ADVERTISEMENT
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Kontak
Rabu, Juli 9, 2025
No Result
View All Result
  • Home
  • National
  • Internasional
  • Polkam
  • Hukrim
  • News
  • Pendidikan
  • Olahraga
  • Home
  • National
  • Internasional
  • Polkam
  • Hukrim
  • News
  • Pendidikan
  • Olahraga
No Result
View All Result
No Result
View All Result
Home Opini

Candaan Tepi Jurang Tunas – Lembata Jaya, Suara dari Ebang untuk PAN

by WartaNusantara
Juli 2, 2025
in Opini
0
Candaan Tepi Jurang Tunas – Lembata Jaya, Suara dari Ebang untuk PAN
0
SHARES
191
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Candaan Tepi Jurang Tunas – Lembata Jaya, Suara dari Ebang untuk PAN

Oleh : Alwi Murin

WARTA-NUSANTARA.COM–  ” Go koda nepi kng bahasa campuraduk. Mian mio baca ki ti, mio maring meri sare pe sare, take pe take. Aku-aku hala”.

Tanggal 28/6/25, Sabtu tu, qta di Nagi. Qta pi kedara iko kubo blake pung ana kebara. Inga le. Torang pung ana nona tu mati lao Kupang. Jo dorang ba bale pi Nagi. Kubo pegari jedi tengarinya qta mau bale Leleba.
Saya datang di pelabuhan Larantuka jam 13. Disitu ada dua kapal yang hendak berangkat ke Lewoleba. Hatiku ingin naik kapal cepat tapi doiq tokong watiq, sehingga kupilih naik kapal Lembata Jaya.
Kuintip dompetku, isinya parah. Kucari akal cara menghemat.
Tetiba, kuteringat sesosok orang baik.
“Coba kutelpon”, benakku.
Sambil dudo telepo di lantai teras ruang tunggu pelabuhan, kutelpon sahabat baikku itu. Dia bos kapal Lembata Jaya, namanya Yoseph Lembata alias ako Siong.
Waktu pilkada Lembata lalu, Siong itu ketua timses paket Lembata Jaya, Jimy-Lukas. Sementara saya jadi jurkam Paket Tunas, Kanis-Nasir.
Di telpon saya omong ke Siong pake logat Lewoleba,”Doi su te ada ni, sa minta jadi penumpang batu dulu ka”.
Lalu Siong jawab, “Engko kirim foto supaya sa kirim ke juru tagih”.
Langsung kuselfie botakku, kirim!
“Aman sudah”, ujarku dalam hati.
Masih telepo di situ, kuintip komen di grup Ruang Baca, sambil merokok sebatang dua.
Jam 13.29 naiklah saya ke kapal itu, langsung ke buritan atas, duduk merokok lagi di situ, rokok herbal.
Tak lama datang seorang teman lama, tinggal di Adonara.
Di sana orang memanggilnya Wiro Sableng, lantaran berewoknya selebat hutan Amazone.
Berdua ngobrol disitu, ngalor ngidul.
Kapal pun lepas tali, gas gere, berlayarlah kami. Berselang menit, Wiro Sableng pamit pigi meke , saya masuk duduk di anjungan, belakang ruang juru mudi.
Tak lama, kapten kapal datang omong ke penumpang bahwa nanti setiba di Waiwerang, kapal akan berlabuh lama, karna masih menunggu bupati Lembata. “Di Waiwerang kita tunggu bupati dulu. Jam 18 baru jalan lagi”, ucap kapten dengan ramah.
Belasan penumpang disitu maklum.
Kapten lalu bergegas turun, menuju penumpang di ruang bawah.
Lembata Jaya terus berlayar dengan kecepatan penuh, dalam gelombang yang tak seberapa.
Lama kemudian saya chat konfirmasi ke Siong dengan pesan canda, “Katanya di Waiwerang masih tunggu bupati loku. Jam 18 baru berangkat. Benar ka?”.
