Titik Balik
SAYA menyebut sebagai titik balik. Bisa juga titik simpul atau titik star tentang peristiwa di ruang adorasi Gereja Santo Fransiskus dari Asissi, Kolhua, Kupang, saat mentari menuju peraduan, kemarin. Angin senja yang bertiup manja melambaikan dedaunan di tepi gereja yang megah itu. Serasa sejuk nian.
Momentum itu bukan semata tentang sahabat Dr. Anton Bele, penasihat Sahabat Monsinyur Gabriel Manek (SMGM) Pusat, Penasihat SMGM Keuskupan Agung Kupang (KAK) dan Penasihat SMGM Cabang Asissi, Kolhua yang menyematkan tanda, simbol atau brand di dada saya sebagai anggota SMGM yang baru.
Penyematan logo bulat, berwarna kuning cerah yang bergambar monsinyur asal Lahurus, Belu ini disaksikan oleh Penasihat SMGM KAK dan Asissi, Dr. Vian Watu; Ketua Cabang 105 SMGM Asissi, Bapa John Mau; Penasihat SMGM Cabang Asissi dan Penasihat SMGM, Mama Yudith Salasa; Mama Yolenta Ceme, Sekretaris SMGM Asissi, Om Oni Modo dan sebagian Sahabat MGM yang hadir. Kemarin, Bapa Adri Ceme, Ketua Koordinator SMGM Wilayah KAK tak sempat hadir karena mengikuti acara HUT pelindung Stasi Santo Agustinus, Belo.
Ketika bersepatah kata, saya bilang sungguh menyadari ini untuk hidup meneladani Monsinyur Gabriel Manek yang namanya sungguh melekat di hati dan sungguh saya cintai sejak masa kecil. Dia ini menjadi Uskup Larantuka, uskup kami sebelum menjadi Uskup Agung Ende. Kami sungguh mencintai Monsinyur Gabriel Manek.
Bergabung pada komunitas ini artinya harus selaras dengan hidup berdoa yang saya sadari masih relatif kurang. Doa musti lebih banyak lagi dan patut terlibat dalam aktivitas sosial lainnya.
Di hadapan para SMGM, saya bilang, ketokohan monsinyur ini tak pernah hilang. Ia selalu hadir dalam seluruh rentang hidup saya. Dia juga tak pernah hilang dan tak pernah pergi meninggalkan hati kami, umat di Keuskupan Larantuka dan umat Keuskupan Agung Ende.
Komunitas ini selalu menyebut namanya atau saling menyapa sebagai Sahabat Monsinyur Gabriel Manek. Sebuah sapaan yang setara, horisontal, tidak mensubordinasi. Tidak membedakan satu yang lain. Semua seekuivalen, sederajat dan sepenanggungan. Segera mengabarkan kepada “sahabat” untuk mengunjungi orang-orang sakit dalam lingkungan dan entah siapa saja untuk didoakan, selain mendengarkan, menyentuh dan menghibur sebagai spiritualitas hidup Hamba Allah Gabriel Manek, SVD.
Kemarin juga kami mendengar semacam pengajaran atau kuliah gratis dari sahabat Dr.Vian Watu tentang kesadaran membangun hidup yang linear. Hidup yang terus membangun atau membina kebaikan dengan terus meningkatkan kualitasnya baik secara insani, secara komunitas atau secara sosial. Terima kasih Pak Vian untuk pencerahan ini. Pencerahan yang diberikan selalu berbasis biblis. Ia juga menyebut ayat-ayat kitab suci sebagai pendasaran dengan sangat lancar.
Dr. Vian juga menekankan tentang makna “saling memahami” sebagai kasih karunia yang akan memberi kebaikan. Ia menyitir ungkapan lokal seperti kata “sare” yang diserap dari bahasa Austronesia. Dalam komunitas Ende dan Lamaholot kata sare kerap dipakai dalam keseharian. “Ina Maria Sare, senareng, Bunda Maria yang baik hati, Bunda yang tercinta dan Bunda yang tersayang.”
Setiap hari Kamis petang, sekitar tiga puluh menit Sahabat MGM berkumpul dan duduk terpekur di ruang adorasi untuk mendoakan proses Hamba Allah Gabriel Manek menjadi beato atau selangkah lagi menjadi santo.
Dengan mendoakan MGM kita berharap proses menuju beato dan santo akan lebih cepat. Jika demikian maka MGM sebagai santo pertama “Made in Indonesia.”
Jalan panjang
Saya mengutip tulisan seorang pastor yang menjelaskan tentang proses menjadi santo yang relatif panjang. Ia bilang, gereja kita, dalam “bikin santo” memang menjadi urusan Tahta Suci. Departemen yang mengurus itu nama resminya, Congregatio de Causis Sanctorum. Tugas utama departemen pada Kuria Roma ini adalah memroses seseorang menjadi “orang kudus” yang diakui dan diresmikan gereja.
Mau jadi “orang kudus” itu, rupanya rumit dan prosesnya panjang.
Konggregasi “de Causis Sanctorum” itu mengolah dan menyelidiki dulu, apakah yang akan diusulkan jadi “orang kudus” itu memiliki sejumlah “keutamaan yang heroik,” sudah “bikin mukjizat,” sudah diverifikasi oleh badan yang ditunjuk Vatikan dan kemudian dilaporkan kepada Paus untuk dinyatakan menjadi “beato/beata” atau “santo/santa.”
Kalau akan dinyatakan sebagai beato/beata harus mengikuti proses “beatifikasi,” kalau mau jadi santo/santa mesti melewati dulu proses “kanonisasi.”
Almarhum Paus Yohanes XXIII dan Paus Yohanes Paulus II, sudah menjadi beato. Ibu Theresa juga sudah menjadi beata. Sebentar lagi tokoh-tokoh “pahlawan iman gereja” ini, diharapkan segera menjadi santo dan santa.
De Causis Sanctorum
Konggregasi Suci “de Causis Sanctorum” yang “mencetak” orang-orang kudus ini, didirikan oleh Paus Sixtus V pada tanggal 22 Januari 1588, dengan bula Immensa Aeterni Dei. Paus Sixtus menempatkan urusan “bikin Santo” ini di bawah Kongregasi “Sacra Rituum” (upacara suci). Urusan liturgi dan upacara gereja juga ada di bawah konggregasi ini.
Baru pada tanggal 8 Mei 1969, Paus Paulus VI memisahkannya. Urusan liturgi di bawah Konggregasi Cultus Divinis, sementara urusan ‘mencetak’ Orang Kudus di bawah Konggregasi Causis Sanctorum.
Oleh Paus Paulus VI, urusan bikin santo ini diberi tiga kantor, yakni Bagian Judisial, Bagian Promosi Iman dan Bagian Sejarah Juridikal.
Paus Yohanes Paulus II, pada tahun 1983 merombak struktur konggregasi ini menjadi lebih sederhana. Konggregasi Causis Sanctorum diurus oleh semacam Kolegio Uskup dan Prelat yang dipimpin seorang kardinal. Sejak 9 Juli 2008, konggregasi ini dipimpin oleh Kardinal Angelo Amato, dibantu Mgr. Marcello Bartulocci sebagai Sekjen dan Pastor Bogusław Turek sebagai Wakil Sekjen. * *** (Paul Burin)