Membolak-balikan Indonesia
Oleh : Robert Bala
WARTA-NUSANTARA.COM-OPINI :– HUT-RI bukan hanya tanggal 17. Agustus adalah bulan kemerdekaan. Karena itu tidak terlambat menulis tentang Indonesia yang ‘terbolak-balik’. Inspirasinya tentu dari lagu ‘Tabola-Bale’. Lagu yang sebenarnya biasa saja. Tetapi ramuannya yang menggambungkan 4 orang dengan latar belakagn berbeda: Ngada (Sipri Khaku), Ende-Batam (Juan Reza), dan Maluku/Papua (Jacson Zeran). Ketiganya (tanpa melupakan Diva Aurel), mewakili ‘Timur’ Indonesia.
Yang menarik, ketiganya menyuarakan hal yang sama: ‘Tabola-Bale’. Menjadi pertanyaan, apa yang sebanrnya ingin dibolak-balikkan di negeri ini? Ketika menggunakannya lebih positif dalam bahasa Indonesia, maka ibarat memasak, membolak-balik adalah perlu agar semua bagian bisa termasak secara merata. Inilah yang bisa menjadi suara dari Indonesia Timur, menyerukan perlunya membolak-balikkan Indoinesia.
Tetang Orang Timur yang diidentikkan dengan orang Sulawesi, Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara, maka yang muncul segera adalah gambaran orang berwatak tegas, pemberani, bersuara lantang, dan terkadang dikenal temperamental. Mereka juga katanya memiliki sifat kekeluargaan dan setia kawan.
Tegas adalah hal yang cukup menonjol. Orang Timur meski berwajah menyeramkan, tetapi lembut ketika didekati. Banyak orang hanya berhenti menilai buku dari sampulnya sheingga tidak berani mengenal lebih jauh. Sekali mengenal, maka ‘Tuan ampune’. Hanya kelembahlembutan selalu ditempatkan dalam batas kewajaran. Ketika melampaui batas, maka ‘darah ketergasan’ itu akan mendidih. Ia menyatakan sikapnya. Ya atau Tidak.
Ketegasan itu ditunjukkan bahwa Indonesai adalah ‘Tanah Air Beta’. Orang Timur bukan sekadar pendatang baru. Mereka adalah bagian yang tak terpisahkan. Karena itu ketika ada tendensi melupakan Timur, dengan memaksakan Piagam Jakarta, dengan tegas ditanggapi Johanes Latuharhary dan Sam Ratulangi (juga I.G. Ketoet Pedja). Inilah tipikal tegas orang Indonesia Timur.
Pemberani adalah sifat yang tidak saja diterima sebagai ‘emang gitu’ orang Timur. Tetapi bahkan orang Belanda menaru hormat akan keberanian orang Timur. Pada zaman colonial Belanda, orang Timur (Minahasa, Maluku, Flores) dianggap sebagai ‘martial race’ alias bangsa petarung. Karena itu pula ketika merekrut untuk menjadi tentara Koninklijke Nederlandsch Indische Leger (KNIL) maka prioritas ke Indonesia Timur. Bayangkan saja, saat itu jumlah tantara asal Indonesia Timur (Manado, Ambon, Timor, Bugis sekitar 13.000) hampir sebanding dengan tantara KNIL asal Jawa yang jumlahnya 17.800, sementara. Sebuah angka yang tinggi karena penduduk Indonesia Timur tidak seberapa dibandingkan dengan total penduduk Jawa.
Sikap di atas diakui juga oleh Prabowo. Setelah berkenalan dengan banyak orang Indonesia Timur dan bertugas di Indonesia Timur, ia akui hal itu. “Masyarakat di Indonesia Timur sangat semangat, dinamis, tidak mudah menyerah, dan berani bertarung.
Orang Timur juga bersuara lantang. Suara lantang berarti suara yang jelas dan nyaring terdengar. Suaranya Sipri Kakhu, Jacson Zean, dan Juan Reza menjadi contoh terbaru. Hal itu belum cukup menderetkan suara-suara emas yang tidak kurang untuk disebutkan. Tetapi suara lantang juga berarti lantang adalah tindakan berbicara dengan suara keas dan jelas. Apa yang ada dalam hati diungkapkan apa adanya hal mana dengan mudah dinilai sebagai tak kenal sopan santun. Tetapi kelantangan justru mengungkapkan kejujuran, tidak berbelit dan berkelok.