Loku atau botak adalah iklan kebanggaan paket Tunas saat kampanye lalu, menunjuk kepala Kanis Tuaq yang pelontos abis.
Lama Siong tak bereaksi. Kulihat belum centang biru.
Bosan duduk di anjungan, saya turun ke ruang bawah, telentang di bangku panjang dengan sendal burukku mengalasi botakku.
Kepalaku juga botak. Tapi botakku untuk menghemat shampo, bukan untuk iklan. Bukankah ini jaman efisiensi?
Bosan baring saya duduk, bosan duduk saya baring lagi, begitu berkali-kali, sambil menghibur diri dengan Samsung A23ku.
Tak ada teman.
Jam14.53, kulihat Siong centang biru. Pikirku tak lama lagi ia jawab yang kutanyakan tadi.
Namun pesan masuk, Siong malah becanda, “Bupati suruh penasihat jemput”, kata Siong.
Saya tersenyum.
Lalu kubalas becanda, “Bilang bupati tu, dia pake berenang saja ka”, tulisku.
Lalu Siong membalas, “Sampe Lewoleba bupati su siap mobil jemput penasihat”, oloknya.
Kubalas becanda, “Sampe Watowoko kasih turun dia di situ, supaya Nasir yang bupati”, kusertai emoji botak tertawa sampe keluar air mata.
Kemudian Siong jawab serius pertanyaanku tadi, “Ya. Saya baru telpon tanya kapten. Tunggu bupati, wakil bupati dan rombongan Askab”.
Lalu Siong lanjut becanda lagi, “Sa bilang harus tunggu karna itu bupati pilihan kita”, disertai emoji botak tertawa.
Lanjutnya, “Ada kikil sapi ni”, sambung Siong seakan mengajak makan.
Baba Siong sahabat baikku ini, sangat sering ajak saya makan di rumahnya, terkhusus bila ada hidangan daging terenak di dunia, B2.
Tapi semenjak saya jadi jurkam Tunas, dia belum ajak makan lagi. Mungkin karna babi di Lembata banyak mati diserang ASF.
Saya lalu membalas Siong lagi, “Tau begini, tadi sa tinggal saja eka”, kusertai emoji botak tertawa.
Waktu berlalu, jam 15.27, kapal sandar di dermaga Waiwerang.
Mesin dimatikan tanda kapal berlabuh lama.
Sesaat kemudian datang kapten menghampiriku. “Paman, kita tunggu bupati”, ujarnya.
Saya mengangguk sambil menjawab, “Iya, tadi Siong su bilang”.
Lalu ia menambahkan “Kalau kita tunggu hala, kita salah le… Bupati wi..!”, ucapnya polos dengan logat Lamahala yang kental.
Saya manggo kepala saja sambil senyum.
Dia sambung lagi, “Nanti ada makan”, ucapnya sambil berlalu pergi.
Saya manggo lagi.
Lama kemudian datang abk membagikan pop mie, ia berikan kepadaku sambil berujar, “Tunggu, nanti air panas datang”.
Hatiku girang tak terkira.
Langsung kusobek kemasan pop mie, menanti air panas.
Lama menunggu, air panas tak muncul.
Tiba-tiba Siong kirim foto yang ramai menyebar di medsos. Foto Wabup Nasir pake kaos yuken, duduk makan bersama dengan ketua FP2L. Di sampingnya ada ako Hui, donatur Tunas.
Nasir itu teman kami. Suka becanda juga orangnya.
Saya komen foto itu, “Wabup menjamu tuan besar makan malam. Tuan besar dijemput asistennya. Sudah dikasih makan, dapat bonus proyek. Untung dobel ka”, kusertai emoji botak tertawa sampe keluar air mata.
Kemudian Siong beralih, “Bupati senang penasihat tunggu”.
Lanjutnya, “Ada kopi ka tidak?”.
