bersatu membentuk telapak tangannya.
Apa yang berbeda? Jari-jarinya cukup besar, keras, dan kasar. Saya lau bertanya, ini guru penulis, tetapi ballpointnnya sebesar apa sehingga telapak tangannya sekeras itu? Apakah ada penjelasan dari segi biologi(yang merupakan ‘’faknya’ Maksi) tentang ‘keanhena’ ini?
Ya ada. Dalam biologi disebut sebagia kapalan atau callius. Apa itu? Kapalan adalah kulit yang menbal dan mengeras karena terjadi geseskan. Kulit yabng mengalami kepalan umumnya terlihat kering dan kekuningan.
Mengapa terbentuk kulit yang menebal seperti itu? Itu hanya terjadi dengan orang yang suka kerja tangan. Ia tidak duduk di belakang meja tetapi terlibat bekerja: mengangkat, menurunkan, memindahkan, dan meletakkan pada tempat atau membongkar. Karena terlalu banyak kerja fisik maka telapak tangannya menjadi keras dan terbentuklah ‘kapalan’ atau ‘callus’.
Ini yang barangkali jadi penjelasan. Setiap organisasi di mana Maksi ada, dia tidak hanya berdiri di depan sebagai pemimpin untuk mengarahkan atau jadi tempat orang ‘minta petunjuk dan arahan’ seperti pemimpin birokratis di negeri ini. Maksi adalah pemimpin natural yang bisa disebut aneh. Ia tahun kapan ada di depan menggerakkan. Ia tahu kapan menginspirasi timnya untuk mencapai tujuan. Pantas, saat menjadi Ketua PGRI Flotim, begitu banyak aksi dan terobosan yang dilakukan.
Tentu dengan menekankan terobosan seperti ini saya tidak sedang mengkritik apalagi melansirkan ironi untuk PGRI Kabupaten lain yang ada ketika ada kongres dan kemudian bekerja ‘diam-diam’. Kata orang Nagi “beto ke ne?” Untuk hal ini saya tidak mau teruskan tetapi yang pasti, PGRI di kabupaten lain di NTT bisa belajar (kalau mau rendah hati).
Seni Membentuk Tim
Di Rumah makan di pinggir Pantai Weri itu saya mendengar dengan begitu penuh perhatian bagaimana ia membentukan tim, bagaimana menemukan orang-orang yang duduk menjadi pengurus inti di PGRI Flotim dan seribu satu cerita lain. Semua ia cari dan temukan dari kontak, memerhatikan bagaimana ungkapkan pikiran tentang banyak hal: keuangan, IT, olahraga, dan sebagainya. Dari situ ia tahu bahwa menempatkan orang dalam organisasi bukan karena ‘kedekatan’ (atau KKN) tetapi orang tersebut punya sesuatu yang bila digunakan dalam organisasi akan sangat membawa perubahan. Itulah yang ia buat sebagai Ketu PGRI Flores Timur.
Saya lalu bisik pada Maksi, mengapa inspirasi yang sudah ia berikan untuk Flotim ia bisa sebarkan kepada PGRI Kabupaten lain? Apakah PGRI kabuapten lain juga ‘garang’ seperti Flotim? Apakah mereka bekerja ‘diam-diam di bawah tanah’ ataukah diam-diam terkubur dalam tanah? Yang pasti ada nama mereka dan hadir dalam event nasional pertemuan tetapi kembali ke daerah ‘sama poi’, kata orang Sikka.
PGRI Flotim justru menampilkan wajah baru dengan performa yang bagus oleh aneka kegiatan luar biasa. Program tersusun rapi tetapi fleksibel ketika ada peluang untuk melakukan di luar apa yang dijadwalkan. Itulah yang saya rasakan saat menawarkan untuk mengadakan Talkshow tentang Deteksi dan Pencegahan Bunuh Diri Remaja. Dengan cepat dijawab ‘siap’ seakan-akan PGRI ini adalah perangkat daerah yang disebut OPD dengan dana yang meski sudah ‘dipotong’ tetapi tetap menjadi potongan yang besar dan tidak pernah kecil dan disebut ‘Engkau te ada potongan’ hehe.
Tetapi di situlah terlihat fleksibilitas. Ia segera berkoordinasi dengan timnya yang segera ambil peran. Saya tidak tahu seperti apa model kerjasama sehingga dalam waktu dekat terdata guru-guru yang bisa ikut (meski di tengah liburan). Di situlah saya memahami sediki, dan semakin yakin ketika meraba kulit telapak tanganya yang sudah jadi gumpalan keras dan kasar yang disebut kapalan atau callius.
Perlu Meluas
Percakapan saya kali ini sangat singkat. Setelahnya saya harus pamit lebih awal karena dengan terbang dini hari dari Jakarta yang berarti sudah tinggalkan rumah dari malam sebelumnya, saya hanya menangkap sedikit dari banyak hal yang ada. Tetapi ada tiga hal yang bisa jadi pesan.
Pertama, cari pemimpin pekerja yang terbukti telah menjadi ‘portofolio’. Telapak tangan yang keras adalah gambaran orang yang ketika bersatu dalam satu organisasi, akan mudah bekerjasama membuat hal besar.
Ini sebuah kritik terhap model pencarian anggota tim yang bukan hal biasa. Anggota yang dicari adalah mereka yang bekerja keras dan kasar membuat kulitnya menebal. Orang Spanyol menybut bahwa kita lebih baik memilih orag yang ‘mojar camiseta’ berani mengotorkan kaosnya karena kerja keras. Model kerja seperti ini yang menjadikan kulit tangan MMK menebal dan keras.
Kedua, kerja sukses pemimpin bukan bekerja sendiri tetapi mencari orang yang tepat untuk ditempatkan pada tempat yang tepat. Maksi Masan di Flotim hemat saya tidak bekerja seperti banyak pemimpin pada umumnya yang melakukan ‘one man show’. Di sana sang pemimpin seperti dalam sebuah pertunjukan tunggal yang menampilkan seorang aktor atau komedian yang berinteraksi dengan penonton. Ia kemudian menggambarkan gaya kepemimpinan yang sangat bergantung pada satu orang.
Pemimpin seperti itu ‘berdarah-darah’ bekerja tetapi pada akhirnya kecewa karena anggotanya hanya melihat dari jauh saja. Seorang pemimpin harus memiliki kemampuan untuk menemukan talenta-talenta dari orang yang dipimpin dan memilih mereka yang betul-betul bekerja. Itu yan gdilakukan Maksi,
Ketiga, pemimpin yang sukses harus juga fleksibel. Pemimpin harus menyusun program kerja yang baik dan rapi tetapi ia harus siap dan fleksibel ketika ada tawaran di luar program. Itulah yang saya alami saat menginformasikan kehadiran saya di Larantuka dalam perjalanan ‘pulang kampung’. Oleh pengenalan meski hanya lewat online tetapi peluang itu segera diambil dan dibuat secara anggun dan berkualitas dan bukan sekadar mengejar kuantitas sebagai simbol menaikkan prestise.
Tiga hal ini saya tulis dalam perjalanan dari Boleng ke Lewoleba di atas KM El Hassan yang sambil goyang naik turun mengikuti arah arus yang keras, ‘arus Watuwoko’ yang terkenal itu, saya menulis hal yang bisa ‘mengguncangkan’ bila dilakukan terutama dalam organisasi seperti PGRI dan mengapa tidak bisa ditiru oleh OPD? Ya, tidak dipaksakan tentunya.
Robert Bala. Penulis buku MENJADI GURU HEBAT ZAMAN NOW (Best Seller) Gramedia.