Kelantangan ini kerap dikaitkan dengan sikapnya yang temperamental. Orang temperamental kerap mengekspresikan amarahnya secara berlebihan. Bagi orang Timur, ekspresi itu tidak serta merta mengarah kepada perbuatan. Itu sekadar sebuah informasi awal agar masing-masing merem diri agar tidak terjadi yang tidak diinginkan. Tetapi sikap temperamental juga menunjukkan keberanian (kadang berlebihan). Sekali berkata, ia tidak akan mundur.
Yang tak kurang adalah nilai kekeluargaan dan kesetiawakanan. Di wilayah perkotaan di Jawa, dengan mudah menemukan orang-orang dari Timur yang berkumpul dalam ikatan kekerabatan. Ikatan itu tidak sekadar formalistis tetapi diekspresikan melalui sikap saling membantu. Sikap Sipri Kakhu, Juan Reza, dan Jacson Zeran yang begitu mudah berkolaborasi adalah perwujudan sikap orang Timur.
Berani Berubah
Apakah sikap-sikap menggugah orang-orang Timur hanya berada di kedalaman dan lupa diketahui apalagi diekspresikan? Sebagai nilai dan juga watak, bila dianalogkan dengan tindakn memasak, maka nilai-niali tu bisa saja berada di dasar. Dengan kulit hitam, rambut ‘keribo’, suara keras, kerap nilai-nilai ‘ketimuran’ itu diendapkan demi lebih memberi ruang dan membanggakan sikap yang sopan, selalu tersenyum (meski lagi marah), berkata halus.
Akibat-kata-kata halus nan indah, maka yang tampil di atas adalah sesuatu yang indah dan tampak semuanya ‘baik-baik saja’. Tetapi hal itu bisa saja menunjukkan sebuah tatanan yang sekilas baik tetapi bukan untuk waktu yang lama. Pembangunan yang lebih ‘pro barat Indoinesia’ yang bisa terlihat dari kemajuan tentu sangat dibanggakan. Tetapi bila menelisik lebih jauh, ‘javacentris’ untuk jangka panjang tidak menguntungkan Indonesia sebagai bangsa dan Negara Kesatuan.
Kondisi ini perlu dibolak-balikkan. Tetapi hal itu harus dimulai dari nilai. Artinya, nilai-nilai seperti: tegas, berani, suara lantang bisa diangkat ke permukaan. Keberanian memenjarakan koruptor tanpa ‘tedeng aling-aling’ tentu harus diberi ruang. Spirit ketimuran inilah yang perlu diorbitkan. Nilai-nilai yang selama ini terbenam (atau dibenamkan) perlu diangkat, dibolak-balik hingga bisa menjiwai Indonesia secara keseluruhan.
Keberanian dan ketegasan juga penting dalam menargetkan hal-hal besar. Gemuru pembangunan memang sangat penting sehingga Indonesia bisa mengalami lompatan yang besar dan tidak ‘segitu-gitu aja’. Tetapi lompatan itu perlu dilakukan dalam kebijaksanaan. Orang Timur tidak melupakan nilai kekeluargaan dan kesetiakawanan. Karena itu pembangunan tidak bisa sekadar mengejar kuantitas pencapaian tetapi kualitas hidup, dalamnya persaudaraan dan kesetiakawanan perlu diberi ruang.
Pada sisi lain, perkembangan yang sangat dominan ‘Barat Indonesia’ perlu diberi ruang oleh pemerataan. Hal-hal itu sudah terlihat selama pemerintahan Joko Widodo meski perlu dilakukan secara bijak agar tidak mengorbankan masyarakat hal mana sangat dirasakan kini. Intinya, lagu Tabola-Bale menghendaki adanya keberanian untuk membalikkan Indonesia baik dalam nilai (seperti nilai ketimuran) tetapi juga dalam hal pembangunan fisik.
Hal inilah yang mestinya merupakan makna dari HUT-RI ke-80 melalui kehadiran lagu ‘Tabola-Bale’ Ias tidak hanya mengundang semangat menari oleh musik Kiki Acoustic, tetapi terus membarakan tekad membangun Indonesia secara adil dan merata, berkat keberanian berubah dengan membolak-balikkan keadaan menjadi lebih baik. ***
Robert Bala. Alumnus Diploma Resolusi Konflik Asia Pasifik, Fakutad Ciencia Politica, Universidad Coplutense de Madrid – Spanyol.