Saya membalas, “Tadi kapten bilang ada. Tapi tunggu su lama kopi te datang ni. Gula abis e? Bos kapal te beli gula e?”, candaku.
Bosan menunggu, sampai jam 18.02, belum ada tanda kapal lepas tali. Firasatku, “Tak mungkin bupati loku dan wakilnya mau naik kapal ini. Kan ada kapal Torani milik pemda”.
Tapi dasar polos, saya percaya saja apa kata bos kapal.
Jam 18.47, saya naik ke anjungan. Di situ kudengar penumpang menggerutu, memaki-maki dengan suara pelan.
Sasarannya bupati Lembata.
Ada yang mengatai dengan sebutan penghuni Ragunan.
Tau to orang kita pung mulut?
Di sudut belakang, seorang ibu muda berjilbab duduk memeluk anak sepantar 3 tahun. Wajahnya nampak lelah dan sangat gelisah, tapi anaknya terlihat girang.
Kudengar keluhan,”Lama sekali!”, kesal seorang pemuda.
“Masih tunggu raja”, timpal temannya sinis.
Mendengar itu, hatiku bergumam,”Eroq loku e, laha mo weq rupa raja”.
Orang-orang terus mengeluh mengoceh. Malu hatiku mendengarnya. Maklum, jurkam to.
Kupikir, “Kalau bupati model begini maka aku akan menanggung malu selama lima tahun “.
Tak tahan mendengar makian di anjungan, saya turun ke ruang bawah. Sambil menuruni tangga, benakku mikir lagi, “Tak mungkin bupati loku mau naik kapal ini”.
Kembali saya ke bangku semula. Pop mie yang tadi telah kusobek, masih tergeletak menganga menunggu air panas yang tak kunjung datang.
Dari pada jenuh, kuteruskan becanda dengan Siong, “Sudah bagi pop mi setengah jam lalu tapi air panas te datang. Bupati loku ni bikin penumpang tunggu sampe lapar. Tapi penumpang batu jadi sabar saja ka. Mau bagaimana lagi”, tulisku.
Saya lanjutkan, “Su jam begini botak belum datang. Ini namanya bupati Tunas siksa rakyat, didukung oleh Lembata Jaya”.
Siong menyahut, “Lembata Jaya menghargai pilihan rakyat Edang yang didukung tokoh Edang”, disertai emoji botak tertawa.
Saat itu saya tersentak. Siong becanda, tapi saya merasa disindiri. Di benakku, “Bisa jadi, orang akan menyindir Edang bila bupati Kanis Tuaq bertindak konyol”.
Sejenak saya malu.
Harap hatiku, “Eroq loku, o kara laha te miang amo!”.
Mencoba menutupi maluku, saya menjawab Siong, “Besok sa buat cerita tentang ini jo bagikan di grup. Cerita bupati botak menyiksa rakyatnya”.
Lalu Siong membalas,”Saya te ada di grup jadi te bisa baca cerita bupati siksa jurkamnya”, ia sertai emoji botak tertawa.
Saya menyahut, “Nanti saya bagikan. Sa bikin cerita seru”, emoji botak lagi.
Tak lama, masuk chat istriku, “Ayah su dimana?”
Saya jawab, “Masih di Waiwerang ni”.
Lalu saya ceritakan semuanya, via chat.
Bukannya gelisah, istriku malah memarahiku, “Ayah te boleh omong begitu! Tarik kembali kata Watowoku tu! Omong yang baik saja!”, omel istriku, perempuan setia berjilbab itu.
Saya menjawab, “Tadi tu hanya omong main gila saja dengan ako Siong”.
Tak lama masuk chat yang sama dari anakku Putra yang sedang berlibur di kampung neneknya, Pamakayo, “Su dimana ni bos?”, Putra bertanya, dengan kebiasaannya menyapaku bos.
