Lobi Relaksasi Pinjaman PEN: Antara Strategi Fiskal dan Persepsi Publik di Lembata
Oleh ; Agus Nuban / Pemerhati Ekonomi Rakyat
WARTA-NUSANTARA.COM– Dalam semangat menjaga stabilitas dan kesinambungan roda pemerintahan, langkah-langkah diplomatis dan strategis di ranah kebijakan keuangan tak dapat dihindarkan. Salah satu upaya terbaru yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Lembata adalah lobi relaksasi pinjaman Dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) melalui pendekatan langsung ke Komisi XI DPR RI dan PT Sarana Multi Infrastruktur (PT SMI).
Wakil Bupati Lembata, Muhamad Nasir menjadi tokoh sentral dalam lobi tersebut, menawarkan opsi-opsi solusi fiskal agar beban pinjaman tidak menghambat pembangunan daerah.
Sebagaimana diketahui, pinjaman PEN yang digunakan selama masa pemulihan pascapandemi dibayarkan kembali melalui skema pemotongan atas dana transfer dari pemerintah pusat. Beban ini dirasa cukup berat bagi APBD Lembata, apalagi dalam situasi keuangan yang menuntut efisiensi dan prioritas pada sektor-sektor pelayanan dasar.
Dalam konteks ini, muncul dugaan bahwa Bupati Lembata telah mengambil langkah lanjutan melalui pengajuan resmi permohonan restrukturisasi keuangan kepada Kementerian Keuangan RI. Permohonan ini diyakini sebagai bagian dari upaya untuk menjadwal ulang kewajiban pengembalian, atau mendapatkan bentuk relaksasi lainnya seperti perpanjangan tenor atau pengurangan bunga.
Namun, langkah ini tidak luput dari sorotan publik. Beberapa pihak bersikap sinis dan mempertanyakan integritas proses tersebut, terutama karena rekan perjalanan Bupati dalam lobi keuangan ini bukanlah bagian dari struktur resmi penyelenggara pemerintahan Kabupaten Lembata. Hal ini memunculkan keraguan: apakah kepentingan yang dibawa murni untuk rakyat atau ada agenda pribadi yang tersembunyi?
Di tengah berbagai persepsi dan opini tersebut, harapan tetap perlu ditegakkan. Bahwa meskipun sampulnya terlihat berbeda, semoga isi di dalamnya tetap murni untuk Lembata yang lebih baik. Bahwa langkah-langkah kebijakan ini, jika benar ditempuh dengan tujuan menyehatkan keuangan daerah, layak untuk dihormati dan didukung.
Saat ini, yang dibutuhkan bukan hanya kritik, tapi juga pengawalan. Masyarakat dan elemen pengawasan perlu terus memastikan bahwa setiap keputusan keuangan dan politik yang diambil pemerintah benar-benar berpihak pada kepentingan daerah dan bukan pada segelintir kelompok.
Akhirnya, mari kita beri ruang bagi proses ini berjalan sesuai mekanisme hukum dan regulasi yang berlaku. Transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik adalah tiga pilar penting untuk memastikan bahwa setiap kebijakan, termasuk restrukturisasi pinjaman ini, benar-benar menjadi jalan menuju Lembata yang lebih kuat secara ekonomi, adil secara sosial, dan berdaulat dalam menentukan nasibnya sendiri. ***