Pernyataan Misoginis Ahmad Bumi : Wujud Brutalitas Patriarki dalam Sistem Hukum dan Pengkhianatan terhadap Profesi Advokat, Akhmad Bumi, SH. : Tidak Nyambung Pernyataan PH Terdakwa dan Pernyataan Padma Indonesia
JAKARTA : WARTA-NUSANTARA.COM– Greg Retas Daeng, SH., Direktur Advokasi Lembaga Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian (PADMA) Indonesia mengecam keras sikap, tindakan, dan pernyataan yang dilontarkan oleh Ahmad Bumi, selaku penasihat hukum dari Sdr. Fajar, sebagaimana yang termuat dalam pemberitaan media [https://aksinews.id/2025/08/22/akhmad-bumi-kasus-eks-kapolres-ngada-itu-kesepakatan-produsen-dan-konsumen/ ] .Pernyataan yang menyamakan perempuan dengan komoditas bisnis tidak hanya merupakan pelecehan terhadap martabat manusia, tetapi juga sebuah demonstrasi telanjang dari paradigma hukum yang buta terhadap korban, khususnya perempuan dan anak.
Menurut Greg. Retas Daeng, pernyataan Ahmad Bumi adalah cerminan dari logika transaksional yang keji dan merupakan serangan langsung terhadap esensi kemanusiaan korban. Dengan menempatkan perempuan seolah-olah objek yang bisa dinilai secara ekonomi, Ahmad Bumi secara sadar melakukan objektifikasi dan reviktimisasi, yaitu proses menyalahkan dan melukai korban untuk kedua kalinya melalui sistem yang seharusnya melindunginya. Ini bukan sekadar ‘salah ucap’, melainkan cerminan dari struktur patriarkal yang masih mengakar kuat dalam sistem hukum kita, di mana pengalaman dan penderitaan korban perempuan dianggap tidak relevan dan dapat direduksi menjadi angka-angka rupiah.
Dari kacamata Teori Hukum Feminis (Feminist Legal Theory), tindakan Ahmad Bumi adalah contoh nyata bagaimana hukum dan para praktisinya dapat menjadi alat untuk melanggengkan ketidakadilan gender. Alih-alih menjadi officium nobile (profesi yang mulia), advokasi yang ditunjukkannya berubah menjadi instrumen penindasan. Ia mengabaikan relasi kuasa yang timpang antara pelaku dan korban, serta gagal total memahami trauma dan dampak psikologis yang dialami korban. Sikapnya memperkuat stereotip berbahaya bahwa perempuan korban hanya mencari keuntungan material, sebuah narasi klasik yang digunakan untuk membungkam dan mendelegitimasi suara korban.
Selain itu, secara sosio-legal, pernyataan semacam ini memiliki dampak destruktif yang luas. Ia mengirimkan pesan mengerikan kepada masyarakat dan para korban kekerasan lainnya bahwa sistem hukum tidak berpihak pada mereka. Pernyataan ini menciptakan chilling effect, di mana korban lain akan merasa takut dan enggan untuk melapor karena khawatir akan dilecehkan, direndahkan, dan diperlakukan sebagai komoditas oleh aparat penegak hukum itu sendiri. Ahmad Bumi tidak hanya mewakili kliennya, tetapi juga merepresentasikan profesi hukum di mata publik. Tindakannya telah mencoreng marwah profesi advokat secara keseluruhan, meruntuhkan kepercayaan publik pada integritas penegak hukum.
Pelanggaran Serius terhadap Konstitusi dan Peraturan Perundang-undangan
Sikap dan pernyataan Ahmad Bumi secara nyata bertentangan dan melanggar sejumlah landasan hukum fundamental yang melindungi hak-hak perempuan di Indonesia:
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945): Pernyataannya melanggar hak konstitusional setiap orang untuk bebas dari perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan sebagaimana dijamin dalam Pasal 28G Ayat (2).
- Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS): Meskipun kasusnya mungkin tidak secara langsung ditangani dengan UU ini, spirit dan prinsip utama dari UU TPKS adalah memberikan perlindungan dan pemulihan yang berpusat pada korban. Tindakan Ahmad Bumi adalah antitesis dari semangat UU TPKS yang melarang keras segala bentuk reviktimisasi dan penyalahan korban (victim blaming).
- Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW): Pernyataan yang merendahkan perempuan adalah bentuk diskriminasi verbal dan psikologis yang jelas-jelas bertentangan dengan komitmen negara untuk menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
- Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan Kode Etik Advokat Indonesia: Sebagai seorang advokat, Ahmad Bumi terikat pada sumpah profesi untuk menjunjung tinggi hukum, kebenaran, dan keadilan, serta menjaga martabat dan kehormatan profesi. Dengan merendahkan martabat seorang perempuan, ia telah melanggar kewajiban etisnya secara fundamental.
Atas dasar hal tersebut, PADMA Indonesia menyatakan sikap:
- Mengecam keras pernyataan Ahmad Bumi yang misoginis, tidak berperspektif korban, dan merendahkan martabat kemanusiaan.
- Menuntut Ahmad Bumi untuk segera mencabut pernyataannya dan menyampaikan permintaan maaf secara terbuka kepada korban dan seluruh perempuan Indonesia.
- Mendesak Dewan Kehormatan Organisasi Advokat yang menaungi Ahmad Bumi, dalam hal ini PERADI, untuk segera memproses dan menjatuhkan sanksi etik yang tegas dan berat atas pelanggaran serius terhadap marwah profesi dan hak asasi manusia.
- Mengajak seluruh elemen masyarakat sipil, akademisi, dan praktisi hukum yang berintegritas untuk bersama-sama mengawal kasus ini dan terus mendorong terciptanya sistem hukum yang berkeadilan gender dan berpihak pada korban.
Ruang sidang dan proses hukum tidak boleh menjadi panggung untuk melanggengkan kekerasan dan pelecehan. Keadilan sejati hanya bisa tercapai ketika martabat korban dijunjung lebih tinggi dari arogansi dan kebrutalan verbal para penegak hukum.
Advokat Akhmad Bumi, SH. : Tidak Nyambung Pernyataan PH Terdakwa dan Pernyataan Padma Indonesia
Advokat Akhmad Bumi, SH./Kuasa Hukum Fajar menegaskan, pernyataan Penasehat Hukum dan Padma Indonesia tidak nyambung terkait penilaian terhadap proses hukum dan fakta persidangan kasus eks Kapolres Ngada Fajar.
Penasehat Hukum (PH) menjalankan profesi dalam membela kepentingan klien. PH bukan pihak luar yang tidak mengetahui materi persidangan. Kenapa yang bukan PH mencampuri perkara yang sedang ditangani pihak lain?
Konteks yang diangkat soal diksi korban dan kemanusiaan. Korban artinya pihak yang dirugikan. Orang boleh berbeda perspektif.
Yang ditemukan tidak ada kerugian dalam pandangan PH. Mereka malah senang dan diuntungkan. Dapat uang dan uang tersebut bisa beli baju dan beli hp. Dan orangtuanya terima uang. Dan itu keterangan dari sumber primer dalam persidangan. Terdakwa sebagai orang yang menerima tawaran jasa dari mereka. Terjadi kesepakatan dan disitu ada hak dan kewajiban.
Apa kaitan dengan gender dan feminisme? Gender bicara jenis kelamin dan peran dalam struktur sosial. Feminisme gerakan kesetaraan. Ya tidak nyambung. Yang diangkat soal isu kemanusiaan, ada disfungsi keluarga, pendidikan, lingkungan pergaulan, kehidupan ekonomi dan ketahanan diri keluarga. Itu yang harus jadi perhatian semua pihak.
Ini realitas dan fenomena sosial yang perlu dicermati, perlu dilihat dalam perspektif yang lebih luas, jangan melihat dari sudut kecil, ini bukan variabel tunggal. Jangan hanya lihat dipermukaan, tapi lihat didasar terdalam, begitu banyak masalah yang harus dikritik.
“Ini pandangan PH yang mewakili klien, pihak lain hadir sebagai apa? Kalau ingin nimbrung silahkan soroti fenomena sosial ini”, tegas Akhmad Bumi, Advokat dan mantan Anggota DPRD Kabupaten Lembata. *** (WN-01)