Saya menjawab,”Masih di Waiwerang ni”. Lalu saya ceritakan semuanya.
Bukannya prihatin, anakku malah mengolokku, “Sementara berenang pelan-pelan po bae ka bos”.
Membaca itu, saya tertawa terbahak-bahak karena teringat tadi saya candai Siong, bilang bupati pake berenang saja.
Pukul 19.55, air panas belum juga nongol. Saya beranjak ke dapur. Ada seorang abk di situ. “Ada air panas ka?”, tanyaku.
Dia menjawab,”Sementara jerang ni. Tadi habis. Ini saya jerang untuk bupati dan rombongan”, jarinya menunjuk panci di atas kompor.
Hati kecilku masih tak yakin bupati loku akan ikut kapal ini.
Saya lalu menaiki tangga menuju anjungan belakang. Disana para penumpang sudah terlihat pasrah. Tak terdengar lagi caci maki. Ada yang telentang tidur di bangku panjang, seorang pemuda tidur pake menere .
Pukul 20.22, rombongan Askab tiba. Terlihat anak-anak Persebata dan pengurus menaiki kapal.
Sore tadi Persebata berlaga di stadion Apebuan, Suku Tokan.
Tim Liga Tiga ini dibantai telak 3-0 oleh tim BMP Flotim.
Saya lalu mengenas, “Kenapa bupati tak bisa carter kapal untuk tim Persebata? Kenapa biarkan penumpang tersiksa menunggu lama begini?
Kenapa jadwal kapal ini bisa diubah segampang ini?”
Ketika rombongan itu naik, dari anjungan belakang saya tak melihat wajah bupati loku dan wakilnya. Tapi karena suramnya lampu pelabuhan Waiwerang, pikirku “Mungkin mataku tak awas”.
Maklum, mata tua to.
Sesaat kemudian, 20.30, abk dek siap muka belakang, kapal lepas tali meninggalkan Waiwerang, tanah kelahiranku itu.
Langsung kukirim pesan ke bos kapal,”Baru lepas tali”.
Tapi Siong tak respon lagi, mungkin dia sudah mengorok.
Angin laut bertiup dingin, udara terasa sejuk. Tak ada jeket.
Saya lalu beranjak turun ke ruang bawah, telentang memanggang diri dekat ruang mesin.
Pop mieku masih menganga kering di bangku sebelah, lantaran air panas hanya untuk bupati loku dan rombongan.
Saya lalu terbaring dalam pikir, “Bupati loku ada di ruang atas menempati ruang terhormat di kamar juru mudi”.
Bupati wi….!
Dalam gelapnya malam, Lembata Jaya berlayar dengan kecepatan sedang, mengingat di depan sana para nelayan tengah mencari ikan.
Tiba-tiba bunyi mesin kapal merendah. Penumpang panik. “Ada apa?”, tanya seseorang.
Ternyata kapal menghindari pukat nelayan.
“Eroq loku e, boiq o laha nelayan di susah bahe”, gumamku.
Mendekati Meko (bukan meke), Lembata Jaya gas gere, kecepatan penuh.
Sampai di Watowoko, candaanku tadi tak terbukti. Tak ada orang diturunkan di situ.
Aku masih memanggang diri dekat ruang mesin. Perutku tak lagi kompromi, lapar sekali. Tapi buat apa mengeluh, karna sadar diri penumpang batu.
Goe bupati hala wi..!
Pukul 22.40, kapal sandar di dermaga Lewoleba.
Terima kasih Tuhan, Engkau tidak menjanjikan kami laut yang tenang, tetapi tibanya kami di pelabuhan dengan aman. Puji Tuhan!
Perjalanan yang jengkel-bosan-lelah itu, berakhir lega, dapat tiba di Lewotanah dengan selamat.
Alhamdulillah!
Di dermaga, saya amati dimana bupati loku. Tapi tak nampak juga orangnya.
Kemudian saya berpapasan dengan koq maing Syukur Wulakada, manajer Persebata.
Penjelasan Syukur membenarkan firasatku tadi, “Bupati nore wakil nang loyoweheq sulo deqya. Pake Torani”.
Syukur bilang, bupati loku dan wakilnya tadi sore sudah pulang pake Torani.
Saya tak terkejut, hanya menyesal dalam hati, ” Eroq loku e, nang penumpang olaq ron pake bie o. Laha te miang”.
Artinya, “Aduh loku e…tadi penumpang caci maki engko semua. Bikin kita malu”.
Apa hendak dikata, lantaran jengkel, bosan dan tersiksa, orang telah memaki-maki bupati Lembata.
Sudah telanjur, mau bagaimana lagi?
Makian begitu tak bisa ditarik pake surat edaran bupati.
Itulah kisah pilu, seisi Lembata Jaya, bos kapal, kaptennya, abk serta penumpang kena prank, entah siapa yang mengatasnamakan bupati Lembata.
Di dermaga, candaan Siong tadi tak terbukti, bupati loku tak siapkan mobil jemput jurkamnya.
Epen dengan mobil, ojek datang, saya langsung naik, gas gere, arah Selandoro.
Kumasuki rumahku di bilangan Wangatoa Trendy, jam 23.14. Langsung kuteguk air lima gelas.
Teringat besok hari Minggu, segera bobo saja.
Paginya telat bangun, tak ikut Misa.
Duduk di batu bawah pohon Klengkeng depan rumah, kusesali diriku, “Tadi malam sudah buat dosa dengan pikiran dan perkataan, pagi ini bikin dosa dengan perbuatan.
Melanggar lagi perintah ketiga, “Kuduskan hari Tuhan”.
Hatiku berharap,”Tuhan, kasihanilah aku orang berdosa ini”.
Kyrie Eleison.
Dari batu ceper itu, saya chat omeli Siong, “Kemarin kapten bilang tunggu bupati. Ternyata yang naik tim Persebata. Mungkin kapten kena tipu e? Bupati loku sudah pulang sore pake Torani. Tunggu lama sekali, penumpang marah kecewa sampe maki-maki bupati. Coba tanya kapten tu, siapa yang tipu dia?
Bos kapal musti tegas ka. Nanti lain kali orang bisa tipu kapten pake nama bupati. Bupati Lembata punya nama ni murah sekali le. Orang jual gampang saja ni”, tulisku menumpahkan kesalku pada bos kapal Lembata Jaya itu.
Tetapi Siong tak jawab, mungkin dia su tau tapi dia los.
Begitulah candaan tepi jurang timses Tunas-Lembata Jaya.
Tunas sudah menang, Lembata Jaya sudah kalah, tetapi Alwi Murin – Baba Siong tetap sahabat sejati.
Cerita tadi mungkin lucu, mungkin juga menjengkelkan. Tetapi ambil saja pesannya. “Siapa yang bisa menasihati bupati Lembata dalam hal begini?”.
Sudah banyak kejadian memalukan karena ucapan dan tindakan bupati Lembata. Sudah sering orang menertawakan tingkah lakunya.
Tapi siapa yang berani menasihatinya? Berharap pada partai pengusungnya PAN? Take ama! Ra mekung saja pe.
Mereka malah membela buta.
Belum lama ini muncul berita “Orang Tua Edang Kumpul, Akan Nasihati Bupati Kanis”.
Orang ribut sejagad maya, heboh dimana-mana. Kaum bebal itu mengolok kami, ” Mio sebagai a? Sio yang bitiq sogang me?”, begitu mereka menghina kami.
Mereka persoalkan kata “menasihati bupati”.
Mereka gagal paham karena berkutat pada teks bukan pada konteks.
Ibarat orang makan buah, si bijak buka kulit makan dagingnya, si bebal malah makan kulit, tak mau makan dagingnya.
Kasian mio e,
Balenger e.
Konon bagi mereka, tak pantas orang nasihati bupati. Mungkin bagi mereka, bupati adalah mahkluk tanpa salah. Mungkin bagi mereka, bupati hanya boleh disanjung saja.
Itulah mental para hamba, alias “dendenga”, kata orang Nagi.
Para tetua Edang di Lewoleba duduk kumpul, merangkum keluhan masyarakat untuk disampaikan kepada bupati beserta saran jalan keluarnya. Tetapi kaum dungu mempersoalkannya.
Mereka tak menyadari haknya sebagai warga negara yang berdaulat atas negerinya.
Para tetua duduk di Ebang, dengan kearifan lokal Edang, hendak berpartisipasi sebagai warga negara yang berhak mengawasi jalannya pemerintahan, malah dipersoalkan?
Kami hendak menyatakan kepada masyarakat bahwa kami bukan sekedar mendukung Tunas, namun bertanggung jawab untuk mengawasi, malah dicurigai?
Prihatin dengan situasi Lembata lalu orang tua Edang lakukan pendekatan budaya hendak menasihati bupati Kanis, salahnya dimana?
Lorens Keraf ketua PAN Lembata, ikut ngoceh di media katawarga.id.
Dengan pongahnya ia bertanya, “Mereka itu siapa?”, menunjuk pada orang tua kami.
Anggota dprd PAN Lembata itu telah merendahkan orang tua Edang kami. Lorens Keraf dengan sombong menunjukkan krisis etikanya.
Sungguh konyol, bagai bocah yang minim literasi, tanpa membaca berita kami, ketua PAN Lembata itu, berani mendustai publik dengan mulutnya yang asal bunyi, menuduh orang tua Edang akan memanggil bupati. Sementara kami tak pernah mengatakan begitu.
Sedihnya, tuduhan Lorens kepada orang tua Edang itu, tak dibantah adprd PAN Lembata, Gaspar Sio Apelaby, yang mendampingi Lorens ketika membacot kepada pers.
Beginikah sikap PAN Lembata pada masyarakat pendukungnya? Sikap yang tak tahu terimakasih pada tetua Edang, yang dulu berkonsolidasi di Ebang itu untuk ikut mendukung memenangkan calon bupati PAN, Kanis Tuaq.
Nampaknya Lorens Keraf, adprd itu krisis budaya. Pendekatan budaya yang kami buat untuk membangun partisipasi publik demi kemaslahatan bersama, dianggapnya meruncing sentimen kedaerahan.
Apakah Lorens Keraf, ketika mencari dukungan politik menjadi adprd, tidak gunakan pendekatan budaya?
Apakah dia tidak lakukan pendekatan kekeluargaan? Apakah hanya pake hambur uang saja?
Meski kami tak pernah mengganggu tatanan sosial, tetapi ketua PAN Lembata itu dengan lancang menuduh pernyataan Alwi Murin memperlihatkan semangat eksklusif yang bisa merusak hubungan sosial dan pemerintahan.
Lorens Keraf tak sadar, justru yang merusak hubungan sosial dan pemerintahan adalah partai politik yang menerima upeti dari calon bupati dan membuat bupati pusing cari uang bayar utang.
Apakah PAN tidak pernah menerima upeti?
Nanti orang Nagi menyao,”Tanya di engko pung siku!”.
Lalu nanti bupati bayar utang, cari uang dari mana?
Dari apbd.
Caranya?
Pake sekoleko .
Siapa jadi korban? Rakyat!
Rakyat yang mana?
Rakyat yang pilih bupati.
Rakyat yang mana lagi?
Rakyat yang pilih burung beo.
Beo yang mana? Beo yang duduk bertelur di peten ina.

Selamat mabuk dalam lingkaran demokrasi munafik.
Ode rado e

RelatedPosts

𝑴𝑷𝑳𝑺 𝑫𝑨𝑵 𝑷𝑬𝑵𝑪𝑬𝑮𝑨𝑯𝑨𝑵 𝑩𝑼𝑵𝑼𝑯 𝑫𝑰𝑹𝑰 𝑹𝑬𝑴𝑨𝑱𝑨

𝑴𝑷𝑳𝑺 𝑫𝑨𝑵 𝑷𝑬𝑵𝑪𝑬𝑮𝑨𝑯𝑨𝑵 𝑩𝑼𝑵𝑼𝑯 𝑫𝑰𝑹𝑰 𝑹𝑬𝑴𝑨𝑱𝑨

Ketika Gunung Bicara, Dengarkan Suara Dari Selatan 

Ketika Gunung Bicara, Dengarkan Suara Dari Selatan 

Load More

Alwi Murin, alumnus Sekolah Demokrasi Lembata

WartaNusantara

WartaNusantara

Related Posts

𝑴𝑷𝑳𝑺 𝑫𝑨𝑵 𝑷𝑬𝑵𝑪𝑬𝑮𝑨𝑯𝑨𝑵 𝑩𝑼𝑵𝑼𝑯 𝑫𝑰𝑹𝑰 𝑹𝑬𝑴𝑨𝑱𝑨
Opini

𝑴𝑷𝑳𝑺 𝑫𝑨𝑵 𝑷𝑬𝑵𝑪𝑬𝑮𝑨𝑯𝑨𝑵 𝑩𝑼𝑵𝑼𝑯 𝑫𝑰𝑹𝑰 𝑹𝑬𝑴𝑨𝑱𝑨

𝑴𝑷𝑳𝑺 𝑫𝑨𝑵 𝑷𝑬𝑵𝑪𝑬𝑮𝑨𝑯𝑨𝑵 𝑩𝑼𝑵𝑼𝑯 𝑫𝑰𝑹𝑰 𝑹𝑬𝑴𝑨𝑱𝑨 Oleh : Robert Bala WARTA-NUSANTARA.COM--  Minggu pagi 6/7/25, pukul 09.35, saat berada di Kupang...

Read more
Ketika Gunung Bicara, Dengarkan Suara Dari Selatan 

Ketika Gunung Bicara, Dengarkan Suara Dari Selatan 

” Critical Thinking” untuk DPR dan MPR Seputar Usul Pemberhentian Wapres Gibran

” Critical Thinking” untuk DPR dan MPR Seputar Usul Pemberhentian Wapres Gibran

𝑫𝑰 𝑩𝑨𝑳𝑰𝑲 𝑯𝑰𝑳𝑨𝑵𝑮𝑵𝒀𝑨 𝑱𝑬𝑹𝑺𝑬𝒀 𝑷𝑬𝑹𝑺𝑬𝑩𝑨𝑻𝑨

𝑫𝑰 𝑩𝑨𝑳𝑰𝑲 𝑯𝑰𝑳𝑨𝑵𝑮𝑵𝒀𝑨 𝑱𝑬𝑹𝑺𝑬𝒀 𝑷𝑬𝑹𝑺𝑬𝑩𝑨𝑻𝑨

Keputusan Melarang Pengangkatan “Teda” Bertentangan dengan Konstitusi

Keputusan Melarang Pengangkatan “Teda” Bertentangan dengan Konstitusi

Basreng Seribu dan Rayuan Pagi

Menggagas Visi Pengembangan Mutu Madrasah dalam Bingkai Kurikulum Cinta Menuju Generasi Emas 2045

Load More
Next Post
Bupati Lembata Profisiat Pater Patrisius Breket Mudaj,SSCC Atas Pesta Perak Hidup Imamat 

Bupati Lembata Profisiat Pater Patrisius Breket Mudaj,SSCC Atas Pesta Perak Hidup Imamat 

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ads

Tag

mostbet mostbet UZ Sastra
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Kontak

Copyright @ 2020 Warta-nusantara.com, All right reserved

No Result
View All Result
  • Home
  • Polkam
  • Internasional
  • National

Copyright @ 2020 Warta-nusantara.com, All right reserved

Login to your account below

Forgotten Password?

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In